LAYANAN dokter di Indonesia saat ini menggunakan sistem yang baru. Pada era JKN (Jaminan Kesehatan Nasional) dan internet, layanan dokter mengalami perubahan yang hampir drastis. Selain itu, era perdagangan elektronik (e–commerce) juga sudah nyata mengubah banyak hal.
Apa yang mengalami revolusi?
Konsep revolusi industri 4.0 pertama kali diperkenalkan oleh Profesor Klaus Schwab. Teknisi dan ekonom terkenal asal Ravensburg Jerman itu menulis dalam bukunya The Fourth Industrial Revolution tentang sebuah konsep yang telah mengubah hidup dan kerja manusia.
Sekarang kita telah masuk zaman revolusi industri ke 4 atau sering disebut 4.0, yang ditandai dengan sistem ‘cyber-physical’, karena industri mulai menyentuh dunia virtual, berbentuk konektivitas manusia, mesin dan data.
Lima jenis teknologi utama pada sistem industri 4.0 adalah sebaga berikut:
- Internet of Things.
- Artificial Intelligence.
- Human–Machine Interface.
- Teknologi robotik dan sensor,
- Teknologi ‘3D Printing’.
Layanan dokter pada era JKN ini sudah menggunakan ‘Internet of Things’, yaitu adanya konektivitas manusia dan data, misalnya dalam mengatur rujukan ke layanan di RS, tetapi masih mewajibkan adanya pertemuan nyata, antara dokter dengan pasien, dan belum ada ketentuan tentang layanan dokter virtual.
Sesuai UU No 24 Tahun 2011 tentang BPJS, layanan dokter harus mengikuti regulasi JKN. Namun demikian, sebenarnya juga merupakan bagian dari ‘Exponential Medicine,‘ yaitu teknologi aplikasi untuk layanan dokter secara virtual.
Contoh layanan dokter virtual lainnya adalah penggunaan teknologi ‘Human–Machine Interface’, misalnya menggunakan ResearchKit®, sebuah menu terbuka (open-source platform) produksi Apple, yang memungkinkan para dokter mengambil data pasien melalui HP (mobile apps).
Alat ini akan mampu mendeteksi gangguan emosi, mendiagnosis autisme, asma, memprediksi serangan epilepsi, dan memetakan pertumbuhan sel ganas mole untuk kanker kulit melanoma, yang nmemudahkan dokter saat memberikan layanan.
Teknologi lainnya adalah “tricorder medis”, yang bahkan hampir setiap orang akan memiliki teknologi ini dalam genggaman. Hanya dengan menempelkannya pada dahi, pasien dapat mengukur suhu, detak jantung, saturasi oksigen, dan tekanan darah dengan alat tersebut.
Pasien di rumah akan mampu memberikan data dengan meng-upload melalui HP kepada dokter. Untuk pasien dengan penyakit jantung, juga telah tersedia perangkat pintar Band-Aids®, yang akan mengirimkan informasi ‘real-time’ data EKG, suhu, denyut jantung, tingkat stres, atau kalori yang terbakar melalui Web atau sambungan internet kepada dokter yang merawatnya.
Juga telah tersedia aplikasi CellScope®, untuk melakukan pemeriksaan lobang telinga secara virtual, sehingga pasien tidak perlu kembali ke ruang praktek dokter, untuk tindak lanjut keluhan telinga.
Raksasa teknologi Kecerdasan Buatan (Artificial intelligence atau AI) terdepan, seperti IBM, juga mengembangkan perangkat lunak yang dimaksudkan untuk membantu dokter ahli radiologi dalam mendeteksi kanker paru-paru pada pemindaian CT.
Jurnal Nature 2016 melaporkan bahwa AI mampu mengidentifikasi lesi kanker kulit, setara dengan dokter spesialis kulit atau ahli dermatologi yang telah terlatih sekalipun. Selain itu, teknologi ini menunjukkan spesifisitas yang sangat luar biasa, untuk mendeteksi retinopati diabetes pada pemindaian retina mata.
Retinopati diabetik adalah penyebab paling umum kehilangan penglihatan bagi mereka yang menderita diabetes. Diagnosis penyakit ini biasanya dilakukan melalui pemeriksaan mata selama 2 jam, yang juga memerlukan kamera khusus untuk mengambil foto retina.
Juga ‘Eyeagnosis’ buatan Kavya Kopparapu (16 tahun dari India) adalah aplikasi HP dengan ‘simple 3D-printed lens’ yang dapat mengenali penyakit retinopati diabetik, membuat diagnosis akurat, dan telah dipresentasikan pada konferensi Artificial Intelligence O’Reilly di New York pada bulan Juni 2017 lalu.
Pada era dokter virtual ini definisi konsultasi dokter, kunjungan medis atau visite dokter dengan demikian perlu juga dirumuskan ulang, karena berbeda dengan layanan dokter secara konvensional.
Meskipun masih banyak dokter yang enggan (reluctant) untuk melakukan kunjungan medis virtual, tetapi sebuah perusahaan asuransi kesehatan yang besar di USA, telah berani menjamin pembiayaan untuk maksimal 20 juta kunjungan medis virtual menggunakan video, untuk semua nasabahnya sepanjang tahun 2016.
