KETIKA Tuan Deputi Araki merancang sedemikian rupa sehingga seolah-olah Kagawalah yang membunuh Guru Matsumiya, ia menganggapnya sebagai suatu pengorbanan yang harus dibuat Kagawa. Kagawa harus dibunuh sebagai korban demi keselamatan seluruh rakyat Inaba.
Melihat film itu, tentu menarik untuk bertanya, sebenarnya apakah pengorbanan itu?
Film Shundo yang dirilis pada 2013 ini mengambil latar tahun 1732, ketika Jepang bagian barat mengalami kelaparan. Tokugawa (Kaisar) Yoshimune mencurigai desa Inaba menimbun bahan pangan yang semestinya diserahkan ke pemerintah untuk dibagi rata kepada seluruh rakyat. Karena itu, Tokugawa diam-diam mengutus Jyuzo Matsumiya, seorang ahli pedang, untuk mengajar orang-orang muda di desa Inaba sekaligus menjadi mata-mata pemerintah.
Pada suatu malam, Matsumiya dibunuh oleh utusan kepala desa Inaba yang telah mengetahui penyamarannya. Peristiwa itu mendorong pemerintah mengadakan investigasi untuk mencari siapa pembunuhnya. Seorang siswa Matsumiya bernama Kagawa dituduh Tuan Deputi sebagai pembunuh sang guru dan mempersilakan pasukan pemerintah untuk mencari dan membunuhnya.
Dalam sejarah manusia, pengorbanan memang inheren. Berasal dari kata Latin sacrificium yang terdiri dari dua kata, sacer (suci) dan facere (melakukan), ia berarti “melakukan perbuatan suci”.
Manusia primitif mengorbankan hewan (bahkan manusia!) untuk berbakti dan memuji Yang Suci. Maka wajar bila nuansa pengorbanan itu kemudian berkembang menjadi sikap “suci”: rela menderita, dirugikan, dan bahkan mati demi kepentingan orang lain.
Pengorbanan adalah proses kambinghitaman
Kendati demikian, ada kalanya pengorbanan sama sekali tidak beratribusi pada kesucian. Filsuf René Girard (1923-2015) menemukan bahwa pengorbanan berasal dari kecenderungan manusia yang tidak mau dipersalahkan, rugi; ingin menang, benar, dan menguasai dengan serakah.
Secara pesimis, pengorbanan hanyalah hasil dari proses pengkambinghitaman alias fitnah. Hanya karena besarnya kecenderungan jahat itulah, pengorbanan harus dilakukan.
“Pengorbanan” Kagawa tak lain adalah dampak rentetan keculasan Tuan Deputi yang tidak ingin kecurangannya diketahui Shogun. Ketika kecurangannya diketahui Matsumiya yang adalah mata-mata Shogun, ia merasa harus membunuhnya.
Dalam rangka menghapus jejak pembunuhan itulah ia mengorbankan (baca: mengkambinghitamkan) Kagawa. Bila diklaim bahwa Kagawa melakukan pengorbanan, itu tentu tidak benar. Kagawa sama sekali tidak tahu menahu apalagi berniat untuk berkorban demi rakyat Inaba. Bukannya pengorbanan, yang terjadi adalah justru Kagawa dikorbankan demi kepentingan penguasa.
Sayangnya, pengorbanan yang semacam ini lebih mudah ditemukan di tengah dunia kita sekarang. Demi meredam amarah massa, satu orang tak bersalah dikriminalisasikan. Demi menutupi agar kejahatan tak terbongkar, orang jujur dikambinghitamkan. Pengorbanan telah kehilangan aspek kesuciannya (sacer).
Akhirnya, di pengujung cerita, Kagawa dengan emosional bertanya pada Guru Harada yang diutus untuk membunuhnya sebelum beradu pedang, “Apakah ini yang disebut bushido?”.
Melihat adegan itu, maka kita pun pantas bertanya pada dunia, “Apakah ini yang disebut pengorbanan?”