Apa Kata Paus Fransiskus tentang Demokrasi yang Sehat? (27)

0
48 views
Ilustrasi: Mendiang Paus Fransiskus (1936-2025) bersama para politisi Perancis dalam sebuah pertemuan di Marseille. (Vatican News)

MUNGKIN saja para pembaca masih bertanya-tanya apa sesungguhnya kata Paus Fransiskus —yang baru meninggal, namun hingga kini kiprahnya masih hangat diperbincangkan di seluruh dunia— tentang demokrasi.

  • Apakah demokrasi dipandang sebagai hal yang penting oleh pemimpin rohani tingkat dunia itu?
  • Jika ya, bagaimana Paus memberi makna pada demokrasi?
  • Apa yang paling penting dari inti demokrasi dari bawah yang dibayangkan oleh Francesco?

Pandangan Paus Fransiskus (1936-2024) tentang demokrasi

Membuka kembali catatan pesan-pesannya, ternyata kita bisa banyak belajar secara eksplisit dari Papa Francesco tentang demokrasi, meski sejauh ini kita mengetahuinya terutama dari kondisi politik di negara -tempat Vatikan berada- Italia.

Pada pertengahan tahun lalu, awal Juli 2024, dalam kesempatan memberikan sambutan untuk Pekan Tahunan Konvensi Sosial umat Katolik di Italia, Paus menyatakan bahwa “demokrasi tidak sedang dalam keadaan sehat.”

Secara khusus, Sri Paus mengungkapkan keprihatinannya atas semakin rendahnya tingkat partisipasi elektoral warga di berbagai negara di Eropa Barat maupun Eropa Timur sejak 1980-an hingga sekarang.

Kondisi politik Italia, tempat mini-teritori Vatikan berada, tentunya menjadi sorotan khusus Sri Paus, tetapi dalam banyak hal yang mendasar, cakupan sambutannya di hadapan para politisi Italia itu melampaui batas negara sehingga banyak yang dapat kita simak dan pelajari untuk negeri kita: Indonesia.

Paus Fransiskus saat menyampaikan pidato di depan Sidang Umum PBB. (UN News)

Demokrasi sedang tidak sehat

Penilaian “demokrasi sedang tidak sehat” dari Sri Paus terhadap kondisi Italia itu bukankah juga sering kita dengar di Indonesia, dalam konteks masing-masing?

Para pengamat politik menengarai adanya persamaan kondisi demokrasi di Indonesia dan Italia. Keduanya sama-sama mendapatkan predikat negara ‘demokrasi cacat’ (flawed democracy), yakni sama-sama memiliki pelayanan publik yang lambat dan buruk, serta fungsi pemerintah yang tidak efisien.

Sejak naiknya pemerintahan dengan garis politik condong ke kanan di bawah PM Giorgia Meloni pada 2022, media massa di Italia sering mengalami pembungkaman. Kebebasan media hanya berlaku secara parsial di Italia, sementara Indonesia juga kerap menghadapi masalah kebebasan berpendapat, terutama di media sosial, karena adanya UU ITE — yang bahkan bisa jadi semakin parah ke depan.

Data partisipasi pemilu 2022 di Italia juga memperlihatkan tingkat hanya setinggi 0,56 dari angka tertinggi 1. Nyaris lebih dari seperempat (27,6%) warga negara yang memiliki hak pilih di Italia ternyata tidak mendapatkan informasi tentang politik, entah karena tidak tertarik (64,9%) atau karena tidak percaya pada sistem politik (25,5%).

Demokrasi di Indonesia

Sekalipun dalam Indeks Demokrasi 2023, kita mencatat tingkat partisipasi serupa dengan Italia (7,22) dan bahkan indeks berfungsinya pemerintahan kita lebih tinggi (6,79 vs 7,86), kita kalah dalam indeks proses elektoral, pluralisme, kebebasan sipil, dan budaya politik.

Indonesia menduduki peringkat ke-56, sementara Italia di posisi ke-34. Kemiskinan, kesenjangan sosial, dan angka stunting tampaknya juga tidak relevan di Italia.

