HAMPARAN panggung pentas itu terlihat teramat luas. Namun, tetap saja penuh oleh puluhan anggota Stece Female Choir (SFC) yang mengisi semua sudut panggung.
Dengan warna-warni kostum yang didesain bernafaskan leisure, pemandangan di atas panggung pentas itu menjadi lebih nges oleh permainan vokal dan pernak-pernik tari-tarian SFC besutan SMA Stella Duce Yogyakarta.
Sabtu malam tanggal 14 Desember 2019 itu menjadi panggung kelima bagi SFC tampil unjuk gigi kebolehan menyanyi dan menari di hadapan segenap civitas academica SMA Stella Duce, para orangtua murid, dan segenap alumni.
Menyanyi dan menari menjadi menu utama dalam gelaran musik bertitel Angle de la Musique ini. Komposisi awal berjudul Angle de la Musique mengisi program nomor satu di sesi pertama dan itu langsung mampu menggebrak emosi penonton.
Menu pakem itu kembali muncul dalam Lily on My Way dan Kill This Love di sesi dua. Lalu, berlanjut lagi dengan Satu Musik Berjuta Sudut Pandang dan akhirnya Angle de la Musique jilid dua yang juga ikut menutup sesi pertunjukan panjang ini. Dari pukul 17.00 sampai pukul 22.00 WIB disertai rehat sebentar di tengah pentas.
Daur ulang
Musik itu punya segudang wajah. Komposisi sama produksi tahun baheula, misalnya, bisa tampil kembali dalam kemasan yang sungguh berbeda di tahun 2019.
Dan itulah yang terjadi dengan tembang-tembang lawas “klasik” yang kemudian mengalami proses “daur ulang” di tangan Trio Kusuma Nugraha, arranger dan music director pergelaran Angle de la Musique ini.
Yang aslinya mungkin saja dulu resmi “berkelamin” pop, kini sudah berubah wajah menjadi hiphop. Yang dulu lagunya bernuansa ballad, kini sudah “berganti kelamin” menjadi dangdut.
Pergelaran musik plus paduan suara berkonsep remake dengan mendaur ulang notasi dan merangkainya dengan tari adalah nafas utama Angle de la Musique.
Ini pula yang berkali-kali diutarakan oleh Nessaya Putri Maharani (alumnus Stece 2015) dan Bima, duo MC yang cukup lihai merangkai kata-kata lucu di atas panggung.
Persiapan panjang dan serius
Tentu projek pergeleran seni olah vokal, orkestrasi musik, dan olah gerak dalam tari mengiring ritme musik itu bukan pekerjaan gampang.
“Kami melakukan latihan selama enam bulan guna menyiapkan pementasan Angle de la Musique,” tutur Sr. Yetty CB, Kepala Sekolah SMA Stella Duce.
Untung pula, katanya kemudian, “rumah produksi” SFC itu bisa digarap oleh guru-guru SMA Stella Duce sendiri.
Jadi semacam in-house training yang kemudian produknya ditampilkan di panggung pentas di hadapan segenap alumni dan orangtua murid.
Karena itu, Suster Yetty ikut merasa bangga bahwa di akhir tahun 2019 ini, SFC Stella Duce berhasil menggelar konser macam ini untuk kelima kalinya.
Kerjasama sinergis
Karena itu, Angle de la Musique tidak sekedar panggung di mana hasil “rumah produksi” seni SFC di bangku sekolah SMA Stella Duce itu kemudian dipentaskan di depan publik. Pentas musik dan suara berkonsep daur ulang itu juga menggelorakan semangat kerjasama lintas lembaga pendidikan.
Lihat saja, cowok-cowok milenial –semuanya murid SMA de Britto—dengan suka hati membantu kolega cewek-cewek modern dari “kubu sebelah” yakni SMA Stella Duce.
Pemandangan ini sudah menjadi semacam “legenda” di Yogyakarta sejak beberapa dekade lalu. Kedua sekolah menengah berbeda “jenis kelamin” itu selalu senang berkolaborasi dalam setiap kesempatan tampil di mana-mana.
