PASTORAL Kehadiran adalah pastoral yang sederhana. Berbentuk kehadiran para Suster PMY di tengah masyarakat.
Selain berkarya atas penugasan Kongregasi, mereka juga hadir dengan menyapa dan ikut terlibat dalam kegiatan masyarakat. Seperti kegiatan lingkungan gereja, terlibat dalam kegiatan PKK di kampung, dasawisma, hajatan warga (pernikahan, sunatan kematian), pengembangan tradisi seperti wiwitan atau sedekah bumi.
Pastoral Kehadiran memang lebih terasa di komunitas Suster PMY di desa, yaitu di Purworejo, Klaten, serta desa-desa di sekitar Wonosobo.
Di desa yang mayoritas petani, para suster juga terlibat dalam kelompok tani. Namun pastoral kehadiran komunitas Suster PMY (komunitas karya pendidikan SLB dan studi) di kota pun juga tetap ada, seperti di Jakarta, Semarang, dan Yogyakarta.
Awal mula Pastoral Kehadiran
Pada tahun 1938, ketika misionaris Suster DMJ (Dochters van Maria en Joseph), penyebutan dalam bahasa Belanda untuk Suster PMY (Puteri Maria dan Yosef), membuka sekolah asrama untuk anak tuli di Wonosobo.
Para misionaris fokus pada pendidikan untuk anak tuli yang dikenal dengan SLB-B Dena Upakara.
Tahun 1969, Kongregasi PMY mengembangkan karya di desa-desa sekitar Kota Wonosobo; khususnya karya kesehatan.
Karya di desa ini dimulai oleh para Suster PMY pribumi pertama, yaitu:
- Sr. Yosephine PMY, Sr. Alfonsa PMY sebagai tenaga kesehatan di Klinik Adi Dharma.
- Sr. Antonie PMY memberikan pelajaran agama bagi warga yang ingin menjadi Katolik.
Pada awalnya kehadiran mereka dua kali sepekan tidak menginap, karena jarak dari kota Wonosobo bisa ditempuh dalam dua jam perjalanan.
Awal mula yang baik
Dari hanya melayani di bidang kesehatan dan pastoral yang lain, para suster akhirnya menjadi terlibat secara emosional dengan masyarakat. Artinya kehadiran mereka diterima, sehingga masyarakat desa terbuka berbicara tentang persoalan kehidupan mereka.
Dari curhatan yang di dengar dan di lihat oleh para suster, ternyata kebutuhan warga desa tidak hanya di bidang kesehatan saja. Tetapi juga kebutuhan akan pendidikan lanjut bagi anak anak mereka dan kebutuhan ekonomi keluarga.
Rata-rata pendidikan anak-anak di desa pada waktu itu hanya sampai jenjang sekolah dasar. Untuk melanjutkan pendidikan harus ke kota Wonosobo.
Hal ini juga menjadi perhatian Romo Pieter Rozemeijer MSC. Akhirnya dibuatlah Asrama St. Vincentius untuk menampung anak-anak dari desa untuk bersekolah di Wonosobo.
Untuk membantu secara ekonomi, para suster juga memberdayakan masyarakat desa untuk bertani dengan memperhatikan lingkungan. Dilakukan dengan cara menghasilkan pupuk dan membuat pembibitan secara mandiri.
Terbentuklah beberapa kelompok tani yang diinisasi oleh Sr Alfonsa PMY. Hasil pertanian organik dibeli oleh umat kota Wonosobo. Program pertanian organik ini menuntut para suster juga tinggal di desa untuk beberapa waktu dalam sebulan.
Progam tabungan anak-anak
Selanjutnya ada program tabungan anak anak, yang kemudian juga melibatkan orang tua. Program ini akhirnya menjadi Credit Union Lestari yang diinisasi oleh Sr. Theresianne PMY.
Padahal awalnya dimulai dari kegiatan mengajar Sekolah Minggu yang berlanjut menjadi bimbingan belajar bagi seluruh anak-anak desa.
- Sr Brigitta PMY memberi keterampilan memasak bagi para remaja puteri.
- Sr. Rosa PMY mengembangkan UMKM pembuatan jamu instan; dan itu terus berlanjut ketika berkarya di Purworejo.
Ketika ada seruan dari almarhum Mgr. Julianus Kemo Sunarka SJ, Uskup Keuskupan Purwokerto saat itu, agar Kongregasi juga membuka komunitas di desa. Maka, Kongregasi Suster PMY membuka komunitas desa di Purworejo; dengan program pertanian padi organik.
Seperti di Wonosobo, Sr. Alfonsa PMY memulai program tersebut, karena prihatin akan kondisi petani yang tergantung dengan pupuk dan bibit yang harus mereka beli.
Di waktu bersamaan Sr. Antonie PMY di Komunitas Klaten juga melakukan program pertanian organik, atas keprihatinan lahan produktif rusak, karena tanah digunakan membuat bata merah. Dan kehidupan pembuat bata merah tetap tidak terangkat secara ekonomi. Kemudian di kedua kota tersebut juga berkembang credit union.
Di Klaten saat ini, Sr. Brigitta PMY mendampingi remaja puteri dan kaum disabilitas yang berkerja di tempat pengepakan arang dan memberikan ketrampilan membuat kue-kue dari tepung erut. Serta pendampingan UMKM dan demplot keluarga yang berkembang di saat pandemi Covid-19. Serta mengenalkan Laudato Si’ ke sekolah-sekolah di desa dan warga desa.
