RIBUAN kilometer seekor tukik betina dewasa menempuh untuk pulang ke Bandealit, tempatnya dilahirkan dan didewasakan.
Ia pulang menerjang ombak. Melawan alun dan badai. Saat ringkih sedang mengandung telur, ia memutuskan pulang.
Pulang. Ke tempat yang dikenalnya. Tempat alam tersenyum menyambutnya, saat itu.
Ribuan langkah kulalui. Derai air mata bercampur tetesan keringat. Pergi aku meninggalkan segala. Sesuap nasi kucari. Mengisi makna takdirku diciptakan.
Kini dalam riang, aku hendak pulang. Aku pulang ke tempat yang kukenal. Tiap bongkah batu dan bulir pasir tak melupakan telapak kakiku.
Tiap sudut pasti menyambutku, “Ah, kau. Baumu masih tetap sama seperti dulu.”
Maafkan aku, sudut itu terasa jauh. Kata-katamu hanya sayup menusuk gendang telingaku. Kenangan ku melesat jau: bukan engkau yang jauh.
Aku menempuh jalan jauh, memutar. Bahkan kucipta labirin tak kenal jalan keluar. Dari lemah kucipta lemah yang lain. Dari satu salah, kutumpuk salah yang lain. Hatiku makin terasa berat. Kata _ampuni aku_ berat terucap dari bibir.
Aku rindu anakKu. Yang bengal akan Kusambut. Saat ia pulang, kenakanlah jumbah terindah; kakinya yang kotor, bersihkanlah dan kenakan sepatu. Jangan lupa, kenakan cincin ini di jari manisnya.
AnakKu, pulanglah, Aku rindu. Hati sesak tanpamu. Ada relung hampa di sudut ruang batinKu.
Tak layak aku. Tak berani kutatap wajahMu.
Ampuni aku.
Kini, kubersimpuh.
Tangan merentang. “Maafkan aku. Mohonkan ampunan pada Dia yang penuh kasih sayang dan pengampun.” Saat ini, saat kumohon ampun alam pun tersenyum.
Ia seolah berkata, “Ah, kau. Baumu masih tetap sama seperti dahulu.”
Suci kembali.
Selamat Idul Fitri, sedulur, suci kembali.
05.06.2019. bm-1982. ac eko wahyono