TAHUN 2019 adalah tahun politik, karena akan diselenggarakan Pemilihan Presiden (Pilpres) dan anggota legislatif (Pileg) Republik Indonesia. Sebagai warga negara yang baik, para dokter di Indonesia tidak boleh tinggal diam dalam peta perpolitikan daerah ataupun nasional.
Bagaimana peran dokter dalam menganalisis sikap politik sesama warga bangsa?
Semua warga bangsa Indonesia dihadapkan dengan pertaruhan politik besar, bukan hanya sekedar menuju demokrasi paripurna, tetapi hal yang tersulit adalah menjaga agar kebhinekaan Indonesia tetap terjaga dengan baik. Pemilihan umum, baik pilkada maupun pilpres saat ini dihadapkan pada tantangan menguatnya politik sektarian berbasis Suku, Agama, Ras, dan Antar golongan (SARA).
Menguatnya politik sektarian menegaskan bahwa Indonesia sebagai sebuah bangsa, masih menghadapi permasalahan kebhinekaan yang terus mengintai dan mengancam. Ancaman tersebut tidak akan pernah berhenti, sampai kesadaran berbangsa dan bernegara dapat secara efektif termanifestasi dalam benak publik secara keseluruhan.
Selama ini politik sektarian juga menjadi penghalang bagi integrasi politik dalam bingkai kebhinekaan.
- Mengapa masyarakat Indonesia bisa terjerat dalam pertarungan politik sektarian?
- Apa yang terjadi sampai bangsa ini memasuki ruang politik yang sangat gaduh?
Keduanya adalah pertanyaan besar yang harus dianalisis dari berbagai sudut pandang. Namun demikian, belum banyak orang yang tahu bahwa padangan politik sesunguhnya sesuatu yang eksak, artinya dapat diterjemahkan dari sesuatu yang terukur, misalnya dalam beberapa riset kedokteran membuktikan adanya keterkaitan struktur otak dan gen dengan orientasi politik.
Jurnal ilmiah ‘Current Biology’ 21, 26 April 2011, memuat tulisan Tom Feilden, Colin Firth, dan Geraint Rees dengan judul ‘Political Orientations Are Correlated with Brain Structure in Young Adults’.
Jurnal yang published online 7 April 2011 belum diminati oleh banyak dokter di Indonesia.
Para ilmuwan dari London College University tersebut menemukan perbedaan struktural dalam otak manusia di Inggris, berdasarkan pandangan politiknya, yaitu liberal atau konservatif.
Penelitian ini menggunakan alat Magnetic Resonance Imaging (MRI) untuk memindai otak responden dan dikorelasikan terhadap orientasi politiknya. Hasil penelitian menunjukkan bahwa seorang dengan orientasi politik konservatif dan seorang liberal memiliki struktur otak yang berbeda.
Meskipun demikian, sebenarnya struktur otak manusia dapat berubah dari waktu ke waktu berdasarkan pengalaman seseorang, sebuah adaptasi yang dinamakan neuroplastisitas.
Shaw, Christopher, dan McEachern (2001) mendefinisikan neuroplastisitas sebagai konsep neurosains yang merujuk kepada kemampuan otak dan sistem saraf semua spesies, termasuk manusia, untuk berubah secara struktural dan fungsional, sebagai akibat dari input lingkungan.
Gagasan ini pertama kali diusulkan pada tahun 1890 oleh William James, tetapi diabaikan selama lebih dari lima puluh tahun.
Orang pertama yang menggunakan istilah ‘plastisitas neuron’ adalah ilmuwan neurosains Polandia, yaitu Jerzy Konorski, sebelum disempurnakan oleh Shaw pada tahun 2001. Meskipun demikian, belum jelas benar apakah perubahan dalam sikap politik seseorang dapat mempengaharuhi perubahan struktur otak.
Riset kedokteran seperti ini terus berkembang dan dapat digunakan dalam pemetaan pemilih atau ‘voters’ dalam persiapan pilkada atau pilpres di mana pun.
Evan Charney dan William English pada ‘The American Political Science Review’, Volume 107, Edisi 2 Mei 2013, menulis ‘Genopolitics and the Science of Genetics’.
Pada tulisan tersebut, dua gen manusia yang dapat memprediksi suara pemilih atau genopolitik, tidak terbukti memiliki hubungan langsung dengan hasil pemungutan suara dalam pemilihan umum. Hasil ini karena dipengaruhi oleh stratifikasi populasi dan variabel bias yang diabaikan.
Dengan demikian dari sudut pandang genetika, neuroscience, dan biologi evolusioner, genopolitik masih perlu dikaji lebih lanjut, terkait beberapa prinsip dasar dalam genetika molekuler selama 50 tahun terakhir.
Namun demikian, pada jurnal ‘Current Biology’ edisi 17 Nov 2014, Woo-Young Ahn dan rekan menulis laporan lain dengan judul ‘Nonpolitical Images Evoke Neural Predictors of Political Ideology.’
Ternyata ciri dasar ideologi politik seseorang telah ditemukan terkait secara mendalam dengan mekanisme biologi dasar, yang dapat berfungsi untuk mempertahankan diri terhadap tantangan lingkungan, seperti kontaminasi dan ancaman fisik.
Hasil ini mempertanyakan klaim provokatif sebelumnya, bahwa respons saraf terhadap rangsangan nonpolitik (nonpolitical stimuli), seperti makanan haram atau ancaman fisik dapat digunakan untuk memprediksi opini politik (political opinions), seperti sikap terhadap pasangan calon atau partai pengusung dalam pilkada dan pilpres.
Radikalisme dari sisi kedokteran jiwa atau psikiatri, penting dibahas untuk penatalaksanaan paripurna, meskipun sampai sekarang masih diteliti apakah terjadi hanya pada orang dengan gangguan kejiwaan atau hasil proses cuci otak.
Scott Antran seorang Antropolog Kognitif dari ‘French National Center for Scientific Research’, mengungkapkan bahwa orang muda memerlukan nilai dan impian. Kesimpulan bahwa ‘the youth need values and dreams’ dimuat dalam The Guardian, koran di Inggris yang terbit Minggu, 15 November 2015.
Oleh sebab itu, para pihak yang dapat menawarkan nilai dan impian kepada para pemilih pemula, tentu akan dapat mendulang suara, bukan hanya karena pemilih mengalami gangguan kejiwaan semata, tetapi juga dipengaruhi oleh proses indoktrinasi bertubi.
Tentu saja para dokter Indonesia harus ikut terpanggil untuk melakukan pendekatan medis dalam perpolitikan nasional. Paling tidak, para dokter seharusnya mengedukasi warga bangsa, agar dapat menangkal pola pikir radikalisasi.
Selain itu, juga dengan mengajarkan nilai-nilai rasional seperti agar tetap merasa nyaman dengan ketidaksempurnaan, menoleransi perbedaan, dan tidak mengidealkan sebuah utopia, sebuah metode berpikir yang dinamakan moderasi.
Oleh sebab itu, segenap warga bangsa NKRI seharusnya memecahkan masalah dengan instrumen berfikir dan asuhan medis paripurna, yaitu sesuai dengan ideologi dan karakteristik bangsa, berdasarkan Pancasila.
Sudahkah para dokter terlibat membantu?