Home BERITA Artikel Pencerah – The Second Chance, Ini Sungguh Kesempatan “Kedua”

Artikel Pencerah – The Second Chance, Ini Sungguh Kesempatan “Kedua”

0
Ilustrasi - Berjalan bergandengan tangan. (Ist)

APA jadinya, ketika masih anak-anak, masih belajar berjalan, lalu jatuh bangun; apabila ibu kita yang menuntun tidak mau memberi kesempatan kedua, ketiga, dan seterusnya untuk latihan berjalan?

Jawabnya, kita tidak akan pernah bisa berjalan.

Memberi kesempatan kedua dan seterusnya adalah tabiat khas karakter ibu atau orangtua kita; hingga dalam istilah pendidikan dinamai the second chance: sang pemberi kesempatan kedua untuk dari jatuh lalu berdiri lagi dan berjalan lagi.

Saulus menjadi Paulus

Untunglah kita punya contoh hidup dari Sang Pemberi kesempatan kedua yaitu Allah sendiri, pada pengalaman Saulus yang bertobat (Kisah Para rasul 9:1-19a).

Saulus harus dijatuhkan demi pendidikan sebagai rasul pewarta untuk orang non Yahudi oleh Allah sendiri di perjalanan Damaskus atau Damsyik. Ia dipanggil secara khusus, lalu tiga hari retret dan Tuhan mengutus Ananias membimbingnya sampai siap ‘sementara’ dalam kekhawatiran: bagaimana ini, musuh dan pemburu umat, kok akan dijadikan rasul?

Namun, renungan kita dalam kerja Roh Kudus pendek cerita: setelah menetap beberapa hari di Damaskus, benar-benar Paulus kini mewartakan Yesus di rumah-rumah ibadat dengan imannya bahwa Yesus adalah Anak Allah (Kisah Para rasul 9: 19b-20).

Di sini pemberian kesempatan dari Tuhan yang kedua dipertanyakan oleh umat dalam rumor tak memahami Tuhan sebagai Sang Pemberi kesempatan kedua.

Bahkan, ketika dari Damaskus Paulus akan dibunuh oleh orang-orang Yahudi, maka mulailah murid-muridnya mempercayai bahwa Tuhan memberi tugas khusus pewarta itu. Sehingga murid-murid menolongnya keluar selamat dari Damsyik.

Lalu, Paulus yang dulu Saulus bisa ke pusat jemaat awal yaitu Yerusalem. Tetapi semua takut, tidak dapat percaya bahwa Paulus adalah juga seorang murid.

Dalam situasi amat berat ini, akankah tampil manusiawi, seseorang yang berani keluar memecah “es kebekuan” untuk mewujudkan laku imannya; untuk seperti Tuhan yang telah memberi kesempatan kedua pada Paulus?

The second chance ini adalah Barnabas.

Menyelamatkan

Bacalah Kisah Para Rasul 9: 26-27 “Tetapi Barnabas menerima dia dan membawanya kepada rasul-rasul dan menceritakan kepada mereka, bagaimana Saulus melihat Tuhan di tengah jalan dan Tuhan berbicara dengan dia dan bagaimana keberaniannya mengajar di Damaskus (Damsyik) dalam nama Yesus.

Mengapa Barnabas tampil sebagai teladan sang pemberi kesempatan kedua kepada Saulus? Lagi-lagi jemaat awal Kisah Para Rasul mencatat mengesankan sebagai berikut: “Karena Barnabas adalah orang baik, penuh dengan Roh Kudus dan iman. Sejumlah orang dibawa (diantarkan oleh warta dan teladannya kepada Tuhan; Kisah Para Rasul 11: 24).

Sejak dari Yerusalem sampai Anthiokhia, di mana pertama kali murid-murid disebut Kristen (ayat 26), Barnabas dan Paulus menjadi pasangan tangguh pilihan Tuhan untuk mewartakan iman akan Yesus, bahkan saat warta iman melintas keluar dari Yerusalem untuk Seleukia, Siprus dan Pafos.

Juga secara khusus, Roh Kudus memanggil mereka untuk tugas ini. Untunglah kita mendapatkan the second chance kepanjangan tangan Sang Maha Pemberi kesempatan baru dalam diri Barnabas, bila tidak apa jadinya?

Ini pertanyaan yang didramatisasi tentunya, kita tidak mempunyai Paulus. Namun, lebih dahsyat lagi dalam menyimak soal kesempatan kedua ini dalam diri Barnabas si orang baik, penuh iman dan orang suci.