Kehadiran para suster dengan terlibat dalam masyarakat ini, akhirnya melahirkan karya baru Kongregasi PMY di bidang:
- Pemberdayaan masyarakat desa (pertanian organik, credit union, UMKM, demplot keluarga).
- Pemberdayaan perempuan desa (ketrampilan wirausaha).
- Permberdayaan untuk anak berkebutuhan khusus (keterampilan membuat kue).
- Program beasiswa bagi anak-anak di desa yang donaturnya berasal dari Belanda.
Pastoral Kehadiran di kota
Selain di komunitas desa, pastoral kehadiran juga hadir di komunitas kota.
Seperti Sr. Cecilia PMY dan Sr. Marwati PMY yang berkarya di SLB-B Pangudi Luhur milik Kongregasi Bruder FIC di Jakarta.
Selain mengajar di sekolah, mereka juga memberi sapaan kepada warga kampung di sekitar komunitas. Dengan memberikan bantuan sosial bagi warga dan bimbingan belajar bagi anak-anak di kampung.
Saat ini keduanya sudah memasuki usia pensiun, namun Sr. Cecilia PMY masih membantu di SLB-B Pangudi Luhur dan Sr. Marwati PMY berpastoral di paroki.
Merti deso
Patoral kehadiran di komunitas karya pendidikan juga tetap ada, seperti di wilayah Sentiyung Wonosobo tempat lokasi biara dan SLB-B Dena Upakara. Para suster terlibat dalam acara merti deso.
Kehadiran para suster ada dalam karnval dan makan bersama warga Sentiyung. Setiap bulan tanggal 15, suster juga mengikuti kegiatan PKK di Sumberan (arisan, mendengarkan kultum, ngobrol tentang lingkungan) juga menghadiri kegiatan dan sembayangan di komunitas basis.
Sr. Yuliana PMY dan Sr. Assumpta PMY yang tinggal di komunitas Sedayu juga terlibat dalam “pinilih” yaitu paguyuban keluarga difabel Sedayu yang berdiri pada tanggal 27 Agustus 2017 diprakarsai oleh Tim Kerja Peduli Difabel Paroki St. Theresia Sedayu dampingan Romo Tri Widianto Pr.
Paguyuban ini bercita cita mewujudkan kehidupan yang mandiri dan sejahtera bagi difabel dengan kegitan-kegiatan pemberdayaan ekonomi, sosial dan kebudyaaan.
Sebagai wahana untuk berbagi, berkarya untuk saling menguatkan mewujudkan kesejahteraan hidup difabel.
Para suster yang menempuh studi pun juga melalukan pastoral kehadiran di sekitar komunitas tempat mereka tinggal ataupun di kampus.
- Sr. Zita PMY yang tinggal di komunitas Semarang pernah membantu mengajar di pondok pasinaon milik Paroki St. Perawan Maria Ratu Rosario Suci (Katedral Semarang) di Randusari.
- Sr. Fransis PMY terlibat dalam kegiatan mahasiswa di kampusnya UNIKA Soegijapranata Semarang.
- Sr. Elisabeth PMY dari Timor Leste di kampusnya Universitas Sarjana Wiyata Taman Siswa Yogyakarta.
- Sedangkan Sr. Yakoba PMY di Universitas Sanata Dharma Yogyakarta terlibat dalam aneka kegiatan mahasiswa termasuk dalam band kampus.
Pembinaan awal Pastoral Kehadiran bagi para calon suster
Sebagai pendamping di Novisiat Anna Catharina, Sr. Emilia PMY mulai membina para calon suster tentang Pastoral Kehadiran sejak jenjang postulat.
Para Postulan dan Novis diajak berkegiatan di luar biara. Seperti kunjungan ke Desa Buntu di sekitaran Wonosobo. Juga mendampingi PIA di Paroki Banjarnegara, lokasinya 47 km dari Kota Wonosobo.
Tujuannya, agar para calon mulai mengenal situasi kemiskinan yang ada di sekitar mereka, baik kemiskinan materi atau kemiskinan secara rohani.
Mereka dibentuk dan dibina agar menghidupi kharisma dan spiritualitas Kongregasi PMY yang memberikan opsi layanan kepada orang-orang kecil, lemah, miskin, tersisih dan terpinggirkan, dan difable-disable.
Tidak selalu di dalam biara terus
Tujuannya membentuk dan membina mereka untuk banyak ke desa. Supaya para calon suster memahami bahwa karya Kongregasi PMY bukan hanya karya institusional seperti pendidikan bagi disabilitas. Tetapi juga banyak karya pemberdayaan yang perlu ditingkatkan.
Dengan demikian, para Postulan dan Novis diharapkan sudah terbentuk dalam Pastoral Kehadiran sejak pembinaan awal. Dan agar tidak lupa bahwa mereka adalah bagian dari masyarakat dan keluarga. Tidak (selalu) di dalam biara terus.
Bahwa dalam Pastoral Kehadiran, mereka tidak dituntut apa-apa.
Mereka diharapkan hadir dengan sepenuh hati, membawa kasih dan energi positif, senyum dan kekuatan doa.
Memang tidak mudah, namun mereka selalu diingatkan bahwa dalam Pastoral Kehadiran, mereka sedang mengunjungi Yesus yang hadir dalam diri umat yang mereka kunjungi.
Karena seperti dikatakan oleh St. Vincentius a Paulo bahwa mereka (orang-orang miskin) adalah majikan kita. Yesus ada di dalam diri mereka.