Dalam hidup ini kita berhadapan dengan dorongan untuk memenuhi keinginan diri kita. Apa yang akan Anda lakukan, ketika Anda mengalami hal seperti ini? Apakah Anda mengikuti dorongan itu atau Anda berusaha untuk mengatasinya?
Suatu siang seorang anak berusia 14 tahun berkunjung ke rumah neneknya. Kebetulan waktu itu adalah jam makan siang. Dari luar, anak itu sudah mencium aroma kue yang sedang dibuat neneknya. Tetapi, ketika ia masuk dapur ingin mencicipi, neneknya melarang.
“Kue itu untuk dimakan setelah makan nasi. Ayo, nenek sudah masak banyak lauk kesukaanmu. Kita makan bersama-sama,” kata neneknya.
Meski agak kecewa, anak itu lalu duduk makan. Ia makan hingga dua piring, sehingga sangat kekenyangan. Sesudah selesai makan, barulah sang nenek mengeluarkan kue yang tadi ia janjikan. Sayang, kue itu tidak dihiraukan anak itu. Perutnya sudah kelewat kenyang.
“Oh, nenek. Saya sudah sangat kenyang. Nanti saja makan kuenya,” kata anak itu.
Baru beberapa saat berlalu, anak itu sangat ingin makan kue. Tetapi karena sudah terlalu kenyang, maka kue itu tidak lagi menarik di matanya. Ia tidak bergairah lagi untuk menikmati kue yang enak itu. Ia menolak karena perutnya sudah tidak bisa menampung lagi makanan. Ia sadar akan keterbatasan dirinya.
Mampu bersyukur
Sahabat, kesadaran untuk merasa cukup menjadi suatu hal yang baik dalam kehidupan ini. Orang yang merasa cukup akan hidup ini akan mampu bersyukur atas kebaikan Tuhan atas dirinya. Orang tidak perlu lagi mencari dan mencari untuk menumpuk kekayaan bagi dirinya sendiri.
Kisah di atas memberi inspirasi kepada kita untuk memiliki prinsip untuk tidak mengumpulkan berbagai kekayaan bagi hidup kita. Anak itu sadar akan keterbatasan dirinya. Ia tidak perlu melanjutkan keinginan dirinya untuk menumpuk makanan di perutnya. Ia mesti tahu diri.
Sayang, dalam kehidupan kita menyaksikan banyak orang terus-menerus tergoda untuk menumpuk kekayaan bagi dirinya sendiri. Mengapa terjadi korupsi dan manipulasi dalam kehidupan manusia? Karena orang ingin menumpuk kekayaan bagi dirinya sendiri sebanyak-banyaknya. Orang selalu merasa tidak cukup atas apa yang dimilikinya. Orang ingin memiliki lebih dari yang sudah dipunyainya.
Akibatnya, kepentingan umum digunakan untuk kebutuhan pribadi. Orang tega membiarkan banyak orang menderita demi kemajuan dirinya sendiri. Orang tidak bisa menahan keinginan untuk memiliki. Ia jatuh ke dalam godaan untuk memiliki kekayaan orang lain.
Sebagai orang beriman, tentu kita ingin menjauhkan diri dari usaha menumpuk harta kekayaan sebanyak-banyaknya. Orang beriman mesti sadar bahwa harta kekayaan itu milik Tuhan semesta alam. Tuhan memberikan harta itu untuk digunakan demi kebahagiaan manusia. Ketika kita meninggal dunia, kita juga tidak membawa kekayaan itu. Yang kita pertanggungjawabkan kepada Tuhan adalah perbuatan-perbuatan baik kita terhadap sesama.
Mari kita berusaha untuk tidak terjebak dalam keinginan demi keinginan yang menghambat kita untuk membahagiakan diri kita. Seorang bijak berkata, ”Tetapi tiap tiap orang dicobai oleh keinginannya sendiri, karena ia diseret dan dipikat olehnya” (Yak 1:14). Tuhan memberkati.