Keengganan dokter sering terjadi karena terkait kesulitan dalam proses tagihan finansial. Sebagai pasien, kunjungan virtual tentu lebih mudah, tetapi cukup banyak yang kawatir tentang rahasia kedokteran dan privasi sesuai standar HIPAA (Health Insurance Portability and Accountability Act).
Kemajuan teknologi digital jauh lebih cepat daripada aspek hukum, pengaturan, atau pembayaran.
Dr. Melanie Walker, Profesor Neurologi di University of Washington dan Johns Hopkins School of Medicine, USA dalam paparannya di ‘the World Economic Forum’ Davos 2018, memprediksi teknologi layanan kesehatan di RS.
Pada tahun 2030, epidemi penyakit akan semakin terganggu (disrupted) oleh teknologi, sehingga RS mungkin memiliki jenis penyakit yang jauh lebih sedikit untuk dikelola, karena lebih banyak pasien dapat dilayani secara virtual di klinik.
Revolusi industri 4.0 akan memungkinkan manusia untuk hidup lebih lama, lebih produktif, dan lebih sehat, sehingga RS masa depan akan menjadi sekedar sebuah tempat pemberhentian perjalanan alamiah manusia, daripada lubang hitam tempat kematian yang tak terhindarkan.
Pasien akan pergi atau mampir di RS seperti mobil untuk ditambal bannya dan dikembalikan ke jalur semula. Beberapa praktik layanan RS bahkan mungkin hilang sepenuhnya dan kebutuhan untuk rawat inap pada akhirnya akan hampir hilang.
Layanan virtual oleh dokter di klinik, akan membuat bangsal perawatan pasien di RS yang saat ini dipenuhi pasien dengan gangguan satu atau lebih sistem organ, kelak justru hanya akan digunakan untuk proses diagnosis dan perawatan sementara saja.
Sebuah perangkat pemindaian digital tunggal akan mampu memberikan gambaran detail aspek metabolik, fungsional, dan struktural pasien, karena mampu menggabungkan fisika spektroskopi, resonansi magnetik, dan radiasi. Dengan demikian dokter hanya perlu satu tindakan pemindaian virtual, dan tidak memerlukan sebuah tindakan invasif yang menyakitkan pasien, seperti operasi biopsi jaringan.
Dokter juga tidak perlu lagi mempertimbangkan obat apa yang harus diresepkan untuk pasien dan kemudian apoteker yang memberikannya. Perangkat seluler dokter akan menerima informasi yang diperlukan untuk meramu obat, probiotik dan diet khusus, dari ruang penyimpanan data pasien. Selanjutnya, akan tersedia obat sesuai permintaan dokter, yang akan berlangsung bahkan dalam beberapa menit saja.
Sekarang RS dan dokter wajib memberikan layanan kepada pasien dengan memberikan informasi diagnostik yang paling akurat, intervensi yang paling tidak invasif, dan terapi teraman yang tersedia. Ke depan, pasien secara mandiri akan memiliki informasi yang serupa, sehingga cukup melakukan diskusi singkat dengan dokter secara sepadan.
Saat ini beban global penyakit sebagian besar dalam aspek pembuluh darah atau vaskular, dengan serangan jantung dan stroke menjadi penyebab kematian terbesar di dunia. Padahal, keduanya sebentar lagi dapat dicegah dengan pemahaman pasien yang lebih baik, dengan melakukan koreksi atas faktor risiko dalam bimbingan dokter secara virtual. Kejadian cidera traumatis juga turun dan akan terus menurun, saat tersedianya mobil tanpa pengemudi dan pekerja robot telah diciptakan untuk menggantikan tugas manusia yang berisiko.
Teknologi kedokteran digital telah tersedia, sehingga sekarang diperlukan definisi ulang (reshape) hubungan dokter dengan pasien secara virtual.
Oleh sebab itu, sebaiknya para dokter melatih diri agar profesional secara virtual, juga mengadvokasi organisasi profesi, pemerintah, penjamin biaya pasien seperti BPJS Kesehatan, dan kelompok lain untuk memulai penggunaan teknologi digital ini.
ShopBack, aggregator dari lebih dari 200 e-commerce di Indonesia, mencatat pertumbuhan volume transaksi hingga 70% dibanding rata-rata transaksi harian saat perayaan Imlek 2019 ini.
Angka ini naik sekitar 10-15% dibandingkan volume transaksi tahun lalu, yang hanya sekitar 55-60%.
Country Head of Shop Back Indonesia Indra Yonathan mengatakan, pola konsumsi masyarakat Indonesia yang mulai merambah dunia digital dan online menjadi faktor peningkatan volume pemesanan e-commerce.
Padahal, layanan dokter sebenarnya dapat merupakan komoditas yang turut diperdagangkan melalui e-commerce. Tentu saja diperlukan ‘unicorn’ dan ‘start up’ yang mampu mewujudkan perubahan layanan dokter secara virtual dalam dunia digital dan online.
Sudahkah kita siap menjadi dokter virtual?