Artikel Pencerah: Feodalisme Masih Bergentayangan

0
520 views
Ilustrasi- Feodal by Brewminate.


JUMAT pagi Minggu lalu, kami menuju Salemba dari arah Bintaro. Lalu lintas cukup lancar. Antrian mobil di perempatan lampu merah Kebayoran Lama – Arteri Pondok Indah – Ophir tak panjang.

Lampu hijau menyala. Kami bergegas menikung ke arah Pakubuwono.

Tiba-tiba seorang polantas menyegat kami. Antrian kendaraan dari arah Pondok Indah distop.

Apa yang terjadi?.

Dari arah berlawanan sebuah sedan mengkilat, warna hitam, dengan nomer belakang RXX, menyeruak antrian mobil yang sedang menunggu lampu merah. Sebuah motor polisi meraung-raung dan meliuk-liuk membuka jalan.

Sekejab sang sedan menghilang ke arah Pondok Indah. Kami jalan kembali. Sirene yang membisingkan terdengar samar-samar, menjauh dan hilang.

Sekali lagi, aliran lalu lintas mengalir. Kalau pun harus menunggu, mungkin hanya tiga menit. Apa perlu dikawal suara sember mobil patroli agar lebih cepat?.

Cerita belum usai.

Dalam perjalanan selanjutnya dijumpai empat kali kasus serupa. Dari arah samping, belakang atau depan.

Modusnya sama. Mobil berplat khusus – semua orang juga tahu siapa penumpangnya – dikawal polisi dan memaksa pengguna jalan raya lainnya untuk minggir dan mengalah.

“Sang raja” mau lewat. Tugasnya penting, waktu 1-2 menit sangat berharga. Rombongan “sultan” harus didahulukan. Orang kebanyakan belakangan.

Saya mencoba menduga-duga, apa sebetulnya maksud sang “raja” untuk didahulukan.

Mengapa “nguing-nguing” harus mengawalnya?

Mengapa kepentingan publik harus dikalahkan? Mengapa fenomena “raja jalan” begitu menggejala? Sementara waktu yang dihemat maksimum hanya lima menit?.

Dugaan saya, “kecepatan” bukan tujuan utama. Lebih pada kebutuhan agar merasa diistimewakan. Naik mobil dinas dengan pengawalan membuat hati “mongkok” (bangga berlebihan).

Seolah pengumuman bahwa dirinya orang penting. Layak diistimewakan, harus diprioritaskan dan pantas diiringi decak kagum yang menontonnya.

Sikap seperti itu adalah drama feodalisme. Ia sedang mempertontonkan arogansinya. Merasa sejuta “lebih” dibanding lainnya.

Sikap feodal, yang merasuki sebagian besar dari kita dengan kadar yang berbeda-beda.

Saya belum pernah membaca penelitian, mengapa sikap feodal menggejala di Indonesia. Banyak orang ketika punya kesempatan tiba-tiba berubah feodal.

Orangtua yang baik di rumah berubah feodal ketika di luar rumah. Sahabat karib ingin dijuluki khusus, yang dirasa lebih terhormat, padahal waktu kecil tak masalah dengan sebutan lama.

Wajah-wajah yang ingin disembah dan dipuja-puji karena merasa lebih dari sekelilingnya.

Apakah ini budaya?.

Feodalisme memungkinkan seseorang berubah peran dalam kerangka “patron-klien”. Suatu saat menjadi patron, dalam seketika menjadi klien. Pimpinan perusahaan ditakuti di kantornya, munduk-munduk membuat SIM di kantor polisi atau memperpanjang KTP di kelurahan.

Polisi garang di jalan raya, tertatih-tatih mengantar anaknya berobat di Puskesmas. Mahasiswa senior galak di depan yuniornya, terbirit-birit saat dipanggil dosen.

Begitu seterusnya, berputar dengan kecepatan sedang sampai tinggi, menjadi dadung kepuntir, yang susah diurai.

“Feodal”, berasal dari bahasa Latin, “feodum”, yang berarti “tanah”.

Penguasa, raja, mempunyai privilege untuk menguasai tanah dan hasilnya. Bahkan bisa memaksa siapa saja yang hidup di atas atau dari tanah untuk membayar upeti.

Dari sinilah, kemudian makna feodal berubah wujud ke mana-mana.

Ia berkembang menjadi sistem politik dan sosial. Memberi kesempatan kepada seseorang atau sekelompok orang untuk seolah berkuasa, tanpa kontrol dan imbangan yang memadai.

Rombongan VVIP di jalan raya salah satu bukti. Meski tak punya hak dan wewenang untuk itu.

Di dunia kerja, feodalisme ditandai dengan hubungan atasan-bawahan yang jauh, kaku dan formal.

Profesor Antropologi Organisasi dan Manajemen Internasional dari Universitas Maastricht, Geertz Hofstede (1928-2020) mengkaitkannya dengan salah satu dimensi budaya kerja, “jarak kuasa” atau “power distance”.

Jarak kuasa, mengukur tingkat penerimaan konstituen akan suatu pembagian kekuasaan yang tidak proporsional. Atasan tak bisa salah. “King can do no wrong”.

Indeks jarak kuasa masyarakat Indonesia cukup tinggi. Ini suatu tanda bercokolnya jiwa feodal. Tak juga luntur ketika kemerdekaan sudah dicanangkan 76 tahun lampau.

Meski pemimpin tertinggi negara sudah memberi keteladanan sikap yang berjarak kuasa rendah, cucurannya belum juga menetes ke bawah.

Sirene masih maraung-raung dan lampu biru kelap-kelip masih menyilaukan mata.

Ironis bukan?.

Hajriyanto Y Thohari, kala itu Wakil Ketua MPR-RI, ikut menenggarai hal ini.

“Feodalisme tidak tampak, tapi berbahaya sekali. Ini menghancurkan bangsa. Feodalisme akar semua masalah di Indonesia.

Feodalisme tidak hanya terjadi pada lapisan struktural saja, namun juga mengakar di dalam masyarakat itu sendiri.

Feodalisme hanya bisa dihilangkan bila dibuat UU (baca : sistem) yang menghalangi munculnya di seluruh lini dan lapisan masyarakat”. (Antara Sumbar, 27/05/2013, 06.17).

Mental feodal membuat nyaman bagi yang sedang menggenggamnya. Hari ini, saya, anda dan kita mengecam praktik feodalisme. Esok hari bisa jadi beralih peran, menjadi penggenggam.

Itulah sebabnya mengapa ia bercokol sejak ratusan tahun lampau dan sulit dikikis. Sikap feodal dibenci dan dinikmati bersamaan.

“Feudalism is difficult to remove because we hate it and do it at the same time”. (David Brin – Ahli Politik dan Politikus Partai Demokrat Amerika)

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here