Api Vatikan II dan Inspirasi di Tahun Iman: Injil ‘menurut’ Beatles? (2)

1
2,092 views

DUA tahun lalu, tepatnya pada 10 april 2010, koran resmi Vatikan l’Osservatore Romano, menulis artikel tentang grup musik Beatles. Judulnya: “10 aprile 1970 si scioglievano i beatles – i sette anni che sconvolsero la musica” (10 april 1970 Beatles muncul – 7 tahun yang menggoncang musik dunia).

Artikel yang ditulis oleh Giuseppe Fiorentino e Gaetano Vallini, nampaknya mau mengenang 40 tahun kehadiran grup musik dari Liverpool yang fenomenal itu. Kalau tentang musik pop macam Beatles yang menulis adalah majalah musik, tabloid pop atau media entertainment, tentu saja biasa. Lah ini  yang nulis “koran suci” dari Tahta Suci? Ini baru luar biasa!  Bahwa koran resmi Vatikan memuat kisah Beatles, untuk banyak kalangan,  itu sudah menjadi berita tersendiri. 

Vatican gets around to praising the beatles”, kata harian New York Times. “Beatles score high praise from l’Osservatore Romano” kata Cathnews.com

Ringo Starr: “Vatican has more to talk about than the Beatles”, kata CNN Entertainment

Harian Spanyol El Pais ikut-ikutan menulis : “el vaticano perdona a los beatles

Pada peringatan 50 tahun Konsili Vatikan II ini, artikel tentang Beatles yang ditulis oleh l’Osservatore Romano itu diangkat kembali. Situs Vatican Isider, milik koran La Stampa yang memuat berita dan issue tentang Vatikan, menghubungkan fenomena “Beatles vs Vatikan” ini dalam konteks 50 tahun Vatikan II : “From blasphemers to evangelisers: the Beatles fifty years later”.

Sejak dari lahirnya 42 tahun silam, Beatles mewakili generasi yang memberontak terhadap kemapanan. Beatles menjadi simbol perlawanan terhadap kemapanan kekuasaan dan kemapanan institusi termasuk Gereja. Dari sejarah, sekitar tahun 1960-1970an itu, kita mengingat tragisnya bentrok multi dimensi antara Blok barat yang dipimpin Amerika dengan Blok Timur Komunis yang dipimpin Russia.

John Lennon, pentolan Beatles, muak terhadap kapitalisme Barat itu. Ia lebih “terpesona” dengan spiritualitas Asia. Ia lalu aktif dalam gerakan Kaum “hippies” yang mendamba kedamaian batin di atas segalanya. Lagu Imagine yang ditulisnya mewakili gejolaknya ketika itu.

Baru-baru ini, Peter Ciaccio, seorang pastur dari Gereja Methodist menerbitkan sebuah buku berjudul The Gospel according to the Beatles. Dalam buku ini, Ciaccio ingin mencoba merekonstruksi kembali dialog yang sempat terputus setengah abad yang lalu, antara iman kristen dan budaya pop. 

Ciaccio sendiri sebelumnya menerbitkan buku The Gospel according to Harry Potter”. 

Dalam kacamata “Sepuluh Perintah Allah”, Peter Ciaccio menemukan persamaan dan perbedaan hidup dan karya The Beatles dengan hidup dan inti pewartaan kristen. Kemanusiaan yang didasari cinta adalah “injil” yang hidup yang diwartakan Gereja dan the Beatles. Cuma caranya  Beatles bernyanyi. Dan nyanyiannya lebih didengar, karena mewakili dengan sangat baik pemberontakan manusia melawan ketidakadilan dan kekejaman dunia. 

L’Osservatore romano sendiri, pada artikelnya tentang the Beatles itu, memuji : “restano come gioielli preziosi le loro bellissime melodie che hanno cambiato per sempre la musica leggera e continuano a regalare emozioni “ (musik Beatles akan terus dikenang sebagai warisan yang sangat berharga dan melodi indahnya pernah mengubah musik pop dan akan terus menghadiahi kita dengan emosi yang luar biasa).

Walau begitu, koran Vatikan itu juga tidak menutup mata, bahwa cara hidup para penyanyi the Beatles itu, bukan contoh yang baik (walau bukan pula contoh yang paling buruk) bagi anak muda zaman itu. kata l’Osservatore romano : “certo non sono stati il migliore esempio per i giovani del tempo, ma neppure il peggiore” (tentu saja mereka bukan contoh yang baik bagi anak muda jaman itu, tetapi bukan pula contoh yang paling buruk).

