Antasena, Wisanggeni Menghadap Sang Hyang Wenang

1
9,896 views
Antasena dan Wisanggeni (Ist)

ANTASENA, Hanantasena, Ontoseno, adalah tokoh cãrangan dalam pewayangan Jawa Kuna. Dalam kisah wayang India, sosok ini tidak dikenal.

Ontoseno adalah putera  Werkudara dengan Dewi Urangayu, anak penguasa samudera. Karena itu, Raden Ontoseno menguasai samudera. Seisinya.

Ontoseno dikenal  sebagai  sosok yang tidak bisa berbicara sopan, selalu omong ngoko (bahasa Jawa register kasar) mudah marah, selalu mengikuti intuisi. Selalu maunya langsung bat bet apa perlune.

Kalau marah langsung melabrak musuh tanpa tedeng aling-aling. Ia pemberani dan  selalu menepati janji. Pendek kata, Ontoseno adalah sosok berintegritas tinggi.

Karena Ontoseno satu dari sedikit satria Pandawa yang tidak bisa bāsā (menggunakan bahasa Jawa halus), ia terkesan sebagai pemuda yang tidak mengenal sopan santun.

Setiap orang yang baru pertama kali bertemu dengannya akan menganggap Ontoseno sebagai orang urakan, gendheng, tidak waras, dan nakal. Jika buku, Ontoseno itu beda cover dan isinya.

Wisanggeni, sepupu Ontoseno, anak Arjuna yang juga setipe dengannya.  Sering kali memanggil Ontoseno dengan panggilan, wong edan  (orang gila yang tidak mengenal etika).

Padahal sebenarnya Ontoseno adalah sosok ksatria yang berbudi bawaleksana, mengasihi siapa saja yang senantiasa menolong kaum lemah yang didera ketidakadilan yang membutuhkan pertolongan.

Dengan kehendak dewa, ia dapat mengetahui setiap peristiwa yang belum terjadi (weruh sadurunge winarah).

Ontoseno mempunyai aji jaya kawijayan; kadigdayan di antaranya: ambles bumi (dapat masuk ke dalam bumi), wisa pati (ludahnya berbisa), dapat hidup dan bernafas di dalam air, dan mempunyai tangan maha sakti.

Siapa pun yang terkena pukulan tangan Ontoseno akan jugrug ajur mumur lebur jadi debu mati seketika.

Saat Ontoseno pergi dari dasar samudera mencari ayahnya (dalam lakon Ontoseno Takon Bapa), ia menjumpai bahwa Pandawa lenyap. Kerajaan Amarta diserang musuh dari Kerajaan Girikadasar yang dipimpin Prabu Ganggatrimuka, yang ingin menangkap kelima Pandawa untuk dijadikan tumbal bagi keselamatan negaranya.

Dalam pertempuran, pasukan Girikadasar dapat dipukul mundur oleh Arya Wrekodara dan kedua puteranya, yaitu Raden Antareja dan Raden Gatutkaca. Namun, pada malam harinya muncul ilmu hitam berupa aji sirep yang bisa membuat siapa pun yang terkena menjadi tertidur bak orang mati. 

Pandawa Lima lenyap diculik oleh Prabu Ganggatrimuka. Murkalah Ontoseno. Ganggatrimuka dihajar sampai menjadi bubur daging, kerajaannya dimusnahkan dalam sekejap.

Pandawa pun selamat.

Antasena adalah juga raja di raja segala makhluk dan ikan-ikan di laut, sebagai cucu Hyang Mintuna Dewa Penguasa Lautan dan ia juga cucu angkat Hyang Baruna. Tak heran kalau semua makhluk laut tunduk dan patuh terhadap setiap perintah Ontoseno. 

***

Akan tetapi menurut kalkulasi politik para dewa, Ontoseno (bersama Ontorejo, Wisanggeni, dan Baladewo) dapat menjadi penghalang besar bagi pakem atau skenario yang mereka buat yaitu (Perang) Barata Yuda.

Oleh karena itu, bagi para dewa, Ontoseno harus dibinasakan terlebih dahulu bersama dengan kakak beradiknya (Ontorejo dan Wisanggeni) yang sakti.

Kalau Ontoseno ikut maju perang, maka Barata Yuda tidak akan terwujud. Karena Kurawa tidak bakal mampu mengalahkan Ontosena. Situasi peperangan tidak akan  seimbang. Pihak lawan pasti segera tumpas dalam waktu sekejap mata, seperti menepuk seekor nyamuk saja.

Ramalan para pendahulu tidak akan terwujud, sejarah akan berbucara lain.

Namun bagaimana caranya?

Jangankan membunuh Ontoseno, mau bicara saja para Dewa segan dan giris. Karena tidak ada dewa yang dapat mengalahkan kadigdayan Antasena.

Maka Narada Si Pepatih Kahyangan memanggil Kresna agar bisa memberikan pengertian kepada ketiga keponakan saktinya tersebut agar mereka rela untuk moksa (menyerahkan nyawa) kepada Hyang Wenang.

Akhirnya suatu hari, Ontoseno bersama Wisanggeni dan Ontorejo naik ke Kahyangan menghadap Sang Hyang Wenang. Sesampainya di kahyangan, Sang Hyang Wenang berkata bahwa dunia akan tenteram dan Pandawa bisa mulia, jika  Ontoseno, Wisanggeni dan Ontorejo bersedia dicabut nyawanya.

Ketiga satria itu pun dengan ikhlas sanggup nenjalani takdirnya demi dunia. Mereka bersemadi dan pulang ke alam keabadian dengan tersenyum bahagia…

***

Ontoseno dan Wisanggeni mengingatka kita terhadap sabda Yesus  menjelang pengkhianatan Yudas Eskariot, Yesus berdoa di Taman Getsemani di malam sebelum penyaliban-Nya,

“Ya Bapa-Ku, jikalau sekiranya mungkin, biarlah cawan ini berlalu dari pada-Ku, tetapi janganlah seperti yang Kukehendaki, melainkan seperti yang Engkau kehendaki.” (Mt, 26:39).

Dan di ujung akhir hayatnya di tiyang salib sesudah Yesus meminum anggur asam itu, berkatalah Ia: “Sudah selesai.”

Lalu Ia menundukkan kepala-Nya dan menyerahkan nyawa-Nya. (Yohanes 19:30).

Ontoseno dan Wisanggeni seolah mengidungkan:

 //Kami hunjukkan kami sembahkan kehidupan dan kemerdekaan/ikatan budi kehendak hati/ aku sembahkan pada-Mu Tuhan//

Amsal 3:5: Percayalah kepada Tuhan dengan segenap hatimu, dan janganlah bersandar kepada pengertianmu sendiri.

PS: Ditulis bersama Herrybertus Febriyanto Mulya dari Balai Budaya Rejosari Kudus.

1 COMMENT

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here