SEPANJANG awal pagi ini di Indonesia dan masih waktu malam hari di belahan Barat, muncul berbagai berita sensasional. Seakan-akan, Vatikan telah “merestui” dan mengizinkan perkawinan sejenis.
Berikut ini judul-judul sensasional itu.
- Pope Francis declares support for same-sex civil unions for the first time as pope di America, sebuah media Jesuit Amerika.
- Pope Francis endorses same-sex civil unions, sebuah wawancara langsung antara CNN International dengan Pater James Martin SJ, penulis buku laris Spiritualitas Jesuit dalam Keseharian.
- Homosexual People Have the Right to Be in a Family.’ Pope Francis Offers New Support for Same-Sex Civil Unions yang dibesut Majalah Time.
- Pope’s latest affirmation of same-sex civil unions hailed as progress by LGBT community.
- Pope Francis calls for civil union law for same-sex couples, in shift from Vatican stance dari CNA.
- Pope endorses civil union laws for same-sex couples produksi CNN International.
- Pope Francis calls for civil union laws for same-sex couples dari Washington Post.
- Pope Francis indicates support for same-sex civil unions dari BBC International.
- Pope endorses same-sex civil unions in new documentary film dari Al Jazeera.
Semua berita di atas terbit hari ini. Di wilayah negara-negara Barat di mana wilayah mereka masih tertanggal 21 Oktober 2020. Judul-judul di atas masih bisa ditambah dengan berita-berita lokal produksi media Indonesia tanggal 22 Oktober 2020.
Belum ada rilis resmi dari Vatikan
Sejauh ini, isu seksi di atas belum menjadi berita dari media resmi Vatikan seperti Vatican News, Kantor Berita AsiaNews.It yang keduanya berbasis di Roma.
Dan karena siaran pers resmi dari pihak otoritas Tahta Suci belum merilis pernyataan apa pun soal itu, maka judul-judul berita di atas sebaiknya kita letakkan dalam konteks fenomena global yang terjadi di masyarakat internasional.
Utamanya, dunia dan masyarakat Barat yang sudah lama memang sangat “permisif” dan hukum sipil di sejumlah negara yang memang melegalkan praktik LGBT dan perkawinan sejenis.
Bahkan Taiwan pun sudah mengarah pada kiblat yang sama: merestui perkawinan sejenis sebagaimana belum lama ini muncul di pemberitaan media internasioal.
Isu seksi
Karena hingga waktu sekarang, pukul 09.30 WIB Rabu 22 Oktober 2020, masih belum ada tanggapan resmi dari Tahta Suci menyangkut munculnya judul-judul menarik di atas, maka tulisan ini sebaiknya dipersepsikan sebagai analisis saja.
Bukan masuk kategori berita hard news atas isu tersebut. Tapi lebih sebagai tulisan opini berupa analisis terhadap isu tersebut.
Pertama-tama marilah kita melihat bahwa praktik LGBT dan perkawinan sejenis itu sudah lama terjadi dan memang dipraktikkan oleh sejumlah orang di banyak negara.
Amerika dan Eropa paling “permisif” atas praktik kecenderungan seksual seperti ini.
Bahkan di sejumlah negara di kawasan Asia pun ada yang cenderung mau “menerima” bahwa praktik melakoni hidup LGBT dan hidup bersama dengan teman sejenis itu memang ada. Dan karena sudah merupakan fakta publik, maka sejumlah negara itu juga kemudian “merestui” hal itu.
Indonesia dalam hal ini sangat konvensional dalam menyikapi fakta di atas. Bahkan juga layak disebut konservatif alias menolak mentah-mentah praktik yang oleh sejumlah kalangan disebut “menyimpang” dari kodratnya sebagai manusia.
Kami tidak akan membahas kondisi di Indonesia tersebut. Melainkan kembali pada konteks global yang terjadi saat ini.
Misericordia
Kita tahu bahwa kiblat teologis pastoral Paus Fransiskus ini sangat dipengaruhi oleh teolog bernama Kardinal Walter Kasper dari Jerman.
