Apa Yang Tak Dipakai Akan Hilang

0
2,045 views

ADA ungkapan entah darimana ia berasal: Apa yang dimiliki, namun tak pernah dipakai, ia akan lambat laun menghilang. Contohnya? Hati.

Hati adalah pusat kehidupan. Hati adalah pusat kemanusiaan. Hati yang bertumbuh membuat seseorang tumbuh menjadi pribadi yang semakin manusiawi.  Hati yang kerdil dan tumpul, membuat seseorang kehilangan kemanusiaannya.

Hati tak tumbuh dengan sendirinya. Hati tak tumbuh ketika orang bertambah tua dan banyak pengalaman. Hati tidak dengan sendirinya tumbuh seturut tingginya tingkat pendidikan seseorang. Pun hati tak tumbuh seturut jabatan yang semakin tinggi ataupun kuasa yang makin besar.

Ada majikan yang doyan memukuli pembantunya. Bukan karena tingkat pendidikannya tak tinggi. Namun karena hatinya kerdil.

Ada hakim hebat yang memutus perkara secara tak adil yang menindas orang kecil. Bukan karena tak punya pengalaman profesional namun karena hatinya gersang.

Ada guru yang mencabuli muridnya. Bukan karena ia tak tahu yang baik dan yang buruk, namun karena hatinya yang mati.

Hati tumbuh lewat latihan. Ia tumbuh lewat perjumpaan dan persentuhan dengan orang lain.  Pun segala sesuatu yang kita miliki namun tak kita pergunakan akan lama kelamaan menghilang tanpa latihan untuk menumbuhkannya, tanpa latihan untuk menggunakannya.

Suatu keluarga mungkin pernah dibangun atas dasar cinta. Cinta tak akan tumbuh dengan sendirinya ketika masing-masing hidup dalam kesibukannya. Jangan-jangan cinta itu lama kelamaan mati dengan sendirinya karena anggota keluarga tak pernah saling bertemu dan saling berbagi.

Ada bahaya justru ketika tehnologi komunikasi beserta peralatan komunikasi kian maju, orang melupakan perjumpaan fisik dan sentuhan langsung. Orang berpuas diri dengan pesan di BlackBerry atau di Facebook ataupun Twitter lupa untuk bertemu dan bercakap-cakap langsung. Bahayanya adalah tumpulnya kemampuan berkomunikasi, indera untuk mendengarkan orang lain, indera untuk membaca hati orang lain, indera untuk mengungkapkan rasa perasaan dan berbagi.

Beberapa sekolah katolik hendak mencobakan berbagai latihan dengan mengirim para murid mereka misalnya untuk tinggal di bantaran kali atau tempat pembuangan sampah. Latihan itu bertujuan supaya para murid melatih serta mengasah indera hati mereka dengan bersentuhan dan berjumpa orang yang hidup dalam lingkungan yang bau, penuh sampah, terpinggirkan.

Latihan semacam itulah mungkin yang memampukan Yesus untuk menyapa dan merengkuh orang kusta yang dalam kitab suci digambarkan sebagai kalangan yang terputus dari semua relasi sosial.

Sapaan dan rengkuhan itulah yang membawa kembali bagi mereka yang tersingkir dan terputus, harapan dan gambaran akan Allah yang maha kasih. Hati yang terlatih dalam welas asih semacam itu yang semakin memanusiakan seseorang dan mendekatkan seseorang dan orang lain akan hakekat hidup sebagai citra Allah.
Disarikan kembali dari homili Romo Ignatius Wardi Saputra, SJ
Minggu, 12 Februari 2012, di Gereja Katedral Jakarta

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here