BAPERAN – BAcaan PERmenungan hariAN.
Sabtu, 24 Juli 2021.
Tema: Perjanjian darah.
- Bacaan Kel. 24: 3-8.
- Mat. 13: 24-30.
PERJANJIAN adalah kesepakatan bersama mengembangkan kehidupan. Tujuan dan persyaratan dicantumkan dan disepakati.
Ada sangsi bila melanggar.
Darah adalah lambang kehidupan. Di beberapa adat disebut perjanjian darah. Masing-masing mengeluarkan darah; luka goresan ditempelkan satu dengan yang lain.
Memotong ayam hitam pun turut memberi suasana mistik.
Israel kuno pun melakukan ritual yang sama. Darah ditumpahkan sebagai pengikat.
Diambilnyalah Kitab Perjanjian itu, lalu dibacakannya dengan didengar oleh bangsa itu dan mereka berkata: “Segala firman Tuhan akan kami lakukan dan akan kami dengarkan’.”
Kemudian Musa mengambil darah itu dan mengirimkannya kepada bangsa itu serta berkata: “Inilah darah perjanjian yang diadakan Tuhan dengan kamu, berdasarkan segala firman ini.” ay 7-8.
Sengketa dendam
Awalnya, mereka semunya baik-baik. Berkumpul bersama, dua pekan sekali dalam perayaan ekaristi, di sebuah stasi.
Sebagai pastor baru di stasi itu, saya disambut gembira. Mereka mayoritas adalah warga ransmigran dari daerah kawasan timur Indonesia.
Hidup di bawah garis kelayakan. Hanya ada tiga keluaga Katolik yang tersisa. Perhatian dan bantuan dari Gereja tiada henti.
Mereka bersepakat bersaudara lewat “perjanjian darah”. Di manapun dan dalam kondisi apa pun tetap bersaudara, saling tolong dan membentengi keluarga dari ancaman luar.
Lalu, ada seorang anak laki-laki dari sebuah keluarga meninggal. Bapak dari anak itu pulang kampung.
Ia diberitahu “orang pintar” bahwa yang membunuh adalah keluarga yang lain dengan guna-guna. Ia tidak terima atas kejadian anaknya.
Ia percaya. Ia memutuskan tali persaudaraan.
Mereka lalu menjadi salingbermusuhan. Tidak mau saling ketemu dan apalagi saling menatap. Dalam setiap kesempatan, mereka selalu menghindar dan menyingkir satu sama lain.
Tidak boleh ada anggota keluarga yang melintasi kebun atau rumah mereka. Melanggar sabetan golok tak terhindar.
Saat saya melayani ekaristi, tiba-tiba bapak tuan rumah keluar bersama anak laki-lakinya membawa golok. Mereke mengusir keluarga lain yang diduga membunuh anaknya itu agar segera pergi.
Adu mulut terjadi.
Bapak itu berkata, “Ini rumah saya. Kami mau ekaristi. Jangan datang. Jangan dekat atau kubunuh kau.”
Mereka berteriak, meluapkan emosi, dendam kesumat.
Sementara bapak yang lain juga berkata, “Kami mau ikut ekaristi. Bukan untuk kamu. Kubunuh juga kau. Jangan macam-macam. Jangan menuduh sembarangan. Saya tidak membunuh anakmu.”
Golok pun diacung-acungkan.
Mereka bertengkar hebat.
Saya berdiri dengan jubah menengahi. Gagal.
“Kita misa di kebun kosong.”
“Tidak, Pastor,” kata bapak tuan rumah.
“Darah kami tidak boleh ternoda. Giliran Pastor misa di tempat saya. Tanpa dia. Atau pastor misa di sana, tanpa kami,” ancamnya.
Keluarga katolik yang lain berdiri di sekitar saya. Menjaga.
Akhirnya saya memutuskan misa di keluarga ini tanpa keluarga yang bertengkar.
Dua pekan sekali, saya mengunjungi mereka dari rumah ke rumah untuk mendamaikan.
Kehadiran Pastor mereka sambut dengan baik tetapi dendam kesumat tetap terungkap di setiap kunjungan dari dua belah pihak.
Saya menawarkan perdamaian secara adat mereka.
“Tidak Pastor. Tidak bisa. Anak saya tidak bisa hidup lagi. Tidak bisa kembali. Darah ganti darah.”
Sementara keluarga yang lain menyangkal.
“Untuk apa kami membunuh dia. Kita masih saudara. Kami dendam. Kami dituduh. Kami tidak mengampuni. Kami bawa sampai mati. Biar Tuhan yang mengadili nanti. Ia bunuh anak saya, mati mereka semua,” keluh kesahnya.
Usaha sia-sia. Hati terluka dan dendam tertanam.
Cara apa pun buntu. Masing-masing hidup sendiri tanpa komunikasi di tengah-tengah daerah tandus.
Sama-sama menderita, sama-sama kelaparan; yang tetap ada adalah murka amarah. Siap menumpahkan darah.
Lalang dan gandum tumbuh bersama.
Tuhan, kepada-Mu kuserahkan mereka. Aku tak sanggup. Mereka juga umat-Mu.
Amin.