Pada tahun iman ini, saya rasa kita semua (yang mengaku anggota Gereja Katolik), diminta untuk menyadari kembali pentingnya memiliki kemampuan dialog yang baik. seruan hampir semua dokumen Konsili Vatikan II. Apalagi Lumen Gentium, Gaudium et Spes, Ad Gentes dan Nosta Aetate meminta kita untuk memiliki kapasitas dialog semacam itu, dengan siapa pun dan dengan kalangan mana pun.

Saya tidak tahu, apakah Gereja kita sudah cukup menyapa rekan-rekan kita seperti para seniman, para artis, yang memiliki cara pikir dan cara hidup seperti Beatles? Tidak usah jauh-jauh, apakah kita sudah mampu berdialog dengan anak-anak kita sendiri yang memiliki pola pikir dan pola hidup zaman ini yang berbeda dengan zaman kita? Jangan-jangan kita cuma bisa marah, tersinggung dan kebakaran jenggot, ketika pada tahun 1966 John Lennon bilang bahwa the Beatles lebih besar dari Yesus.

Demikian kata-kata John Lennon yang menghebohkan itu: “Christianity will go. It will vanish and shrink. I needn’t argue about that; I’m right and I’ll be proved right. We’re more popular than Jesus now; I don’t know which will go first rock ’n’ roll or christianity.

Kata-kata John Lennon ini menuai kemarahan orang kristen di mana-mana. Namanya seniman, tentu saja John Lennon kemudian menyesal pernah mengucapkan kata-kata itu. Pada tahun 1968, dua tahun kemudian, pada sebuah wawancara, John Lennon mengaku bahwa itu hanyalah sekedar : “boasting of an english working-class lad struggling to cope with unexpected success”.

Panggilan ke kesucian

Koran La Stampa, pada hemat saya mengangkat kisah Beatles untuk menyadarkan bahwa salah satu warisan utama Konsili Vatikan ii adalah “panggilan kesucian”. panggilan luhur semacam itu, tidak cuma sah dan bisa dihayati oleh “warga baik-baik” gereja. yang memberontak, yang nyentrik, yang aneh dari kacamata gereja, yang “nyeni”, yang hidup dan berfikir di luar pakem, yang “bahasanya” tidak nyaman, yang dianggap aneh, juga terpanggil. Juga bisa suci. 

Dari personil the Beatles, Sir Paul McCartney dan George Harrison dibaptis secara katolik, walau nampaknya tidak terlalu mempraktikkan kekatolikan mereka.  Pada tahun 1960an itu, keempat personil the Beatles tertarik pada aliran mistik Timur. George Harrison bahkan menjadi pemeluk hare krishna yang taat. 

Awal tahun ini, pada usianya yang ke-70 bulan juli yang lalu, Ringo Starr menyatakan menemukan kembali agamanya. Ia bilang: “For me, god is in my life. I don’t hide from that. I think the search has been on since the 1960s.”

Anda penggemar musik Beatles? 

Lagu Let It Be  yang pasti anda kenal, tentunya membuat mata hati kita terbuka:  “ternyata Beatles bisa menghadirkan Bunda Maria begitu indah. Bahasa iman yang dilantunkannya, sangat menyentuh. Dalam satu dan lain cara, mereka juga anak-anak Konsili Vatikan II.” 

when i find myself in times of trouble

mother mary comes to me

speaking words of wisdom, let it be

 

and in my hour of darkness

she is standing right in front of me

speaking words of wisdom, let it be

 

let it be, let it be

let it be, let it be

whisper words of wisdom

let it be….

 

and when the night is cloudy

there is still a light that shines on me

shine on until tomorrow, let it be

i wake up to the sound of music

mother mary comes to me

speaking words of wisdom, let it be…

1 COMMENT

  1. Kita seharusnya sangat bersyukur mempunyai The Beatles yang memberikan kesadaran 2 spiritual . Meskipun Beatles dengan kesadarannya seolah ikut mempercepat kemunduran Gereja di dunia Barat ( menurunnya jumlah umat) ; tetapi saya percaya ada kemajuan umat dalam kesadaran hidup beriman. Let it be .

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here