Lebih dari keprihatinannya terhadap situasi politik benua Eropa, Paus Fransiskus sesungguhnya lebih prihatin dengan keadaan negara asalnya, Argentina, yang sedang mengalami krisis ekonomi serius.

Kemiskinan di sana kini mencapai angka 57% dari seluruh penduduk sejumlah 47 juta jiwa. Kondisi ekonominya parah, dengan inflasi baru-baru ini mencapai 270% – suatu tingkat kemerosotan yang belum pernah terjadi sebelumnya.

Meskipun secara lahiriah Paus Fransiskus berasal dari keluarga migran keturunan kulit putih dari Italia, beliau kenyang pengalaman mengalami kemiskinan sebagai keluarga pendatang, dan lama berkutat dalam realitas negara-negara dunia ketiga di Amerika Selatan.

Tidak heran, jika beliau juga sangat peduli terhadap perjuangan melestarikan lingkungan, yang kerusakannya telah berdampak langsung pada kehidupan manusia di bumi.

Paus Fransiskus dan PM Italia Georgia Meloni saat pembukaan pertemuan G-7 di Regio Apulia, Italia, Juni 2023. (Vatican News)

Politik, bentuk kemunafikan sosial?

Karenanya, tidak mengherankan jika Paus Fransiskus berpesan agar jangan pernah melupakan bahwa politik yang melulu memajukan ekonomi dengan mengatasnamakan pembangunan (welfare), tetapi mengabaikan martabat manusia, pada hakikatnya merupakan bentuk ‘kemunafikan sosial’.

Kata-kata Paus itu merujuk pada kegiatan pembangunan ekonomi yang lebih menguntungkan kepentingan elit politik dengan dalih pertumbuhan ekonomi, sementara sesungguhnya kegiatan itu telah menimbulkan banyak korban pelanggaran hak dasar warga masyarakat.

Menuju politik yang baik dan sehat

Menurut Sri Paus, masalah-masalah struktural yang rumit itu hanya dapat didekati dan diselesaikan oleh politisi yang sehat jiwa, batin, dan bernyala-nyala semangatnya, yang dibentuk melalui pengalaman sebagai kawah latihan, dan didasari oleh panggilan ilahi.

Sebab, inti dari kegiatan politik yang sehat demi kebaikan publik adalah menjalankan tugas berat mengalahkan kepentingan diri sendiri untuk menggerakkan partisipasi masyarakat di tengah berbagai tantangan ekonomi dan apatisme.

Ketika dasar politik yang sehat telah ditanamkan dan dapat berfungsi sebagaimana mestinya, pembangunan ekonomi demi bonum commune (kebaikan bersama) juga akan memastikan terselenggaranya partisipasi masyarakat sepenuhnya sebagai penerima manfaat.

Sebaliknya, ketika partisipasi masyarakat gagal diintegrasikan, yang muncul adalah sikap masyarakat yang tidak peduli, acuh tak acuh, bahkan apatis terhadap politik.

Ketidakpedulian itu, kata Paus Fransiskus, bagaikan “kanker bagi demokrasi.”

Ilustrasi: Gambaran tentang sosok politisi baik dan buruk (LinkedIn)

Karenanya, apakah suatu demokrasi sudah sehat atau tidak, indikatornya adalah apakah kegiatan politik yang dijalankan terbukti mampu menyehatkan hati dan batin warga masyarakat. Dan rakyat yang dimaksud Paus Fransiskus terutama adalah mereka yang terpinggirkan: kaum miskin, penyandang disabilitas, anak-anak sejak sebelum dan dalam kandungan, perempuan, lansia, dan kaum migran.

Mereka semua harus dijamin hak-hak dasarnya; mulai dari pangan, air bersih, kesehatan, pendidikan, rumah terjangkau, hingga kebebasan bergerak.

Untuk menjamin berlangsungnya demokrasi yang sehat, Paus Fransiskus menekankan kewajiban para politisi untuk terus mendorong rasa bersaudara di antara semua warga bangsa tanpa diskriminasi, serta mengembangkannya menjadi suatu kebersamaan dan keguyuban sebagai kekuatan kolektif.

