SEBELUM berangkat ke Washington DC dalam rangka tugas, saya berpikir bahwa orang Amerika, sama seperti juga di Eropa, sudah tidak peduli lagi dengan Tuhan, tidak peduli lagi dengan Gereja.
Saya berpikir bahwa kebanyakan orang Amerika adalah agnostik atau bahkan ateis. Mungkin yang ke Gereja adalah mereka yang sudah tua. Pada minggu-minggu awal di Washington saya pergi ke beberapa Gereja Katolik terdekat untuk mengikuti misa. Saya cukup terkejut menyaksikan bagaimana orang-orang “masih” ke Gereja. Bukan hanya orang tua atau imigran, namun juga orang-orang muda Amerika. Gereja Katolik masih relatif penuh.
Keterkejutan saya mencapai puncaknya dalam kunjungan Paus Fransiskus baru-baru ini ke Washington, New York, dan Philadelphia, kota-kota di Pantai Timur USA. Selama seminggu, sepertinya Amerika dilanda “demam Paus.” CNN terus menerus menyiarkan siaran live Paus, sejak kedatangan kedatangan beliau pada hari hari Selasa sore (23 September) sampai kepulangannya ke Vatikan pada hari Minggu sore (27 September).
Selama 6 hari tersebut berita Paus “mengalahkan” peristiwa besar di Amerika, misalnya Kampanye awal Presiden USA, Sidang Umum PBB, Mundurnya Ketua DPR Amerika John Boehner, lalu gegap gempitanya konggres menjelang berakhirnya tahun anggaran (30 September adalah akhir tahun anggaran USA). CNN kiranya tidak berani siaran langsung hampir 24 jam selama 5 hari kalau siarannya tidak laku. Justru karena semua mata ingin melihat setiap gerak Paus, siaran itu terus menerus ada selama lima hari.
Saya sendiri hanya melihat langsung Parade Paus di Washington DC pada hari Rabu pagi (24 September), setelah Paus diterima Presiden Obama dan sebelum menuju ke Gereja Kathedral St. Matius. Sambutan di Washington begitu luar biasa.
Orang-orang begitu bersemangat untuk “sekedar” melihat sekelebatan Paus yang diarak di sekitar “National Monument” Washington DC. Puluhan ribu orang begitu excited, antusias, dan bergembira bisa melihat “sekelebatan” Paus yang lewat dengan mobil terbuka khas kepausan. Mereka datang dari segala pelosok Amerika dan juga dari negara-negara di luar Amerika, seperti Brasil, Argentina, Mexico, Puerto Rico, Honduras, dsb.
Sungguh luar biasa.
Saya tidak ingat semua yang diucapkan Paus di hadapan Presiden Amerika, di Konggres, di beberapa gereja saat beliau berkhotbah atau memberikan sambutan, di Sidang Umum PBB, sampai Misa Pertemuan Keluarga sedunia di Philadelphia. Paus berbicara tentang imigran, perubahan iklim, kebebasan beragama, keadilan sosial, pentingnya Keluarga, dsb. Namun yang selalu saya ingat adalah suasana emosional yang begitu mendalam, baik yang saya rasakan sendiri, maupun yang dirasakan oleh banyak orang Amerika, baik yang Katolik maupun yang bukan.
Mungkin itu yang disebut pengalaman iman.
Beberapa kesaksian yang sempat saya dengar dalam siaran langsung CNN menyatakan bagaimana orang sempat frustasi dan tidak percaya Gereja Katolik sehubungan dengan skandal seks di Gereja Amerika beberapa tahun yang lalu. Kunjungan Paus, menurut mereka, mampu mengubah hati mereka untuk kembali ke Gereja.
Mereka melihat Paus sebagai Gereja yang mau mendengarkan dan menyentuh hati mereka. Mereka melihat Paus sebagai seorang manusia biasa yang mampu menyentuh hati mereka secara personal. Keterbatasan Paus dalam berbahasas Inggris tidak menjadi halangan bagi orang Amerika untuk mendapatkan sentuhan personal yang begitu mendalam.
Inilah kunjungan pertama Paus Fransiskus ke Amerika. Banyak orang mengatakan sebagai kunjungan yang sangat luar biasa sukses. Gereja Katolik di Amerika masihlah hidup. Sentuhan personal ke hati umat Katolik di Amerika menambah semangat orang Amerika untuk menghidupi Gerejanya. Semoga suasana kegembiran batin itu tidak sekedar euphoria yang meghilang begitu Paus meninggalkan Amerika Minggu sore tadi. Semoga pengalaman iman ini tetap hidup di hati orang Katolik Amerika, dan orang-orang Katolik di belahan dunia lainnya. Amin.
Kredit foto: Paus Fransiskus disambut hangat Presiden AS Barrack Obama. (Courtesy of USA Today)