PADA tahun 2017 terdapat 10 buah keadaan darurat kesehatan yang disebabkan oleh konflik bersenjata, bencana alam, dan wabah penyakit, yang terentang dari setelah lima yang pertama dibahas, berikut ini lima buah keadaan darurat kesehatan berikutnya, yang masih mungkin ada pada sepanjang tahun 2018.
Apa yang harus disadari?
Keenam adalah bencana alam hebat seperti banjir, angin topan, gempa bumi dan tanah longsor yang dapat menyebabkan penderitaan yang luar biasa dan memiliki konsekuensi kesehatan yang luas bagi jutaan orang. Pada 2017, angin topan Harvey, Irma, dan Maria menyebabkan kerusakan luas di Karibia dan Amerika Serikat.
Selain itu, musim hujan di Bangladesh, India, dan Nepal mempengaruhi lebih dari 40 juta orang, dan longsoran lumpur yang menghancurkan di Sierra Leone memicu ketakutan akan wabah kolera. Kekeringan yang menyebabkan kerawanan pangan dan kekurangan gizi sering dikaitkan dengan wabah penyakit, sementara gelombang panas menyebabkan kematian berlebih, terutama di kalangan orang tua dan balita.
Gempa bumi di Lombok, NTB tahun 2018 dengan episenter di utara gunung Rinjani terjadi berulang kali, sehingga menyebabkan kerusakan bangunan dan kematian korban yang signifikan. Pada 18 Juli 2018 terjadi gempa pertama dengan kekuatan 6,4 SR, yang merupakan sebuah gempa tipe ‘foreshock’.
Setelah itu, 133 gempa susulan dengan magnitudo terbesar 5,7 SR membuat wilayah terdampak gempa di Lombok semakin meluas, dengan dampak terburuk terjadi di Kecamatan Sambelia di Kabupaten Lombok Timur dan Sembalun di Kabupaten Lombok Utara. Berdasarkan data penanganan darurat bencana gempa Lombok, jumlah korban meninggal dunia hingga Kamis, 23 Agustus 2018 adalah 555 korban dan 390.529 jiwa mengungsi.
Ketujuh adalah radang otak. Suatu strain baru dari bakteri Meningococcal meningitis C sedang sangat menular di sepanjang ‘sabuk meningitis’ di benua Afrika, yang mengancam 26 negara, karena juga terjadi kekurangan global yang mendadak akan ketersediaan vaksin meningitis C. Risiko epidemi berskala besar sangat tinggi dan lebih dari 34 juta orang akan terkena dampaknya.
Lebih dari 10% orang dengan meningitis C akan meninggal dan orang yang selamat sering mengalami komplikasi neurologis yang berat. Dalam penghitungan cepat, saat ini diperlukan 2,5 juta dosis vaksin yang mengandung anti meningococcal meningitis C, yang tidak mudahtersedia. Namun demikian, tambahan 10 juta dosis diperlukan untuk mencegah terjadinya epidemi besar, sebelum tahun 2019.
Kedelapan adalah demam kuning. Pada abad yang lalu, demam kuning (yellow fever) adalah sumber teror utama, karena menyebabkan kematian hebat pada populasi dan menghancurkan pertumbuhan ekonomi. Pada awal tahun 2000-an terjadi kebangkitan (resurgence) penyakit perdarahan atau hemoragik karena infeksi virus akut ini, di banyak Negara Afrika dan Amerika latin. Bahkan sejak itu 40 negara dianggap berisiko paling tinggi.
Pada tahun 2016, wabah demam kuning di Angola dan Republik Demokratik Kongo masih terjadi setelah vaksinasi massal pada 30 juta orang. Pada 2018, Nigeria dan Brasil menangani wabah besar yang mengancam kawasan perkotaan.
Demam dengan perdarahan atau hemoragik karena infeksi virus lainnya yang harus diwaspadai adalah Ebola, Marburg Virus Disease, Demam Berdarah Crimean–Kongo, Demam Lembah Rift, Demam Lassa, penyakit Hantavirus, dan Demam Berdarah Dengue (DBD).
Pada 2017 Indonesia sudah mampu melampaui target Incident Rate (IR) yang ditetapkan dalam rangka pengendalian dengue, di bawah 49 per 100.000 penduduk, seperti dijelaskan Kepala Subdit Pengendalian Vektor dan Binatang Pembawa Penyakit Kementerian Kesehatan (Kemenkes) Suwito di Jakarta, Selasa, 17 Juli 2018.
Pada 2017, kasus DBD yang ditemukan rata-rata sebesar 26,8 per 100.000 penduduk. Namun, masih ada empat daerah yang jumlah kasusnya melebihi target IR tersebut, yaitu Aceh, Kalimantan Barat, Kalimantan Timur, dan Bali. Pada hal tahun 2016 masih terjadi 202.314 kasus DBD dan 1.593 kasus kematian.
Kesembilan adalah malnutrisi. Secara global, 45% kematian di antara anak balita terkait dengan kekurangan gizi. Kekurangan makanan akan tetap menjadi tantangan kesehatan serius di Tanduk Afrika pada 2018.
Di Sudan Selatan pada tahun 2018, sekitar 1,1 juta anak balita diperkirakan akan kekurangan gizi, dan hampir separuh penduduk menghadapi kerawanan pangan yang parah. Di Yaman, 7 juta orang beresiko kekurangan gizi dan persediaan makanan tetap tidak aman bagi 17 juta orang lainnya.
Stunting adalah kurang gizi kronis yang disebabkan asupan gizi kurang dalam waktu cukup lama akibat pemberian makanan yang tak sesuai kebutuhan gizi. Pada tahun 2016, angka stunting di Indonesia sekitar 30 persen dan tahun 2017 turun menjadi 27,5 persen dengan target sebesar 29 persen. jika sebelumnya ada 8 kabupaten yang mendapat intervensi khusus penurunan angka stunting, maka tahun 2018 akan ditambah menjadi 100 kabupaten yang mendapat intervensi khusus dengan fokus desa-desa tertinggal.
Penanganan masalah stunting hanya akan berhasil jika dilakukan secara simultan di berbagai sektor, termasuk sinergi 13 kementerian. Misalnya dengan Kementerian Desa yang mengurus Dana Desa sehingga penggunaannya diarahkan juga untuk memberi intervensi menangani stunting di desa tertinggal.
Kesepuluh adalah keracunan makanan. Setiap tahun, 600 juta orang atau hampir 1 dari 10 orang di dunia, jatuh sakit dan 420.000 meninggal setelah makan makanan yang terkontaminasi (contaminated food). Afrika Selatan saat ini berjuang melawan wabah listeriosis terbesar di dunia dalam catatan. Pada 2017, wabah salmonellosis menyebabkan penarikan merek susu formula bayi yang terkontaminasi, dari lebih 80 negara dan teritori di seluruh dunia.
Terhadap lima buah keadaan darurat kesehatan global tersebut, kita wajib mencegah dan merespon tepat waktu. Sedangkan lima buah keadaan darurat kesehatan lainnya sudah dibahas sebelumnya.
Sudahkah kita bertindak bijak?