Paus memperhadapkan semangat ini dengan kecenderungan memanipulasi populisme dangkal, yang sering digunakan para politisi demi mendahulukan kepentingan pribadi atau kelompok.

“Demokrasi yang sehat tidak akan pernah lelah untuk terus bermimpi tentang menata masa depan. Jangan pernah takut untuk bermimpi tentang masa depan,” tegas Bapa Paus.

Beliau menambahkan bahwa “tugas politisi adalah mengorganisir berbagai harapan dari masyarakat luas, termasuk menjalankan tugas kenabian.”

Namun, pada saat yang sama, “demokrasi bukanlah kotak kosong yang dapat digunakan untuk membenarkan berbagai kecurangan. Demokrasi hanya akan sehat jika terkait langsung dengan nilai dan martabat pribadi setiap warga negara, dengan persaudaraan, dan kelestarian lingkungan seutuhnya.”

Senada dengan ajaran Ki Hajar Dewantara

Sejajar dengan ungkapan Ki Hajar Dewantara, “ing ngarsa sung tuladha, ing madya mangun karsa, tut wuri handayani”, Sri Paus membuat analogi ketika menyatakan bahwa:

  • “di depan warga masyarakat, politisi dipanggil untuk mengarahkan langkah bergerak ke depan;
  • di tengah-tengah masyarakat, politisi sejati wajib mengasah dan memiliki kepekaan mengenal kepentingan masyarakat;
  • dan di belakang masyarakat, politisi sejati sepenuhnya membantu memperbaiki nasib rakyat yang terpinggirkan.”

Jangan “gadaikan” hak-hak istimewa

Para politisi memiliki kekuasaan dan berbagai hak istimewa, tetapi bukan untuk disalahgunakan. Sebaliknya, tugas mereka adalah mempergunakan hak-hak istimewa tersebut untuk mengedepankan suara dari mereka yang tidak memiliki saluran untuk menyuarakan kepentingan mereka.

Panggilan para politisi adalah membuktikan bahwa semua tindakan mereka didasari oleh rasa cinta yang sejati terhadap pilihan hidup mereka.

Orang akan langsung dapat mengenali apakah seorang politisi sungguh mencintai tugasnya – dan karena itu, dia akan selalu mendahulukan kepentingan rakyat. Mereka bahkan tidak akan berhenti berjuang, ketika sudah mencapai dampak baik yang diharapkan masyarakat, melainkan terus melanjutkan perjuangannya memerangi akar-akar masalah yang dihadapi oleh masyarakat.

Ilustrasi: Gambaran seorang politisi yang buruk. (Robert Labayen)

Jangan jadi politisi palsu

“Itulah cinta politik,” kata Sri Paus lagi, sambil menyimpulkan bahwa politisi yang tidak memiliki kepekaan dan kemampuan memahami serta mengenal kepentingan rakyat hanyalah seorang teoretisi.

Padahal, perdebatan-perdebatan publik hanya akan bermakna jika yang dipertengkarkan adalah demi perdamaian dan keadilan.

Jika yang menggerakkan politisi adalah panggilan sejati, maka dia akan sanggup meningkatkan semangat dan kemampuannya dalam mempertanggungjawabkan upaya-upaya untuk menyelesaikan polarisasi berbagai kepentingan dalam masyarakat, tanpa berkompromi dengan nilai-nilai yang diperjuangkannya.

Karenanya, menurut Sri Paus, secara tulus kita perlu menimba kembali gairah dari para politisi hebat dalam sejarah dalam menegakkan etika kehidupan sipil yang sejati.

Politisi yang dipenuhi semangat dan harapan demi kebaikan publik selayaknya lebih yakin untuk mempertaruhkan proses dalam dimensi waktu, ketimbang terus bertaruh memperluas kekuasaan, kekuatan, dan pengaruh dalam dimensi ruang.

Sri Paus memperbandingkannya dengan usaha membantu persalinan seorang ibu yang akan melahirkan – yang tentunya lebih membutuhkan kesetiaan pada proses sampai bayi demokrasi itu lahir dalam kondisi sehat dan semakin kuat.

Baca juga: Teologi Pembebasan, the Black Pope vs. the White Pope (26)

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here