Amal dalam Kemasan TV: Apa Benar-benar Tulus dan Asli?

2
18,685 views
Iustrasi: Seorang anak remaja perempuan miskin di sebuah terminal bus di Kamboja. (Mathias Hariyadi)

SAAT itu malam Minggu. Kebetulan tak banyak yang bisa dilakukan di luar. Akhir bulan, membuka dan melongok isi dompet bisa jadi mimpi buruk buat saya. Mau tak mau, terkaparlah saya di depan TV tetangga. Ya, TV tetangga.

Jujur menonton TV bukan termasuk dalam salah satu hal yang saya gemari. I’d rather dive myself in front of my laptop instead of seeing what is played in that magic cube. Karena itulah saya tidak pernah menyediakan bujet lebih untuk melengkapi kenyamanan kos saya dengan membeli sebuah TV.

Beberapa program di stasiun TV swasta muncul di layar kaca. Jempol saya bermain lihai di atas tuts-tuts pengendali jarak jauh, gambar demi gambar terekam di otak saya, hingga sampailah saya pada sebuah gambar yang mengirimkan stimulus terbesar: seorang ibu tua, kisaran 80 tahunan, dengan penutup kepala butut dan kebaya usang abu-abu, air mata menetes begitu deras di pipinya.

Mendramatisir situasi?

Di sampingnya, dipeluk oleh sang ibu tua, seorang wanita muda, cantik dan terawat, rambut tergerai indah di samping bahunya, juga menangis, tapi melihat latar belakangnya yang memang seorang pemain watak, entah tangis itu asli atau dibuat-buat. Di depan mereka berdua, tumpukan sembako. Berbotol-botol minyak goreng, berdus-dus mie instan, berplastik-plastik telur, bawang merah, beras, dan lainnya menghiasi bagian bawah layar datar yang sedang saya amati itu.

Tangan keriput sang ibu memeluk erat pundak si cantik, sengguknya memenuhi udara di sekitar saya. Tangis itu tulus, syukur yang ibu itu rasakan benar adanya. Namun, justru aneh yang saya rasakan, kenapa saya tidak bisa turut merasakan kebahagiaan itu?

Bicara soal opini, saya memiliki opini saya sendiri soal tayangan-tayangan semacam ini. Eksploitasi kemelaratan bangsa!  Apakah esensi dari pemberian bantuan dengan cara seperti ini? Seorang artis didatangkan dari gemerlapnya Ibukota ke suatu pelosok pedesaan, dan merasakan hidup susah selama satu atau dua malam.

Bagaimana di alam nyata?

Rekayasa, bila boleh saya bilang. Shoot video yang cuma beberapa menit tidak cukup memberikan bukti bahwa para artis benar-benar menghabiskan malamnya di atas kasur yang sama dengan si papa (karena saya yakin ada mobil yang mengantar), bidikan kamera yang cuma sebentar itu juga nggak cukup menunjukkan bahwa para artis sungguh-sungguh menghabiskan makanan yang sama dengan si papa. Siapa tahu beberapa paket KFC sudah disiapkan tanpa sepengetahuan pemirsa sekalian.

Tak tepat sasaran. Apa sasaran sebenarnya dari acara semacam ini? Setumpuk sembako, di rumah reyot seorang ibu tua, tanpa sarana penyimpanan yang memadai, lemari es dan semacamnya, berapa lama semua itu akan bertahan? Apakah sembako sebanyak itu adalah jumlah yang wajar dikonsumsi oleh seorang renta? Manakah yang lebih mereka butuhkan, berkarung-karung makanan atau kehadiran dan perhatian seorang kawan yang setia?

Wajar juga saya terkekeh dalam hati setiap kali melihat bantuan yang dipamerkan seperti ini. Apa yang lebih diharapkan oleh pihak stasiun TV yang menayangkannya? Sungguhkah mereka ingin menggugah kepedulian pemirsanya? Jika iya, kenapa tidak ada nama, alamat, dan kontak yang jelas yang disuguhkan dalam akhir setiap acara sehingga bantuan bisa terus digulirkan? Apakah semua ini tak lebih dari sekadar upaya pendongkrak rating? Seorang ibu tua nelangsa dipampangkan dengan gamblangnya, ujung-ujungnya demi keuntungan stasiun TV atau popularitas sang artis. Ironis. Miris.

Beberapa pekan terakhir ini, tayangan-tayangan serupa pun semakin banyak bermunculan. Namun berapakah yang peduli pada lelaki buntung yang berjalan terseret dengan pinggangnya di bawah jembatan-jembatan busway? Berapakah yang terketuk untuk memberi barang selembar dua lembar seribuan pada seorang ibu lesu yang terkapar tidur di pinggir jalan sambil memeluk anaknya yang lusuh, berdua cuma beralaskan koran?

Banyak yang menebar jeti di televisi, tapi berapakah yang benar-benar menggunakan hati?

Photo credit: Anak pengemis di sebuah lokasi perbatasan Kamboja-Vietnam (Mathias Hariyadi)

2 COMMENTS

  1. Secara pribadi Dini adalah teman, sahabat, saudara yang diberikan Tuhan buat saya lewat cara yang luar biasa ajaib.

    Tapi sebagai pembaca, dari pertama membaca tulisan-tulisannya, dia adalah salah satu penulis idolaku.

    Terus menulis teman. Teruslah menginspirasiku untuk juga berani menulis tentang banyak hal yang berkonflik dalam hati dan pikiranku.
    Rindu sekali rasanya berbincang tentang banyak hal lagi denganmu.. ^.^

  2. Terima kasih Mbak. Ini satu perspektif nurani yang harus terus dielaborasi secara jujur di zaman konsumtif ini. Media televisi memang adalah alat kapitalis, meski jujur juga harus diakui ia membawa banyak pesan positif kepada umat manusia. Kita tidak bisa berhenti mencela dan mengeritik selama eksploitasi terus berlangsung. Tugas kita yang lainnya adalah memberi makna positif agar tayangan seperti itu juga mengingatkan pemirsa untuk juga berbagi kepada sesama kita yang papa miskin.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here