Kedai atau warung tempat berjualan makan juga minuman yang biasanya menjaja makanan ringan, sederhana seperti pisang goreng, tempe bacem, tahu goreng beserta teman-temannya tentu saja hal yang lumrah kita temui di daerah-daerah.
Bahkan, kedai ‘pinggir jalan’ terkenal dengan sebutan ‘angkringan’ di Yogyakarta ini juga sekarang sudah mulai marak kita temui di kota besar seperti Jakarta.
Di sinilah para pemuas dahaga berkumpul sembari mengisi perut yang keroncongan sekaligus bergaul dengan orang-orang yang datang dan pergi. Para pengunjung asyik ngobrol sambil makan nasi/ sego kucing, tempe goreng atau camilan lain yang tidak harus mengenyangkan perut.
Obrolan yang terjadi bisa ke sana kemari, gayeng, meriah dan tanpa terasa waktu bergulir terus. Di situ orang bisa tertawa lepas, bisa diskusi tegang, saling bertukar pengalaman dan tanpa dikejar waktu.
Tentu bukan satu hal yang mustahil bahwa suasana demikian juga ingin dirasakan oleh para ‘peziarah’ yang dahaga dengan hal-hal yang berbau rohani. Kebetulan musimnya sedang disebut Bulan Kitab Suci Nasional. Karena itu, agar tak terasa garing, bulan yang biasanya diisi dengan pendalaman kitab suci ini dijalankan dengan konsep angkringan.
Suasana semacam itulah yang bisa kita temui di Gereja-gereja Paroki Pemalang, Jawa Tengah. Tanpa bermaksud menggantikan pertemuan pendalaman iman di lingkungan, ‘angkringan kitab suci’ begitu kami menyebutnya mengantar kami pada pembicaraan yang mengasyikkan, renyah tapi mendalam.
Tak melangit
Dari dua kali pertemuan dengan peserta berjumlah kurang lebih 15 hingga 20 orang ini di teras Pastoran Santo Lukas, peserta yang duduk lesehan dengan sediaan aneka minuman seperti jahe, kopi, teh panas serta nyamikan kacang rebus dan makanan ringan lainnya membahas bahan-bahan dalam kitab suci. Pembicaraan mungkin tanpa tema, namun bertitik tolak dari satu perikop kitab suci.
Minggu ini, perikop “Perumpamaan Anak yang Hilang” dijadikan bahan obrolan. Tanpa perlu makalah, risalah dengan suasana yang santai pembicaraan mengalir nyaris tanpa henti dan sambung menyambung.
Obrolan tak lagi melangit, namun menyentuh pengalaman harian seperti penanaman nilai dalam keluarga, peran orangtua dan pendidikan anak dalam keluarga, tentang dosa dan pertobatan, kapitalisme yang mencekik pedagang kecil dan sebagainya.
Obrolan berlalu tanpa terasa hingga dua jam. Menurut kesepakatan pukul 21.00 WIB angkringan ditutup dengan doa.
Angkringan Iman
Langkah pastoral ini menjadi terobosan untuk menggiatkan mistagogi (penyingkapan misteri) umat juga menggeser jauh-jauh ketakutan umat untuk mengikuti Pendalaman Iman yang telah diperkuat dengan apriori “disuruh menjawab pertanyaan”.
Dalam angkringan kitab suci, umat bertanya boleh, bukan malah ditanya. Untuk itulah mereka masih tetap merindukan suasana untuk saling berbagi tanpa harus dibayangi kesan menggurui-nya para pemandu pendalaman iman.
Mereka usul bila bulan kitab suci telah selesai angkringan kitab suci beralih nama menjadi Angkringan Iman, sebuah wahana umat Pemalang untuk ngobrol santai namun terarah tentang hidup beriman.