INILAH aneka pengalaman lucu di lapangan.
Saya juga mengalami pengalaman lucu ini, saat melayani Paroki Tumbang Titi. Salah satunya di Stasi Punuk. Saat akan berlangsung acara membabtiskan anak-anak dan bayi, salah satu ibu yang menggendong bayinya tiba-tiba menyusui.
Saya lekas menoleh ke arah lain. Tetap konsentrasi membantu Romo Ubin membawakan air untuk pembabtisan anak.
Kemudian, saat rekreasi bersama teman-teman OMK menuju Bukit Maloy Indah, kami tersesat di dalam area kebun sawit; karena sama-sama tidak mengetahui jalan menuju tempat wisata tersebut.
Akhirnya selama dua jam kami berkeliling di dalam kebun sawit perusahaan. Ketika kembali ke jalan besar, anak kecil memandu perjalanan kami dan barulah kami tiba di tujuan.
Kejadian lucu lainnya, ketika saya melaksanakan ibadat pemakaman di Marau Sinar Bulan dan ada bukong di sana.
Bukong dalam Adat Budaya Dayak merupakan semacam jelmaan “hantu” yang dilakoni oleh beberapa orang yang mengantarkan jenazah pada saat orang meninggal dunia.
Saat saya sedang melayani ibadat, Bukong yang sedang mabuk tiba-tiba berteriak, ”Amin!”, tidak lama kemudian berteriak lagi, ”Lama gak! (Lama sekali!)”.
Umat akhirnya menyuruh Bukong tersebut untuk tenang. Saya sempat tertawa di dalam hati, namun memaklumi. Sebab, mereka dalam keadaan mabuk.
Di Batu Tajam 1, saya berkenalan dengan seorang laki-laki paruh baya dengan kaki buntung sebelah, dia memperkenalkan diri, ”Frater, kenalkan nama saya Romo”, saya terheran-heran.
”Maksudnya, pak?”
Ia menjawab lagi,”Iya Ter, saya Romo.”
Lalu, orang-orang sekeliling menjelaskan kalau nama beliau memang bernama Romo. Setelah dijelaskan demikian, barulah saya mengerti.
Ketika saya berkunjung ke Jungkal bersama Romo Ubin, motor saya mengalami masalah dan saya berhenti untuk memperbaiki. Karena pikir saya, saya pasti tertinggal, akhirnya saya mengebut.
Dan ternyata Romo Ubin memutar kembali dan saya tidak menghiraukan beliau karena saat itu beliau mengenakan helm tidak seperti biasanya, karena saya mengira beliau orang lain.
Setelah sampai di Gereja Jungkal, barulah beliau bercerita dan saya meminta maaf sambil tertawa.
Saya merefleksikan perjalanan selama saya melaksanakan orientasi pastoral ini persis seperti jalanan yang berada di Petebang, Pasir Mayang, Sepauhan ataupun Sungai Maram.
Jalanan yang terjal dan licin, kadang berliku-liku, berbatu, curam, bertepi jurang, meniti jalan yang kecil di antara parit-parit, ada rasa khawatir, bimbang, takut, ragu, tetapi pada akhirnya keyakinan pada Dia yang telah mengutus saya menghancurkan segala keraguan.
Meskipun terjatuh, saya terus bangkit, meskipun saya terluka, saya tetap maju, dan pada akhirnya sampai pada tujuan oleh karena jiwa Kristus yang menuntun saya memikul salib dan pantang menyerah sebelum sampai tujuan.
Orientasi pastoral ini semakin menguatkan saya di dalam panggilan. Saya tidak akan ragu untuk setia memilih jalan panggilan yang telah Tuhan tawarkan dalam hidup saya.
Sebab rancangan-Mu bukanlah rancanganku dan Dia sendirilah yang telah memanggil saya.
Saya merasa sangat bahagia menjalani proses orientasi pastoral ini dan semuanya berjalan dengan baik dan lancar.
Kebudayaan setempat
Corak budaya Tumbang Titi didominasi oleh kebudayaan Dayak, meskipun di antaranya terdapat orang-orang non-Dayak seperti orang Jawa, Tionghoa, Batak, Flores, dan lain sebagainya.
Dalam berbagai macam acara -entah itu pernikahan maupun kematian- orang-orang cenderung melaksanakan ritual adat dan dilanjutkan dengan misa atau sebaliknya. Biasanya tuan rumah mempersiapkan segala hal dengan mengundang orang-orang Dewat Adat Dayak untuk melaksanakan prosesi adat.
Aneka hal yang seringkali ditemukan dalam prosesi adat ini antara lain tajau (tempayan/guci), piring keramik, beras pulut, beras padi, rokok, sirih dan lain-lain.
Di dalam prosesi adat ada semacam perbincangan antar demong adat yang biasanya membutuhkan waktu yang cukup lama. Di tengah-tengah perkacapan biasanya ada seorang penggayung yang siap menyuguhkan hadirin dengan arak atau pun tuak dalam sebuah gelas.
Selain itu, prosesi adat biasanya dibarengi dengan acara begendang (memainkan gong, gendeng, kulinang dll) sepanjang prosesi adat.
Tidak jarang, baik demong adat dan umat serta undangan mengalami mabuk karena disuguhi arak atau tuak yang berlebihan (bahkan ada yang menggunakan tanduk kerbau).
Pada saat adat kematian, umat mengikuti tradisi untuk mengadakan adat betipak (memainkan gong dengan nada khusus untuk kematian) selama 3 s/d 5 hari. Sehingga tidak jarang, pada saat pelayanan ibadat penguburan, bau mayat tercium keluar dari peti yang terbuat dari kayu secara swadaya oleh umat.
Tidak jarang, cairan tubuh jenazah sampai menetes keluar dari peti karena, tidak cepat-cepat dikuburkan. Namun demikian, menurut umat setempat, hal tersebut sudah biasa dan bukan hal yang aneh.
Selain betipak, ada pula bukong yang menurut adat setempat dianggap sebagai jelmaan hantu atau menyamar menjadi hantu untuk berbaur dengan arwah-arwah yang ada di sekitar. Ciri-ciri bukong biasanya menggunakan ikat kepala dari akar merambat, menconteng wajah dan badan dengan arang, terkadang menggunakan topeng bukong dan mengeluarkan suara yang mengerikan untuk menakut-nakuti anak-anak dan perempuan.
Berdasarkan informasi dari salah satu demong, awalnya bukong berfungsi untuk membantu orang yang berduka untuk mencari air, kayu bakar atau hal-hal yang dapat meringankan keluarga yang berduka.
Namun saat ini, bukong dirasa lebih banyak iseng daripada membantu. Di hari terakhir menjelang penguburan akan muncul istilah Bukong Raja yang dianggap mengepalai para bukong yang ada.
Prosesi adat pengangkatan anak juga tidak berbeda dari adat pernikahan dan kematian dengan syarat-syarat yang serupa. Hanya saja tajau atau tempayan yang digunakan berukuran kecil.
Upacara adat pengangkatan anak ini juga menghadirkan anak yang akan diangkat dan juga orang yang ingin mengangkat anak tersebut.
Di dalam prosesi adat ini ada semacam ikatan perjanjian antara orangtua kandung dan orangtua angkat di mana si anak yang diangkat memiliki hak yang sama seperti anak kandung yang pengesahannya ditandai dengan memberikan tajau kecil kepada si orangtua angkat.
Hal yang serupa penulis temukan di setiap akhir adat adalah cara menyuguhkan hidangan makan atau makan adat. Sebelum makan juga dilakukan prosesi yang tidak terlalu panjang tetapi cukup memakan waktu sebagai kata pembuka.
Para pastor, frater, suster, bruder biasanya dianggap orang yang dituakan, maka saat memulai prosesi adat hingga makan adat harus duduk di samping atau di sebelah demong adat.
Setiap lelaki yang melaksanakan adat wajib mengenakan tengkulu’ atau ikat kepala yang dilingkari di atas kepala (boleh terbuat dari kain apa saja).
Penulis menyimpulkan bahwa adat yang dilaksanakan orang-orang Dayak tersebut sangat baik sebagai kekayaan dan kearifan lokal yang diwariskan turun temurun.
Dan kolaborasinya dalam inkulturasi masih dapat memungkinkan meskipun belum kentara untuk mendahulukan ritus liturgi entah misa maupun ibadat baru kemudian upacara adat.