Kardinal inilah yang amat getol mengkampanyekan teologi pastoral dengan kata kunci misericordia atau belas kasih dalam bahasa Indonesia.
Mengikuti spirit istilah aggiornamento yang pernah dilakukan Paus Johannes XXIII ketika mulai merancang-bangun Konsili Vatikan II, maka spirit “angin segar” baru juga mulai dihembuskan Paus Fransiskus dalam reksa pastoralnya sebagai Pemimpin Tertinggi Umat Katolik Sedunia.
Dan hal itu tidak lain adalah semangat belas kasih (misericordia).
Inilah sebuah ide sederhana, namun mulia yang menurut pengakuannya sendiri, beliau ambil dari risalah-risalah teologi Kardinal Walter Kasper.
Dunia sekarang ini sedang “sakit”, demikian “tesis” teologis Kardinal Kasper menyikapi tragedi dunia yang merobek martabat manusia. Perang Dunia I dan II adalah contohnya, selain praktik pembunuhan massal yang terjadi di Kamboja, Rwanda, dan di belahan dunia lainnya.
Mencermati fenomena tatanan sosial dunia yang “sakit” itu, Kardinal Walter Kasper lalu berkesimpulan, penderitaan dan sengsara itu sudah menjadi “bagian tak terpisahkan” dari sejarah umat manusia.
Berbagai kisah kelam itu ada, bahkan sejak awal dunia dan manusia eksis.
Namun, dia lalu bertanya lebih lanjut dan inilah yang menjadi pokok penting pembahasan analisis ini. Menghadapi semua keniscayaan “sejarah kelam” tersebut, tulis Kasper dalam bukunya yang menjadi referensi Paus Fransiskus, lalu apa yang bisa kita lakukan sebagai warga dunia?
Mula-mula Kardinal yang bertanya, namun langsung mendapat “gong” dari Paus Fransiskus yang rupanya telah begitu kesengsem dengan teologi pastoral dengan tema misericordia ini.
Kata mereka, bagaimana masing-masing kita ini bisa berbuat sesuatu agar mampu menciptakan tatanan hidup sosial yang semakin bermartabat dan menjadikan mutu hidup manusia juga semakin baik?
Pada titik singgung refleksi teologis inilah, Kardinal Walter Kasper lalu mulai membahas panjang lebar tentang misericordia.
Ketika Kardinal Kasper merefleksikan dalam tataran teologi, maka Paus Fransiskus mempraktikkannya dalam sikap pribadi dan kemudian juga mengajak Gereja mewujudkannya dalam lingkup pastoral.
Dalam konteks ini, maka bisa dimengerti bahwa sejak awal menjadi Pemimpin Gereja Katolik, Paus Fransiskus langsung membetot atensi dunia.
Paus tidak lagi mau merayakan Kamis Putih di Vatikan, tapi di penjara atau tempat lain. Tidak hanya membasuh kaki “para rasul”, tapi malah bersedia menciumnya.
Bahkan sekali waktu beliau mengatakan –kurang lebih begini—siapakah kita ini sehingga lalu merasa “berhak” mengadili mereka yang berbeda dengan mayoritas manusia pada umumnya.
Gotcha
Pada hemat penulis, berita-berita di atas sebaiknya masuk dalam konteks pemikiran teologi pastoral tentang misericordia dan pandangan Paus soal ketidaksempurnaan kita masing-masing sehingga juga tidak layak bisa menjadi “hakim mulia” untuk mengadili sesama yang “berbeda” dari kebanyakan orang.
Judul film bertitel Francesco
Lalu darimana judul-judul menarik itu muncul? Tentu sudah terlebih dahulu ada api besar sehingga kepulan asap yang membumbung tinggi itu kemudian muncul.
Belum lama ini dirilis sebuah film baru tentang Paus Fransiskus. Judulnya Francesco.
