ADA anomali atau ketidakwajaran hukum yang rupanya tidak disadari oleh para ahli hukum Indonesia. Hukum yang bertumbuh di negeri tercinta ini adalah hasil rumusan kolonialis Belanda di masa penjajahan dulu. Tentu saja hukum tersebut disusun demi kepentingan dan keuntungan Belanda itu sendiri. Mereka bermukim di perkotaan atau yang pada zaman dulu disebut stadgemeenten (yang menjelma menjadi Pemerintahan Daerah Kota dewasa ini).
Hal ini wajar karena merekalah yang berkuasa. Belanda-Belanda itu hadir di sini sejak masa VOC dahulu untuk mengambil kekayaan atau sumber daya alam Nusantara, khususnya hasil bumi berupa rempah-rempah (saat VOC berkuasa) dan hasil-hasil perkebunan (saat Nederlandsche-Indie berkuasa).
Hal ini berarti kawasan pedesaan lengkap dengan sektor pertaniannya (kecuali sektor perkebunan) beserta kaum petaninya praktis diabaikan. Para petani yang bermukin di perdesaan dengan mata pencaharian bertani (yang mayoritas bersifat subsisten atau sekedar untuk mencukupi kebutuhan rumah tangga petani itu sendiri) bukanlah subjek hukum.
Artinya hukum tidak mengatur dan melindungi mereka. Hukum tidak menjamin hak dan kewajiban para petani dan para warga perdesaan lengkap dengan pertanian yang merupakan peri kehidupan mereka itu. Situasi tersebut praktis masih berlangsung sampai dewasa ini. Hal ini masih dibumbui dengan suatu keyakinan bahwa suatu negara itu baru disebut maju jika merupakan suatu negara industri. Negara agraris merupakan negara yang terbelakang, menurut definisi itu.
Ironisnya, manusia yang merupakan warganegara setiap negara itu tetap membutuhkan hasil-hasil pertanian, baik sektor pangan maupun sektor non-pangan sebagai sarana kehidupan dan penghidupannya. Manusia tetap tidak makan bahan-bahan kimia ataupun produksi manufaktur sebagai makanannya. Manusia juga masih memerlukan produk-produk biofarmasi dan biokosmetika, bioenergi maupun hasil-hasil perkebunan serta kehutanan sebagai sarana kehidupan sehari-harinya.
Masalahnya, justru di sinilah sektor unggulan Nusantara ini. Pada sektor pertanian (termasuk sektor perikanan, peternakan, dan kehutanan) inilah Negeri Nusantara ini harus bertumpu. Hal ini mengingat pada sektor pertanian inilah letak keunggulan dan ketangguhan terbesar negeri ini.
Petani sebagai industriawan
Di lain fihak adalah benar ungkapan Sjamsoe’oed Sadjad (2012), bahwa pertanian itu pada hakekatnya adalah sebuah proses industri, dan petani itu sendiri merupakan industriawannya. Sebab, segenap persyaratan sektor industri itu terpenuhi dalam sektor pertanian ini. Hal ini berarti bahwa Nusantara perlu mengembangkan agroindustri, yaitu industri yang bertumpu pada hasil-hasil produksi sektor pertanian itu sendiri.
Tantangannya adalah para petani di pedesaan itu harus diarahkan menjadi pelaku bisnis yang menguasai pasar dan sebagai industriawan di sektor agroindustri tersebut. Tidak mudah memang, namun harus segera dilakukan demi terselenggaranya keadilan sosial antara wilayah perkotaan dan perdesaan. Orang desa lalu tidak perlu berbondong-bondong mencari penghidupan di perkotaan, yang juga sebenarnya tidak terlalu menjanjikan, karena absennya keterampilan orang desa yang tidak cocok dengan kepentingan kawasan perkotaan itu.