Termasuk nantinya juga senang berkolaborasi dalam membina rumah tangga. Alumni de Britto lalu menggamit mesra mencari pasangan hidupnya dari kalangan alumni Stece. Begitu pula sebaliknya.
Sedikit memaksa diri seakan mirip judul novel terkenal A Tale of Two Cities karya Charles Dickens. Karena itu, di luaran panggung menjadi sangat fenomenal kelihatan bahwa para warga dari kedua “cities” itu bisa kompak berpadu kerja mengatur berbagai urusan.
Meski semua seksi repot tetap ada dalam tanggungjawab “kubu” Stella Duce, namun beberapa kru de Britto tampak mem-backup urusan sana-sini.
Lengkap dengan cirikhasnya: remaja gondrong, agak lusuh, eksentrik, namun tetap ramah dan super gesit.
Di dalam panggung pentas, tampilan kerjasama apik itu tersaji paling jelas. Guru tidak saja menjadi sosok yang harus diguru dan ditiru.
Tapi –inilah kata Trio Kusuma Nugraha selaku music director di atas panggung:
“Murid-murid Stece telah banyak melakukan diskusi mengenai konsep gelaran dan tema. Barulah kemudian saya mengadopsi dan meramunya dalam satu tema besar yang kemudian bernama Angle de la Musique.”
Kebanggaan masyarakat
Sinergi lintas status dan lingkup kerja ini sering membuat banyak orangtua lalu kesengsem ingin selalu menyekolahkan anak-anak perempuannya ke SMA Stella Duce. Tak kurang, tiga kakak perempuan penulis pun juga alumni Stece kurun waktu tahun 1970-an dan waktu sebelumnya.
“Stece sejak dulu selalu kreatif,” tutur Lucia Wahyaningsih, alumnus Stece tahun masuk 1978 dan mantan dosen di Jayapura yang punya dua saudara kandung menjadi pastor.
“Stece memang selalu top-lah,” ujar Iin Indrawanti, dosen Universitas Bengkulu, teman seangkatan Lucia.
“Rasanya tidak salah, kalau saya dulu masuk Stece dan kini anak perempuan saya juga bersekolah di sana. Selain asyik karena muridnya semua perempuan, kegiatan ekstrakurikulernya juga ngetop. Ini hal yang tidak bisa dipandang sebelah mata,” tutur Yayik asal Karanganyar yang kini tinggal di Karawaci, Tangerang.
Jauh-jauh dari Banten, ia datang membawa ibunya dan kerabat suaminya untuk nonton Angle de la Musique. “Harus nonton, karena anakku ikut main,” terangnya.
Menurut dia, pergelaran Angle de la Musique termasuk luar biasa untuk ukuran anak-anak SMA. Ya paket menu acaranya dan pola kinerja kerjasama sinergis lintas “status”.
Mereka ini dibiarkan kreatif, namun dengan pengawasan dan bimbingan. Dari awal menggarap konsep, pentas, memilih lagu, koreografi, sponsorship, ticketing, sampai kerja lembur di hari H-nya.
“Sebagai orangtua murid dan alumnus, sudah pastilah kami mendukung program pentas uji kebolehan ini. Itulah sebabnya, banyak orangtua murid dari berbagai daerah menyempatkan diri datang menonton Angle de la Musique,” pungkas Yayik.
Sekali lagi, Angel de la Musique bukan sekadar “etalase” pentas menari dan menyayi besutan “rumah produksi” sendiri.
Pergelaran itu menjadikan bukti akan hal ini.
Sekolah bukan saja perkara belajar-mengajar. Lebih dari itu –seperti kata pepatah Latin “Non scholae discimus, sed vitae”. Sekolah itu bukan demi belajar semata, melainkan untuk hidup.
Mengapa bisa demikian?
Itu karena “Bintanglah yang memimpin” — seperti tertulis sebagai nama sekolah menengah atas khusus remaja puteri ini: Stella Duce. (Selesai)
PS:
- Foto pergelaran oleh Bernadia Tiara di sini:
- Artikel serial 1:
- Tautan Video pergelaran Angle de la Musique: