Artikel Kesehatan: Harga Obat

0
221 views
Ilustrasi - Layanan obat-obatan -- Kredit foto by Sr. Ludovika OSA.

PADA forum global tentang harga dan akses obat (a global forum on fair pricing and access to medicines) Sabtu, 13 April 2019 di Johannesburg, Afrika Selatan, banyak delegasi menyerukan transparansi yang lebih besar terkait biaya penelitian, pengembangan dan produksi, untuk memungkinkan para pembeli menegosiasikan harga obat yang lebih terjangkau.

Apa yang penting?

Keterjangkauan harga obat telah lama menjadi perhatian bagi banyak negara berkembang, tetapi saat ini juga merupakan masalah global. Setiap tahun, 100 juta orang jatuh miskin karena mereka harus membayar biaya obat dari kantong mereka sendiri.

Otoritas kesehatan negara berpenghasilan tinggi semakin kewalahan finansial, karena harus menjamin ketersediaan obat kanker, hepatitis C dan penyakit langka. Namun demikian, saat ini justru semakin kewalahan, karena meluas ke obat lama yang patennya telah kedaluwarsa, seperti insulin untuk mengelola diabetes.

Terdapat kesenjangan yang belum dikoreksi dalam akses ke obat yang terjangkau, termasuk obat dalam Daftar Obat Esensial (EML) WHO, yang merupakan obat penting untuk sistem kesehatan nasional.

Pada tahun 2017 biaya produksi sebagian besar obat dalam Daftar Obat Esensial WHO adalah hanya sebagian kecil dari harga akhir yang dibayarkan oleh pemerintah, pasien atau pun perusahaan asuransi. Kurangnya transparansi di sekitar harga yang dibayar oleh pemerintah, berarti bahwa banyak negara berpenghasilan rendah dan menengah membayar harga lebih tinggi untuk obat-obatan tertentu daripada negara kaya.

Negara dalam jaringan Beneluxe (Belgia, Belanda, dan Luxemburg) telah bergabung untuk membagikan informasi obat dan hasilnya baik. Sukses kolaborasi beberapa negara yang telah terbukti berhasil dalam mencapai harga obat yang lebih terjangkau, termasuk pengadaan gabungan dan pembagian kebijakan secara sukarela.

Jika beberapa negara di wilayah yang sama membeli obat sebagai blok, mereka dapat menegosiasikan penurunan harga, karena volume obat yang dibeli jauh lebih besar.

Beberapa negara Eropa yang dipimpin oleh Austria, telah berbagi kebijakan berbeda untuk memperluas akses pembelian obat melalui skema PPRI (Pharmaceutical Pricing and Reimbursement Policies) atau Kebijakan Harga Obat dan Penggantian Biaya yang didukung WHO.

Penelitian tentang analisis biaya produksi obat telah dilakukan oleh Andrew  Hill, Melissa Barber, dan Dzintars Gotham (2017) di India, meliputi biaya formulasi, pengemasan, perpajakan, dan margin keuntungan 10%. Dibandingklan dengan data harga per kilogram bahan aktif obat yang diekspor oleh India.

Selain itu, juga dibandingkan dengan harga obat terendah yang tersedia secara global untuk obat dalam pengelolaan HIV/AIDS, tuberkulosis (TB) dan malaria. Selain itu, juga harga saat ini di Inggris, Afrika Selatan dan India.

Penelitian tersebut menunjukkan adanya akurasi prediksi yang baik untuk obat HIV / AIDS, TB dan malaria. Perkiraan harga generik berkisar antara US $ 0,01 hingga US $ 1,45 per unit, dengan sebagian besar berada di ujung bawah kisaran ini.

 Harga terendah yang tersedia lebih besar dari perkiraan harga generik untuk 214 dari 277 (77%) obat yang sebanding di Inggris, 142 dari 212 (67%) di Afrika Selatan, dan 118 dari 298 (40%) di India. Harga terendah yang tersedia, lebih dari tiga kali di atas perkiraan harga generik untuk 47% obat di Inggris dan 22% di Afrika Selatan.

Kesimpulan penelitian yang dimuat pada BMJ Global Health, Volume 3, tahun 2017 menunjukkan bahwa, berbagai macam obat dalam EML dapat tetap menguntungkan secara finansial, meskipun diproduksi dengan biaya yang sangat rendah.

Sebagian besar obat dalam EML dijual di Inggris dan Afrika Selatan, dengan harga yang jauh lebih tinggi daripada yang diperkirakan, untuk biaya produksi. Untuk itu, estimasi harga obat secara umum dan perbandingan harga obat secara internasional, dapat digunakan dalam negosiasi harga obat oleh pemerintah.

Selain itu, juga dapat mendukung perhitungan efektivitas biaya, sebagai mana terlihat pada http://dx.doi.org/10.1136/bmjgh-2017-000571.

Kurangnya akses ke harga obat yang terjangkau terus menjadi beban kesehatan global yang utama. Sebuah analisis pengeluaran farmasi per kapita menemukan bahwa, sebanyak 201 jenis obat esensial tidak terjangkau di hampir semua negara berpenghasilan rendah dan 13 negara berpenghasilan menengah.

Perkiraan sebelumnya menyebutkan jumlah orang yang tidak memiliki akses ke obat esensial mencapai sepertiga populasi global.

Di negara berpenghasilan rendah dan menengah, hanya 58% obat esensial tersedia di sektor publik, dan 67% di sektor swasta.

Selain itu, pengeluaran untuk biaya obat mencapai seperempat dari seluruh pengeluaran untuk kesehatan secara global, dan 100% dari pengeluaran kesehatan untuk sekitar setengah rumah tangga, di negara berpenghasilan rendah dan menengah.

WHO baru-baru ini merekomendasikan transparansi yang lebih besar dalam penetapan harga obat. Data tentang biaya produksi obat tidak tersedia untuk umum, dan sistem kesehatan memiliki kekuatan negosiasi yang hanya terbatas, ketika obat dijual dalam situasi monopoli harga.

Namun demikian, harga obat sebenarnya dapat turun secara substansial, ketika terjadi kompetisi dengan obat generik, misalnya penurunan harga dapat dicapai sampai 99% untuk harga obat HIV / AIDS lini pertama.

Harga bahan baku obat atau Active Pharmaceutical Ingredient (API), umumnya merupakan komponen terpenting dari biaya produksi farmasi.

Momentum ini mengingatkan bahwa beberapa negara atau RS yang membeli obat secara blok dalam transparansi komponen harga yang lebih baik, hampir pasti dapat menegosiasikan penurunan harga, karena volume obat yang dibeli jauh lebih besar.

Hal tersebut sebenarnya juga berlaku untuk obat dalam Fornas (Formularium Nasional) dalam program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) di Indonesia.

Apakah kita sudah bijak?

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here