Home BERITA Artikel Pencerah: Memahami ”Profession Trait”

Artikel Pencerah: Memahami ”Profession Trait”

0
Ilustrasi -- Menjadi pemimpin yang berkualitas (Ist)

GARA-gara pandemi, beberapa teman profesional muda kebingungan. Mayoritas adalah pengelola manajemen SDM (MSDM) di perusahaannya. Sebagian leaders dari fungsi lain. Kebanyakan swasta, beberapa BUMN, 1-2 orang kementerian.

“Susah pak. Banyak pendekatan, sistem, teori, proses-bisnis MSDM baku yang kini tak bisa diterapkan. Kami bingung harus bagaimana,” begitu keluh mereka.

Saya mencoba memahami kegalauan mereka. Perubahan dunia kali ini tak beringsut perlahan, melainkan masif dan sangat cepat.

Awalnya digoncang revolusi digital dan “pemberontakan” melineal, kemudian covid-19 meluluh-lantakkannya.  Semua sektor, apalagi dunia bisnis, lebih khusus lagi MSDM.

Ahli manajemen terdiam. Belum sempat menganalisis apa yang sedang terjadi, tiba-tiba musuh sudah berdiri di depan pintu.  Semua “mati langkah”.

***

MSDM mencakup hampir semua aspek organisasi. Mulai dari penerimaan pegawai, kompetensi, sistem penggajian, hubungan industrial, penilaian kinerja dan masih banyak lagi. 

Proses-proses baku yang selama ini menjadi kompas para praktisi MSDM, tiba-tiba sulit diterapkan.

Semua proses-bisnis perlu direvisit agar sesuai dengan “zaman baru”. 

  • Jangan berharap proses yang dulu mencetak sukses, berulang kembali saat ini. 
  • Jangan bayangkan bisa keluar dari kebingungan dan meraih keberhasilan, jika mindset yang digenggam masih model lama dan teori yang dipegang sudah basi.
  • Jangan ajarkan teori lama kepada anak-buah, anak-didik atau anak-kandung. 

Itu jelas sia-sia.

“Dreaming, if you expect different result using the same approaches.” (Albert Einstein)

Kini mulai muncul suatu pendekatan yang bermanfaat untuk mencari bentuk baru dalam mengelola SDM, yaitu memahami “profession trait”. Kesamaan ciri atau sifat yang dimiliki oleh suatu profesi tertentu.

Tidak mudah. Pemahaman yang terbentuk diharapkan mampu membangun imajinasi guna merumuskan pengelolaan SDM yang lebih pas. Kemudian, menghubungkan titik-titik simpul yang berhasil ditangkap. Itu kegiatan yang kompleks.

“‘Connect the ‘dots’, can be used as a metaphor to illustrate an ability (or inability) to associate one idea with another, to find the ‘big picture’, or salient feature, in a mass of data”. (Steve Jobs)

Izinkanlah saya mencoba menjelaskannya dengan kisah ilustrasi.

Tak tahu nama lengkapnya, saya memanggilnya “Maman”. Laki-laki sekira 45 tahun, asal Garut menjadi tukang cukur langganan saya. Rapi dalam memotong rambut. Sikapnya correct  dan sopan. Sembari bekerja, sekali-kali Maman membuka diskusi dengan topik yang sedang viral. 

Singkat kata, Maman pantas dijuluki “tukang cukur profesional”.

***

Maman hanya seorang lulusan SD. Pada usia 14 tahun, sudah menjadi tukang potong rambut berbayar. Saat ini, service years-nya sudah 31 tahun. 

Bagaimana mungkin, belum akil-balik sudah terampil menjadi tukang cukur?

Maman pun mulai berkisah.

Usia 9 tahun, Maman mencoba menjadi tukang cukur. Masyakat sekitar mendukungnya.  Dua paman menjadi pelatihnya. Bapaknya sebagai mentor, tetangganya memberi semangat. Tak heran, dalam waktu 5 tahun, sang pemula sudah lulus dari kelas magang.

Itulah asal-muasal mengapa Garut melahirkan profesi tukang cukur andal.  Budaya dan masyarakatnya suportif.

Tak heran kalau banyak tukang cukur berasal dari Garut. Tukang cukur adalah Garut. Dan Garut identik dengan cukur. Ujung-ujungnya melahirkan perilaku yang serupa. 

Ada contoh lain, selain Garut dan tukang cukur.

Sekira tahun 1980, di lapangan minyak di Sumatera,  banyak operator berasal dari Blora. Pada zaman Belanda, orang Blora di datangkan karena mempunyai “traits” kerja keras, jujur, sederhana dan pantang menyerah. 

Saat ini, keluarga dan keturunan Blora masih banyak bermukim di daerah-daerah bekas operasi perminyakan.

Legenda bisa diperluas lagi. Tukang sate-ayam dari Madura, sate-kambing dari Tegal, RM Padang dari Sumatera Barat, sopir taksi Blue Bird (dulu) banyak orang Jawa.  

Beberapa lagi kisah yang layak dicatat. Seolah ada kaitan antara profesi dengan daerah asal. 

  • Antara pekerjaan dengan budaya. 
  • Antara keahlian dengan perilaku.

***

Relasi kait-mengait itu berlaku sebaliknya. Profesi melahirkan ciri atau sifat. 

  • Peragawati dikenali dari caranya berjalan. 
  • Pelaut kadung dicap kurang setia. 
  • Lambaian tangan pemain basket berbeda dengan badminton. 
  • Akuntan dikenal teliti.
  • Dokter mendahulukan kebersihan.
  • Insinyur menyukai angka-angka. 
  • Salesman cenderung suka mencari kompetitor dengan naluri “menaklukkan”. 
  • Pengelola MSDM biasanya kaku dan text book thinking.

Apa yg sebetulnya terjadi dibalik keunikan fenomena profession trait, belum banyak ahli MSDM yang menekuninya. Mencari benang merahnya  untuk mendapatkan pola pengembangan SDM yang lebih applicable.

Memaksakan penerapan yang lama hampir pasti keliru, mengembangkan yang baru, bisa jadi benar.

Kaidah “profession traits” dianggap mampu menggantikan cara lama yang macet karena pandemi. Hindari cara lama yang sudah obsolete, meski pernah berhasil mencetak juara di zaman dulu kala. 

Era disruption menyentil manusia. Pandemi menabok semuanya.

“Pandemi mengajarkan cara-cara baru. Sangat mahal bila kita kembali ke cara lama, ketika nanti pandemi mereda.”

@pmsusbandono

30 Agustus 2020

NO COMMENTS

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

Exit mobile version