SEEKOR kerbau belang berjalan gagah. Di barisan terdepan iring-iringan puluhan kerbau abu-abu, yang biasa saja ratusan pengantar jasad. Beringsut dalam langkah pelan menuju persemayaman terakhir. Yang belang pasti istimewa. Dirawat khusus, diberi harga luar biasa.
“Tuhan, inilah seluruh persembahanku. Seluruh hidupku. Aku persembahkan kepadamu supaya tuanku dan kaum kerabatnya mulia. Dan mereka yang makan dagingku sehat semua. Kuat mengarungi hidup yang masih panjang,” ungkapan doa semua kerbau, sesaat sebelum ketajaman pisau memutus nadi-nadi di leher.
Di kala matahari masuk ke peraduan, di kala sayup lirih lonceng dan panggilan doa, termenung seekor ayam betina di pojok kandang. Bola matanya nanar menatap langit senja dari petarangan. Ia cuma bergumam pada Tuhan.
“Sungguh, aku iri pada kerbau belang dan abu-abu, sahabatku. Pengorbanan mereka elok. Semua mata manusia menatap mereka. Mereka dikagumi. Mereka memberikan seluruh hidup untuk kebahagiaan abadi tuan mereka dan yang ditinggalkan. Tuhan, aku ini siapa? Kau ciptakan aku kecil dan tak bermakna.”
“Benar, begitu?,” sayup-sayup suara lembut membuyarkan lamunan si babon.
“Ayo, kita buat perhitungan. Berapa banyak tinja yang kamu dan anak-anakmu buang dan dikumpulkan tuanmu dan ke mana itu dibuang? Dengan apa anak-anak tuanmu sarapan di pagi dan mendapat cukup gizi? Siapa yang menghabiskan sisa makanan tuanmu agar tak terbuang sia-sia?”
“Coba lihat, dengan apa tuanmu membersihkan perabot di almari kaca? Pakai sapu lidi? Kalau tuanmu kesulitan membayar uang sekolah bulanan anaknya yang bungsu, apa yang dibawanya ke pasar? Cuma anak-anakmu yang beranjak besar dan telurmu,” hampir-hampir tak terdengar suara itu bertutur.
Kadang silau akan kehebatan di mata orang. Yang kecil, sederhana, dan tak terlihat tetap heroik dan sukar.