JARAK geografis antara Jakarta dan Medan, Ibukota Provinsi Sumut, itu jauh sekali. Butuh waktu terbang setidaknya dua jam lebih untuk mengudara. Lalu membiarkan pesawat terbang itu melibas kawasan langit Sumatera hingga akhirnya si burung besi itu bisa mendarat mulus di Kuala Namu –bandara internasional di luar kota Medan.
Mendekatkan yang jauh
Jarak yang sangat jauh secara geografis itu ternyata bisa menjadi ‘dekat’. Itu terjadi berkat pertautan hati antara Sr. Bernadette Saragih FSE dan Venantius Vladimir. Masing-masing telah membawa ‘gerbong’ rombongan anak-anak binaan dan sekawanan teman untuk kemudian bisa disatupadukan dalam sebuah proses berkesenian kreatif yang sifatnya sinergis.
Pentas teater Anak yang Hilang yang bercitarasa karikatural di PPHUI Jakarta hari Sabtu siang dan malam tanggal 6 Januari 2018 itu membuktikan, jaringan kerjasama lintas provinsi, lintas umur, dan lintas profesi itu bisa diretas lahir sebagai sinergitas yang produktif. Dan yang meretas itu adalah mayoritas Generasi Millenial Zaman Now.
“Anak yang Hilang”: Mahalnya Rasa Sesal di Ujung Penantian yang Panjang (2)
Kisah Vladimir
Mengaku beberapa kali harus terbang dari Jakarta ke Medan untuk bisa intensif merajut jalinan ‘tenunan kerjasama’ ini, Venantius Vladimir Ivan lalu berkisah demikian.
Proses persiapan teknis untuk pementasan itu sudah berlangsung sejak Januari 2017, demikian kalimat pembuka Vladimir. “Itu termasuk persiapan menulis naskah dan panitia serta kru lokal Jakarta yang akan menyiapkan pemain mitra dan musisi,” ungkap pria berambut gondrong dari Paroki St. Antonius Padua – Bidaracina di Jaktim ini.
Kerjasama antar tiga elemen pecinta seni teater yakni Teater Angela, Teater Katak dan EforD dari dua wilayah berbeda (Jakarta dan Medan) itu akhirnya bergulir menjadi sebuah realitas.
“Di bulan Juli 2017 lalu, kami datang di Medan dan kemudian melatih anak-anak ‘Rumah Keberhasilan’ Panti Asuhan St. Angela. Tiga program latihan kami kerjakan di Delitua yakni acting, bermainkan adegan, dan koreografi,” jelas Vladimir.
Bulan-bulan berikutnya, program latihan bersama terjadi di Jakarta untuk ‘menggodok’ para pecinta seni drama Teater Katak dan EforD. Pada kurun waktu senada, Teater Angela yang semuanya diawaki oleh anak-anak “Rumah Keberhasilan” Panti Asuhan St. Angela Delitua juga melakukan olah seni yang sama.
Demi menjaga keberlangsungan ritme dan suasana, Vladimir harus terbang lagi ke Medan di bulan November 2017 dan akhirnya -kata dia- “Kami pun baru bisa mulai berlatih bersama secara intensif di Jakarta sejak rombongan Teater Angela datang ke Ibukota tanggal 28 Desember 2017 ”.
Itu berarti, kerjasama sinergik yang intensif itu baru terjadi hanya beberapa hari menjelang tiga elemen pecinta seni drama –Teater Angela, Teater Katak, dan EfforD– itu berlatih bersama menyiapkan pementasan perdana mereka di Jakarta.
Kerjasama internal Vladimir juga terjadi di rumahnya. Crescentia Edith Lawanto, demikian nama isterinya, dibesut sebagai musisi biola bersama para musisi lainya yakni Dennis Setiadi, Hendry Yohanes Teja, Hendy christian, Yonathan Anugerah, Fandy Krismawan, Hilda Ignatia Tambun, Ericsson Immanuel Siahaan, dan Denovan Hutabarat.
Kisah Cassandra Putri Prayitno
Siapa sangka, konsep pentas Anak yang Hilang itu sudah bergulir sejak dua tahun lalu. Menurut Cassandra Putri Prayitno yang bertindak sebagai pimpro pementasan di Jakarta, beberapa peristiwa Teater Angela naik panggung pentas sudah terjadi di Medan. “Namun hanya di lingkungan internal saja,” tutur Cassandra.
Rencana membawa rombongan besar anggota Teater Angela dari Medan ke Jakarta itu mulai bergulir di bulan Februari 2017. “Realisasinya baru oke di bulan Juli 2017,” jelasnya kemudian.
