Artikel Pencerah – Balada Kakak-Adik

0
252 views
Ilustrasi - (ist)


INI adalah kisah nyata. Saya sudah diizinkan menulis kisah keluarga kecil yang harmonis, tetangga dekat kami.

Sang ayah bernama Saiful, sekira 35 tahun. Ia pengusaha tangguh dan pekerja keras. Bisnisnya menyalurkan dan menjual daging ayam.

Tak heran kalau tiba-tiba rumah di samping berhasil dibelinya. Disulap menjadi gudang, sementara lantai atas sebagai ruang keluarga. Beberapa kotak freezer terlihat dari luar.

Sebuah Pajero putih mengkilat bertengger di garasinya.

Tiap malam, sekira pukul 9.00, sebuah truk mini membawa daging ayam. Sampai sekira pukul 3.00 pagi, ia bekerja keras, sendirian, memotong daging itu dan mengemasnya di kantong-kantong plastik.

Nyaris tak ada hari libur.

Pukul 4.00 pagi, dua armada motor, dengan kantung besar di belakang, mengantar daging ayam ke beberapa restoran seputar Jabotabek.

Istirahat sebentar, pukul 6.00, dia mulai buka warung, tak jauh dari rumah kami.

Saiful menggelar dagangan sendirian. Harganya miring, dagingnya segar. Banyak pelanggannya.

Tidak hanya buat para tetangga, Saiful, entah tamatan sekolah apa, layak menjadi suri teladan bagi kaum milenial yang banyak mengeluh karena tak punya kerjaan.

Tak banyak bicara, Saiful terus kerja keras dan kerja keras.

Entah, kapan dia istirahat.

Tapi cerita ini bukan hanya soal kehebatan Saiful.

Saya ingin berbagi pengalaman, juga tentang kedua anak laki-lakinya.

Mereka sering lewat di depan rumah, atau main ayunan di halaman belakang, bersama teman-teman sebaya.

Si sulung dipanggil Fay. Usia 7.5 tahun, kelas 2 SD. Beratnya 29 kilogram. Si bungsu dipanggil Rapa, masih TK B. Beratnya 32 kilogram.

Fay langsing, sementara Rapa gembil.

Relasi antara Fay dan Rapa menarik perhatian saya. Bermain, jajan, bersenda-gurau, atau, ini yang paling seru, bertengkar.

Fay lebih pendiam. Istilah kerennya, introvert.

Sementara, Rapa sangat ekstrovert.

Fay gesit dan pintar bermain. Si adik senang berteman, selalu menegur siapa saja, kenal atau tidak, anak-anak atau dewasa.

Ia sering memanggil saya dari jalan, dan selalu terjadi dialog yang menyenangkan.

Rapa selalu berusaha untuk mengajak bicara, sementara Fay hanya senyum-senyum saja.

Saiful pernah cerita, kalau diajak keluar naik motor, Rapa sering berteriak menyapa orang yang dijumpai di jalan, seperti tukang roti, tukang mainan, tukang bakso.

Seolah dia mengenalnya dengan akrab. Di sisi lain, Fay lebih mudah menyerap pelajaran di kelas.

Itulah balada kakak-adik. Khas anak-anak. Tak dibuat-buat dan orisinil.

Cerita yang tak kalah menarik adalah saat mereka berantem.

Tak jarang Rapa mengganggu kakaknya yang lebih serius.

Istilah ayahnya, Rapa menjahili kakaknya.

Kalau Fay sedang belajar atau bermain sendirian, Rapa menggodanya. Fay marah. Ketika dibalas, Rapa lari atau mengadu ke ayah atau ibunya.

Kadang menangis. Biasa anak-anak, pertengkaran hanya sekejab, kemudian berangkulan kembali, sambil tertawa-tawa. “Brothers are like glue. They stick together”.

Pernah mereka berjalan di depan rumah dalam posisi sedang bertengkar. Saya berusaha melerainya, tapi gagal.

Mengherankan, hanya dalam waktu 11 menit, Fay dan Rapa kembali lewat dalam damai. Fay mengambil Taro Rapa, sementara Rapa mengambil Chici yang dipegang Fay.

Saya geli melihatnya.

Ketika saya menceritakan kisah ini kepada seorang Psikolog Perkembangan, dia mendukung sikap saya.

Ketika relasi kakak-adik sedang memburuk, jangan sekali-kali “orang luar” memihak. Bersikaplah netral sambil mencoba menenangkan.

Ikut campur seperti dalam kisah Fay dan Rapa, membuat saya malu dan tertawa sendiri.

Mereka sudah bercanda, saya masih iba kepada Rapa yang barusan kena marah kakaknya. Kalau berkelahi di depan saya, mencegah pertengkaran fisik adalah keharusan, tapi jangan memihak.

Tak tahu apa yang mereka rasakan. Tak paham masalah mereka. Tak mengerti sebab-musabab pertengkarannya.

Terima kasih untuk Fay dan Rapa yang mengajarkan kepada kita bagaimana menyikapi relasi yang unik.

Interaksi yang bisa diperluas menjadi kakak-adik sepupu, misan, bahkan mereka yang dihubungkan sebagai brothers, karena sejarah atau faktor lain.

Untung, ada pepatah Jawa yang bisa menjelaskan ini. Berkelahi seru, kemudian sebentar damai.

Hubungan mereka spesial, orang lain yang tak paham sebaiknya tak usah ikut-ikut masuk ke dalamnya.

Ibaratnya, mereka mungkin saling menyakiti, tapi tak tega sampai mati.

“Tega larane, rak tega patine”.

@pmsusbandono
28 Mei 2021

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here