NAMA lengkapnya Suster Carolina CB. Entah rezeki dari mana, saya bisa “berteman” dengan dia.
Seingat saya, hanya 2 atau 3 kali berjumpa muka. Kami lebih sering bertemu di media sosial. Tukar pikiran dari hal-hal yang penting sampai “remeh-temeh”. Saling berkomentar tentang artikel saya yang dibacanya di Whatsapp.
Menarik sekali.
Bukan main-main, sang suster adalah mantan Provinsial (pemimpin) Konggregasi Suster-suster Cintakasih St. Carolus Borromeus Provinsi Indonesia masa bakti 2011-2017.
Suster Carolina sedang dalam tahap akhir penulisan tesis dengan judul “Discovering New Ways to Instill Spirituality Among Millennial Postulancy Candidates of CB Congregation, Indonesia, Program Pasca Sarjana di Institute of Spirituality in Asia, Manila, Filipina.
Pandemi sedikit menghambat penyelesaian penulisannya.
Kali ini, Suster Carolina mengomentari artikel saya yang berjudul Penyebab Banjir itu Hujan?.
Anda masih ingat?.
Diskusi bergulir sangat menarik. Kemudian, topik bergeser kesana-kemari. Malah tak berkutat tentang banjir lagi. Kami membahas seru sebab-musabab mengapa manusia mudah ngeles. (Bahasa gaul: menghindar sambil mencari sebab yang tak masuk akal-sehat).
Simak pesan-pesan WA sang suster :
“Mencari kambing hitam tampaknya menjadi kecenderungan manusia sejak semula. Spontan, ketika seseorang melakukan kesalahan selalu mencari pembenaran diri dengan cara menyalahkan orang lain atau sesuatu di luar dirinya.”
Saya menimpali dengan mengatakan bahwa itu adalah sifat bertahan yang muncul dari dalam diri manusia. Bahasa kerennya self defense mechanism.
Tangisan bayi itu mekanisme pertahanan diri. Semakin lama semakin kental. Arahnya bisa ke mana-mana. Bergerak tanpa pola, jika tak disertai pemahaman kapan ia harus muncul dan bila harus disembunyikan.
Pendewasaan diri mutlak diperlukan, bila ingin selektif dalam penggunaannya. Mencari “kambing hitam” atau mengemukakan “alasan yang tak beralasan” adalah salah satu jenis self defense mechanism yang negatif dan kontraproduktif.
Kembali ke laptop. Dalam porsi yang berbeda-beda, mencari “kambing dan mengecatnya dengan warna hitam” adalah manifestasi dari sikap dengan arah dan tujuan yang keliru.
Entah tepat atau tidak, orang seperti ini disebut sebagai “defensif” dan tidak “solutif”.
Bukan suster kalau tidak (sedikit-banyak) mengutip rujukan yang jos.
Lihat pesan berikutnya.
“Kisah Adam dan Eva menceritakan contoh fenomena ini dengan gamblang.” (Kej 3:1-24)
“Ketika mereka ditanya mengapa makan satu-satunya buah di taman, yang dilarang oleh Allah? Secara otomatis, Adam menjawab bahwa yang memberi adalah Eva. (Kej 3,12). Padahal dia tahu kalau buah tersebut tidak boleh dimakan (Kej 3:2-3). Secara spontan pula, Eva menyalahkan ular yang telah membujuknya untuk makan buah tersebut (Kej 3:13).”
Saya menambahi. Kalau saja ular bisa dikejar, mengapa dia membujuk Eva, mungkin jawabnya adalah “Karena saya disuruh setan”.
Kemudian masalah seolah-olah usai. Kesalahan tanpa pertanggungjawaban. Buntut-buntutnya “yang salah” adalah sesuatu yang untouchable.
Kemudian, sang pengejar terdiam. Tak ketemu mengapa terjadi dan siapa yang bertanggung jawab.
Kisah pengingkaran atau penyangkalan (ngeles) Adam dan juga Eva adalah suatu bukti bahwa manusia pada dasarnya defensif. Mekanisme pertahanan diri ternyata sudah ada sejak manusia pertama dan kedua. Kitab Suci sedang menceritakan sikap defensif dan kontraproduktif dari dua orang anak manusia.
Suster Carolina melanjutkan pesannya.
“Bahkan juga ketika seseorang tidak bisa menyalahkan orang lain atau sesuatu di luar dirinya, dia tetap membekali diri dengan mengatakan ‘tidak tahu'”.
“Simak kisah Kain dan Habel (Kej 4:1–16). Ketika ditanya di manakah adiknya berada, Kain menjawab ‘tidak tahu’. Masih belum cukup, dia berusaha ingkar diri. ‘Apakah saya yang harus menjaga adikku?’.” (Kej 4:9).
Adam, Eva,dan Kain dikisahkan dalam Kitab Suci Perjanjian Lama sedang “ngeles”.
Suster Carolina menutup pesan WA-nya dengan cespleng:
“Nampaknya, itu sikap manusia. Kecenderungannya untuk menyalahkan orang lain, nyata juga dalam upaya membenarkan diri dengan menutupinya dengan ‘rasionalisasi’. Seseorang mencari pembenaran diri dengan upaya mencari-cari argumen pendukung seolah-olah benar dan dapat dipertanggungjawabkan.”
Saya hanya bisa manggut-manggut, tanda setuju. Coaching yang bernas dan mencerahkan dari sang suster.
Izinkan saya menutup renungan ini dengan ungkapan dari Kilroy J. Oldster, penulis buku bestseller berjudul Dead Toad Scrolls.
Manifestasi mekanisme pertahanan diri dengan nada defensif bisa dihapus, bila manusia menipiskan rasa ego.
Istilah sekarang, dia harus sudah selesai dengan dirinya. Insight dipertebal dan spiritualitas akan tumbuh dengan sendirinya.
“The ego with its protective defense mechanisms is the biggest impediment to attaining spiritual growth.”
@pmsusbandono
28 Februari 2021