Memproduksi pentas panggung dengan tiga kelompok teater berbeda dari dua wilayah yang berjauhan sungguh menjadi tantangan tersendiri. “Kami baru bisa memadukan sinergitas itu sejak 28 Desember 2017. Bulan-bulan sebelumnya, kami selalu latihan terpisah. Peran-peran yang tidak ada selalu dicarikan ganti dulu,” ungkapnya.
Tim pemain Jakarta baru bisa mengelar jadwal latihan mereka mulai bulan Agustus 2017. Sedangkan, tim Teater Angela dari Medan sudah mulai duluan sejak bulan Juli 2017.
Aneka tantangan dan kesulitan
Meski mencoba sekuat tenaga memadukan sinergitas itu sebagai proses kreatif yang berseni, namun kata Cassandra, kesulitan-kesulitan teknis juga terjadi. Beberapa adegan ‘baru’ sudah banyak berkembang dan hal-hal itu –kata Cassandra- baru bisa dikerjakan dengan rapi dan menjadi ‘produk adegan paten’ saat rombongan dari Medan sudah tiba di Jakarta.
“Barulah ketika kita ketemu muka dan saling berinteraksi, maka program sinergitas seni ini menjadi bergulir nyata. Kami merangkainya dengan kostum, iringan musik, prop, dan gerak tariannya,” tutur Cassandra.
Tantangan yang harus dilalui adalah menjaga stamina fisik dan performa emosi. Itu tidak mudah, namun harus tetap dijaga dan dirawat mood semua pemain inti, pendukung, dan kru di belakang layar.
Latihan-latihan fisik seperti push up di sela-sela latihan intensif setiap hari tetap berlangsung. “Sesekali, kami mengajak adik-adik dari Medan jalan-jalan melihat Jakarta,” tutur Cassandra.
Kisah Agnes
Di atas panggung, Agnes menjadi cewek super genit dengan nafas kehidupan sangat metropolis. Bersama Yohana, ia memerankan dua tokoh cewek pembujuk rayu agar Sang Ibu tergiur nafas semangat hedonisme. Baik Agnes dan Yohana tampil dengan kostum dandanan menor, bahasa mereka cenderung ‘norak’ –memang disengaja demikian mengukuti pola slapstick khas kelompok-kelompok teater modern yang disukai penonton kaum urban Jakarta ini.
Itu hanya terjadi di atas panggung pentas.
Dalam kesehariannya, Agnes yang bernama lengkap Gabriella Elcelci Agnes tentu saja tidak ‘semenor’ begitu. Itu karena dia seorang karyawan.
Mengaku menyenangi dunia seni teater sejak kuliah, itulah Agnes dari Paroki St. Philipus Rasul – Teluk Gong di Jakarta Utara. Ia mengaku sangat menikmati perannya sebagai ‘perempuan nakal’ di pementasan teater Anak yang Hilang yang berciri karikatural ini. “Rasanya luar biasa senang,” ungkapnya di luar panggung usai pementasan.
Menurut dia, persiapan matang baru berjalan empat bulan sebelum naik panggung. “Ada dua tim pemain berbeda lokasi yakni Medan dan Jakarta, sama-sama berlatih di tempatnya masing-masing dan baru kemudian ‘bergabung’ bersama,” tuturnya.
Ketika ‘adik-adik’ anggota Teater Angela dari “Rumah Keberhasilan” Panti Asuhan St. Angela di Delitua – Medan itu akhirnya bisa datang ke Jakarta, hati Agnes pun ikut bergejolak senang. “Ketika tiba waktunya, mereka tiba di Jakarta dan kami mulai latihan bersama, maka senangnya bukan main,” terang Agnes.
Suka hati kalahkan rasa capai
Rasa suka itu berasalan. Menurut Agnes, anak-anak “Rumah Keberhasilan” itu sangat antuasias berlatih dan berlatih. “Stamina mood mereka terjaga, walau jadwal latihannya sangat ketat,” tutur Agnes yang bersama rekannya di Jakarta sempat mencemaskan kalau adik-adik dari Medan itu kecapaian karena harus naik pentas dua kali dalam sehari.
Semangat mereka mampu mengalahkan rasa lelah, usai mengikuti program latihan maraton dan proses adaptasi hidup di Jakarta.
Proses menyatukan chemistry juga berlangsung lancar. “Mereka itu sangat lucu dan gampang membaur bergaul dengan kami yang lebih tua,” papar Agnes.
Apakah Agnes ikut merasa capai? Iya, apalagi –kata dia- ‘Latihan terjadi usai pulang kerja plus latihan intensif pada hari Sabtu dan Minggu.”
Cerita Kristo
“Terimakasih banyak sudah menonton pementasan kami,” kata Kristo menjawab ucapan proficiat Sesawi.Net.
Menurut dia, projek pementasan ini terjadi di awal tahun 201, ketika Pimpro Cassandra dan Vladimir mulai mulai membahas projek ini.
