TAHUN 1983, Ir. Anton Sudjarwo dari Yayasan Dian Desa Yogyakarta mendapat anugerah penghargaan Ramon Magsaysay Award for Community Leadership & Community Development.
Ia menjadi orang Indonesia kedua yang menerima penghargaan ini, setelah sebelumnya Mochtar Lubis.
Almarhum Presiden Abdurrahman Wahid alias Gus Dur juga pernah diganjar penghargaan yang sama di tahun 1986.
Reunian di Bangkok dan duduk dekat Bunda Teresa dan Dalai Lama
Penghargaan Ramon Magsaysay Award ini sudah berlangsung sejak tahun 1958. Sekali waktu, diadakan forum reunian di antara para penerima penghargaan itu di Bangkok, Thailand.
Dari 120-an orang yang pernah menerima Ramon Magsaysay Award sejak tahun 1958 itu, demikian Ir. Anton Sudjarwo dari Yayasan Dian Desa Yogyakarta, yang masih hidup dan berhasil diundang ke Bangkok itu hanya sekitaran 80-an orang saja.
“Saya memenuhi undangan itu dan datang ke Bangkok. Kalau siang kami ada acara formal diskusi dan pertemuan-pertemuan,” kenang Anton Sudjarwo dalam Program Bincang-bincang Panjang bersama Titch TV di Yogyakarta beberapa waktu lalu.
Sore atau malam harinya, ungkap pria berpostur langsing ini, berlangsung acara non formal berupa jamuan makan malam dengan tuan rumah para pejabat lokal di Thailand.
Nah, saat reunian bersama para penerima Ramon Magsaysay Award itu, acara jamuan makan malam diadakan dengan tuan rumah Raja dan Ratu Thailand.
Alamak. Waduh. Anton Sudjarwo didapuk duduk di deretan meja yang tidak jauh dengan Bunda Teresa dari Calcutta. Juga tidak jauh dari tokoh spiritual Tibet: Dalai Lama.
“Duduk berdekatan dengan kedua orang suci itu membuat saya sangat keki dan tidak enak hati,” ungkap Anton Sudjarwo seakan mau menahan tawa.
Loh kenapa?
“Karena semua makanannya enak-enak, sehingga mau tak mau saya terpaksa harus mampu berlaku santun dan sopan saat makan,” akunya terbahak-bahak.
Kiat hidup bahagia itu sederhana: berbagi
Tentu bukan soal makan enak itu yang membuat Anton Sudjarwo mengenang peristiwa penting ini yang kemudian juga sangat mempengaruhi hidupnya sejak itu.
Tapi tentang kiat Bunda Teresa ketika ditanyai soal keberlangsungan karya amal kasihnya di antara yang paling miskin dan terlantar di kalangan kaum papa miskin di Calcutta.
Jawabnya sederhana, “Saya selalu percaya, Tuhan sendiri yang akan menggenapi dan menyelenggarakannya,” kata Anton mengenang ucapan Bunda Teresa di Bangkok saat itu.
Benar juga.
Kiat hidup sederhana itu seperti dialami oleh Anton -berangkat dari syering teman-temannya yang serba kecukupan- adalah persis yang dilakukan dan dihayati oleh Orang Kudus dari Calcutta itu.
“Teman-teman saya itu sesuai omongan mereka mau beli apa saja bisa, namun tetap saja merasakan dan mengalami hidupnya kosong. Tanpa makna,” ungkap Anton Sudjarwo kepada Titch TV di Yogyakarta beberapa waktu lalu.
Buah rohani dari amal kasih kepada sesama
Saat itulah, sejak bertemu Bunda Teresa dari Calcutta di Bangkok, Anton Sudjarwo semakin meyakini akan “kebenaran” spiritualitas hidup baik dan lurus. Yakni, bahwa hidup bahagia itu tidak lain dan tidak bukan adalah “buah rohani” dari kebiasaan baik kita sehari-hari.
Manakala kita sering-sering berbagi kepada sesama yang membutuhkan uluran amal kasih kita.
Ini jelas bukan soal besaran. Tapi jauh lebih penting dan berharga adalah perbuatan itu muncul dari niat baik dan tulus.
Karena memang hal itulah yang akhirnya membuat kualitas hidup kita jadi bermakna dan itu yang membuat kita hidup bahagia. (Berlanjut)
Baca juga: Yayasan Dian Desa, Filosofi Kerja Diambil dari Lapangan dan Keterlibatan dalam Masyarakat (2)