Pengantar Redaksi
BANYAK pihak kadang suka menyepelekan anak-anak muda Generasi Millenial sebagai elemen sosial yang ‘manja’ dan cuek terhadap keadaan sekelilingnya. Namun, hasil penelitian terkini yang dilakukan CSIS (Centre for Strategic and International Studies) Jakarta membuktikan, kesan atau pendapat seperti itu tidak benar.
Keterangan pengantar oleh Dominique Nicky Fahrizal, dosen sekaligus peneliti CSIS, itu mengemuka di forum diskusi terbatas bertema “Komunikasi Generasi Millenial”. Acara bincang-bincang santai dengan materi serius ini dibesut oleh Forum Masyarakat Katolik Indonesia (FMKI) KAJ dan telah berlangsung di Jakarta, Minggu siang (17/12/12) lalu.
Kepada peserta diskusi –dan tak lupa juga kepada hirarki Gereja—Nicky pun bertanya: Adakah sebuah grand design yang pernah dibuat otoritas Gereja Katolik untuk ‘menggarap’ potensi besar Generasi Millenial ini?
Ini adalah sebuah harapan tentang upaya macam apa yang bisa diusahakan oleh otoritas Gereja Lokal dalam kerjasamanya dengan lintas komunitas katolik untuk memberdayagunakan Generasi Millenial. Tidak hanya dalam skup lokal di masing-masing keuskupan, melainkan juga di skup skala nasional.
Pertanyaan lanjutannya adalah bagaimana kita -umat katolik ini– secara bersama bisa ‘memformat’ Generasi Millenial yang amat potensial itu? Objektifnya adalah agar masing-masing bisa berdayaguna bagi bangsa dan negara.
Tentu saja juga diskusi itu masih menyertakan pertanyaan lain. Yakni, bagaimana mengarahkan berbagai potensi besar Generasi Millenial ini sebagai ‘tonggak penentu’ arah sejarah dan perkembangan Gereja Lokal di Indonesia.
Inilah kurang lebih bingkai besar paparan sesi ke-2 oleh Nicky di forum diskusi terbatas “Komunikasi Generasi Millenial” besutan FMKI KAJ di Jakarta, Minggu siang lalu.
—————-
Kondisi Normal dan Normal Lainnya yang Baru
Nicky mengintroduksi kategori untuk membedakan dua macam kondisi sosial dimana anak-anak muda “Zaman Now” ini dulu telah dan sekarang berada. Dulu, anak-anak muda “Zaman Old”, kata dosen alumnus Inggris ini, berada pada kurun masa dimana berlangsung kondisi normal.
Sekarang ini, anak-anak muda “Zaman Now” sudah berada di ‘alam lain’ yang disebutnya: kondisi normal tapi baru (a new normal).
Kurun waktu yang normal tapi baru ini ditandai dengan beberapa ciri antara lain yakni:
- Kondisi yang smemecah belah (disruptive) dan sering kontradiktif;
- Kondisi yang sering berubah-ubah (volatile);
- Perilaku yang sering tidak bisa diprediksi (uncertainty);
- Situasi ‘alam pikir’ yang kompleks (complexity).
- Tindakan sering ambigu (ambiguity) yang tidak bisa definisikan secara pasti.
Baca juga:
Bingung Hadapi Generasi “Now” Millennial? Inilah Jawabannya (1)
Perspektif nihilisme eksistensial
Kondisi normal tapi yang sama sekali baru inilah “Zaman Now”. Inilah kurun waktu tahun-tahun terakhir dimana kita semua ini sekarang telah berada.
Banyak hal-hal baru yang dulu selau dianggap ‘tabu’ dan ‘tidak biasa’, namun sekarang ini sudah dianggap sebagai hal lumrah, oke-oke saja dan ‘sampeyan nggak perlu ribut mempersoalkannya.’
Studi filsafat modern yang digagas oleh Friedrich Nietzsche sering mendeskripsikan situasi ini sebagai zaman dimana nihilisme tengah merajalela.
Inilah kurun waktu dimana tata nilai lama telah dijungkirbalikkan (disruptif). Inilah situasi hidup sosial di masyarakat dimana tiba-tiba orang dibuat jadi bingung dan tak tahu arah. Orang tidak tahu harus berbuat apa dan mendasarkan hidupnya pada tataran nilai yang mana lagi. Sedikit-sedikit berubah dengan cepat.
Di sini seakan sudah hilang apa yang menjadi panutan umum tentang tatanan moralitas, karena tiba-tiba semua rontok dan menjadi ‘nihil’ (kata Bahasa Latin yang berarti ‘tidak ada’): nihilisme. Hidup dibiarkan berjalan begitu saja tanpa ‘tujuan’ (no purpose), tanpa membawa makna eksistensial bagi pemilik kehidupan itu sendiri: nihilisme eksistensial.
Bingung Hadapi Generasi “Now” Millennial? Mulai Saja dengan Konsep VUCA dan FAANG (2)
Perspektif filosofis ini semoga bisa dengan lebih jelas menggambarkan deskripsi ‘kondisi normal tapi baru’ sesuai hasil penelitian terbaru CSIS yang dipaparkan Nicky di forum diskusi terbatas FMI KAJ tersebut.
“Zaman Now” yang normal namun ‘baru’ itu ditandai antara lain dengan beberapa contoh fenomena sebagai berikut:
- Orang dengan sadar dan –anehnya- juga tidak merasa bersalah atau ‘berdosa’ ketika melakukan tindakan penipuan informasi. Information deception menjadi hal yang biasa, Padahal dalam tatanan sosial biasa: menipu itu sudah ‘dosa’ dan apalagi menyebarkan informasi yang tidak benar dan menyesatkan publik. Kini, hoax tumbuh subur bak cendawan di musim hujan di media sosial dan banyak orang ‘termakan’ oleh kemasan informasi palsu dan bohong ini.
- Intervensi agama telak dipaksa-paksa agar bisa masuk ke dalam urusan ke-publik-an. ‘Moralitas’ dan indentitas agama dengan gampangnya ingin disangkut-sangkutkan pada urusan publik. Contoh paling grès adalah komentar orang seperti ini: “Jakarta banjir nih. Oh ndak masalah, yang penting Gubernurnya seiman” atau “Banjir itu cobaan dari Tuhan” dan masih banyak lagi.
- Korupsi menjadi hal yang biasa terjadi. Ada koruptor masih bisa ketawa-ketiwi dan melambaikan tangan ketika sorot kamera awak media TV mengambil gambar muka mereka. Di Tiongkok, Jepang, dan Korea Selatan, pastilah hal semacam itu tidak akan pernah terjadi.
- Politik sektarian atau primordial menjadi pakem dalam pertarungan politik. Ingat Pilkada DKI Jakarta.
- Hal baru sebagai trend setter: aneh dan tak biasa, namun tiba-tiba saja bisa disukai banyak orang. Contoh: Bagaimana bisa menerangkan‘enaknya’ ayam kremes tiba-tiba dikasih olesan cokelat basah? Aneh, tapi Generasi Millenial di Jakarta tiba-tiba menyukai suguhan ‘menu’ produk Zaman Now ini.
- Musik era tahun 90-an tiba-tiba menjadi favorit.
- Meningkatnya zona abu-abu yang tidak jelas.
- Digital politics dan
Pertanyaannya, apakah Generasi Millenial “Zaman Now” ini bisa dikatakan buta politik?
Rasanya tidak. (Berlanjut)
Bingung Hadapi Generasi “Now” Millennial? Memilih Satu dari Dua Opsi: Paycheck vs. Purpose (3)