Dua tahun lalu, tim Kak Ivan telah pergi ke Medan dan melatih anak-anak penggiat Teater Angela dari “Rumah Keberhasilan” Panti Asuhan St. Angelia Delitua. Saat itu, kata Kristo, Teater Angela mementaskan drama teater mereka hanya di lingkungan internal.
Namun, sejak itu mulai ada keinginan agar mereka memboyong pementasan teater mereka keluar dari panti asuhan dan di tempat yang lebih luas akses penonton publiknya.
“Kami mulai bereksperimen di Medan pada bulan Juli 2017 dimana kami berempat yakni saya, Kak Ivan, Cassandra Putri, dan asisten sutradara kami Kak Krisma latihan di sana,” tutur Kristo.
“Saya memerankan tokoh ayah, sembari Kak Krisma dan saya membantu melatih mereka ber-acting dan menari,” tambahnya.
Kesulitan teknis yang dialami para pemeran Jakarta adalah menyediakan waktu untuk latihan di tengah kesibukan kerja. Dengan rombongan Medan, latihan bersama baru terjadi pada tanggal 28 Desember 2017.
“Itulah pertama kali tim Jakarta dan Medan bertemu bersama dan mulai berlatih. Yang menjadikan kami makin bersemangat adalah semangat besar rombongan Medan. Mereka benar-benar antusias dan berkomitmen serius. Hanya dalam tempo tiga hari saja, Kak Ivan berhasil memadukan sinergi dua tim dari dua wilayah berbeda ini,” tandas Kristo.
Sinergi Generasi Millenial Zaman Now
Pementasan seni teater bergaya karikatural dengan titel Anak yang Hilang di PPHUI Jakarta itu sekali lagi menegaskan, Generasi Millenial Zaman Now ini super kreatif. Mereka menggarap musiknya live dan itu pun makin menarik karena para pemeran utamanya juga bisa unjuk kebolehan dengan menyanyi secara live.
Tampilan dekorasi, sound-system, art director dan tata lampu juga dikerjakan Generasi Millenial, plus tentu saja para usher (among tamu), tim keamanan, dokumentasi, konsumsi, para pemeran tokoh Rakyat dan Anak-anak, dan Kelompok Penari.
Asisten Produksi (Julio Amosis), Asisten Sutradara (Septian Nurcahyo dan Krisma Hutama), Manager Panggung dan Asisten Manajer Panggung, Koreografer (Yonas Putra) dan pelatih di Medan (Kristina Lastiar), Tim Kostum (Angela Nadia, Irene Kim, Candice Lovina, Jessica Dwirani, Meikey Gani, Daniel Mangaraja, dan Magnus Hosea) — mereka semuanya itu adalah orang-orang muda Generasi Millenial.
Kalau pun ada yang sudah berstatus ‘emak-emak’ maka itu tak lain Nata, Arta, Lina Sihotang sebagai pendamping dan Sr. Bernadette Saragih FSE –penanggungjawab produksi seni teater di sebuah pentas panggung ini. Kalau ada pihak yang ikut merasa sudah lebih tua dari Generasi Millenial, maka mereka itu adalah teman-teman di bagian Humas – Publikasi dan Dokumentai.
Siapa mau membantu?
Yang menarik, justru di Anak yang Hilang ini, kedua kelompok usia berbeda ini bisa nyampur aduk untuk sebuah projek kerja seni kreatif mengusung seni teater ke atas panggung. Inilah keberhasilan kesekian yang sukses ditorehkan oleh Sr. Bernadeth Saragih FSE.
Adalah suster biarawati anggota Kongrehasi Suster Fransiskanes St. Elisabeth (FSE) ini yang sekarang diberi tugas pengutusan mengelola “Rumah Keberhasilan” Panti Asuhan St. Angela di Delitua – Medan. Di sini pula eksis Teater Angela dan semua kisah sukses lainnya sebagai calon-calon pribadi yang matang, dewasa, mandiri, dan bertanggungjawab.
“Ketika mereka sudah mandiri dan dewasa, maka kami akan mengantar mereka berkiprah di masyarakat. Jadi, tidak selamanya mereka ada di Panti Asuhan,” kata Sr. Bernadeth Saragih FSE di awal pementasan.
Anda berminat ingin berkontribusi bisa berperan ikut meretas kembali sejarah keberhasilan itu di “Rumah Keberhasilan” Panti Asuhan St. Angela yang dikelola oleh para suster biarawati FSE ini?
Gampang dan inilah caranya yang paling mudah.
- Salurkan donasi Anda dengan mengontak japri Sr. Bernadette Saragih FSE melalui email adethsaragih@yahoo.co.id
- Bisa juga langsung melalui transfer ke BCA Norek 8 000 743 5xx a.n. Bernadette FSE.
Proficiat. (Selesai)