Respon besar terjadi, ketika film Francesco ini dirilis ke ranah publik. Terutama karena genre film ini boleh disebut sebagai semi dokumenter tentang hidup pribadi Paus Fransiskus dan sejumlah pandangan teologi pastoralnya.
Sebuah adegan kecil dalam film Francesco ini memuat pernyataan Paus Fransiskus yang sekarang ini menjadi trending topik di media massa internasional dan domestik Indonesia.
Tapi diucapkan kapan dan di mana –penulis belum tahu karena film Francesco belum bisa diakses sekarang—sehingga konteks pernyataan sensasional itu juga belum jelas.
Yang pasti, sejauh ditulis oleh CNA, adegan dalam film Francesco itu merilis pernyataan Paus Fransiskus yang mendukung negara agar mengakui keberadaan LGBT.
Hukum sipil negara, bukan Hukum Gereja
Dengan demikian, fokus isu ini jelas. Ranahnya ada di wilayah hukum sipil negara. Dan tentang soal ini, sesuai adegan dalam film Francesco itu, Paus Fransiskus mendukung gagasan tentang negara yang (sebaiknya) mengakui keberadaan orang-orang penganut laku hidup LGBT.
Sama sekali tidak menyentuh esensi apa pun dalam –katakanlah—dogma konvensional Gereja soal perkawinan sejenis dan lain-lainya.
Semuanya masih tetap sama. Gereja hanya mengaku perkawinan dua orang manusia berbeda jenis kelamin. Ketok palu sejak lama dan hingga kini, prinsip fundamental ini tidak (akan) pernah berubah.
Jadi, pikiran kita sebaiknya tidak usah “lari kemana-mana”.
Seakan-akan Paus Fransiskus akan mau mengubah Hukum Gereja dan prinsip fundamental,. Hukum dan aturan umum fundamental yang selama ini dipraktikkan oleh Hirarki sejak dulu sampai sekarang dan entah sampai kapan. Pokoknya secula seculorum. Sampai akhir waktu.
Dan barangkali hanya akan bisa berubah, kalau ada Konsili Vatikan III.
Kesan umum
Ada pandangan umum bahwa sejumlah pastor di Amerika “cenderung” membela keberadaan kelompok-kelompok LGBT. Juga mendukung hak-hak mereka untuk melakoni hidup yang –menurut pikiran umum masyarakat kebanyakan—dianggap tidak normal dan tidak wajar.
Sekali lagi, kalau di negara-negara yang secara hukum sipil dan legal positif memang mengakui keberadaan kelompok-kelompok itu, maka apakah menjadi relevan lagi para pastor itu mbegegeg dan tetap saja keukeuh menolak keberadaan orang-orang tersebut.
Mereka itu ada dan hidup. Negara dan hukum sipil juga telah mengakui eksistensi mereka. Bahkan juga ada sejumlah denominasi Gereja tertentu memfasilitasi perkawinan sejenis. Lalu, apakah Gereja Katolik –dalam hal ini pastor-pastor tertentu—harus tetap keukeuh menolak mereka?
Pada hemat penulis, rasanya kurang afdol juga bersikukuh dalam pendapat fundamentalis seperti itu. Soalnya, keberadaan mereka itu riil dan kehadiran mereka di masyarakat itu juga nyata. Bahkan tidak jarang juga bahwa mereka itu berlaku sopan dan menjadi “orang-orang baik” di masyarakat.
Praktis, yang membedakan kita dengan mereka hanyalah soal orientasi seksual saja. Lainnya barangkali tidak. Toh, kita semua tetap mengkonsumsi jenis-jenis makanan dan minuman yang sama. Faeses yang kita keluarkan dari anus kita pun tetap punya “warna sama”.
Yang membedakan hanyalah kecenderungan seksual saja. Dan yang membedakan antara dogma kaku dan teologi pastoral itu terjadi di tataran praksisnya. Yakni, Gereja tetap mengasihi mereka yang punya tendensi seksual berbeda.
Di sini misericordia rasanya memang tidak pernah berlaku pandang bulu. (Berlanjut)