Karena Barnabas-lah, kita mempunyai penginjil dari komunitas Yerusalem yaitu Markus. Kisah narasinya adalah saat Barnabas dan Paulus sudah menjadi rasul pewarta Yesus adalah Tuhan, ikutlah Markus yang membantu mereka tak hanya kebutuhan harian, namun ternyata juga pencatat pewartaan Barnabas dan Paulus.

Terjadilah, suatu ketika, Markus yang masih muda ini saat ikut Paulus, pulang tanpa izin katakanlah demikian), namun ada kesalahan komunikasi hingga Paulus tak mau lagi mengajak Markus. Sebuah konflik ‘manusiawi’ antar rasul.

Dan konflik antara Paulus dan Barnabas yang tetap menerima Markus untuk menemaninya. Di sinilah Barnabas tidak hanya menjadi orang baik pemberi kesempatan kedua kepada Paulus saat-saat di Damsyik dan Yesrusalem.

Tetapi Barnabas juga benar-benar memberi kesempatan baru pada Markus karena kealpaan atau kesalahannya, sehingga kita mempunyai penulis Injil yaitu Markus.

Happy ending beda sikap dan konflik mereka di akhir Kisah Para rasul dicatat selesai dan Gereja Perdana hidup berkembang karena praktik mau memberiu ruang terbuka dan kesempatan bangun lagi, apabila ada kesalahan.

Saat awal dahulu, saya belajar berkotbah dengan tema ini dan menukikkannya dalam pengalaman retret-retret serta renung “Confiteor” – saya mengaku… di awal setiap ekaristi, saya mendapatkan garis sambungan dengan inti doa Bapa Kami yang mungkin rutin mulut kita berucap banyak.

Namun, butuh proses ini ditulis padat merangkum mengapanya. Yaitu, karena Barnabas beriman mendalam dan penuh oleh Roh Kudus, benang merah renung inilah yang menggugat perilaku nyata keberimanan. Dalam tindak mau belajar –seperti Tuhan sendiri– setiap kali memberi kesempatan kedua, ketiga dan seterusnya.

Saat manusia rendah hati mengakui dan bertobat. Sampai berap kalikah –tujuh puluh kali tujuh– alias terus belajar memberi kesempatan penuh ampun, kala sesama menjahati dan melakukan kesalahan.

Lagi dan lagi

Dalam beberapa kali syering pengalaman bersama, hampir tiap kita mengakui keterbatasan masing-masing. Namun terus berani hidup dalam Tuhan, karena yakin tangan Tuhan seperti ibu awal tadi. Yakni, selalu setia melatih anaknya, setiap kali jatuh dalam latihan berjalan.

Tiap orang mengakui bahwa Tuhan selalu memberi kesempatan lagi dan lagi. Namun, pengalaman sesama yang berbagi mengutarakan ada tidaknya keterbukaan hati beriman bahwa Tuhan adalah the second chances untuk kita.

Tiga kata

Di sini, ajakan sehari-hari Paus Fransiskus untuk mempraktikkan tak hanya ucapan (mengucapkan saja sulit sekali, karena kesombongan manusia, apalagi mau serius me-laku-kanya. Tiga kata yakni maaf, terimakasih, dan syukur.

Di balik ucapan yang sulit untuk tiga kata itu, terletaklah tantangan kerendahanhatian manusia kita yang bisa dilawankan dengan Tuhan yang berhadapan perempuan pendosa di Injil Yohanes; menanyai orang-orang yang mau merajamnya: siapa yang tidak pernah merasa berdosa, silahkan melemparkan batu ke perempuan ini?

Menarik lagi merenunginya, dalam mengantar kembali menghayati hidup sehari-hari setelah retret Latihan Rohani Ignatius Loyola, mengajak lebih dulu mohon kerendahan hati sampai tingkat ketiga untuk kemudian baru “bisa” ke tahap memohon dianugerahi kasih-Nya dalam kontemplasi untuk mendapatkan anugerah kasih Allah.

Memohon anugerah-rahmat cinta artinya memang manusiawi sulit. Maka butuh berkah kasih Allah sang pemberi kesempatan kedua dan selamanya, bila manusia mohon dengan rendah hati.

Lalu, Paus Fransiskus untuk zaman sekarang, masih mengajak mempratikkan ucapan terimakasih pada siapa pun juga yang melukai; atau memfitnah bahkan menjahati kita.

Itulah yang mengantar ke kesadaran untuk bersyukur; karena hidup anugerah-Nya yang paling bermakna karena kehidupan adalah detak-detik, kesempatan-kesempatan anugerah Tuhan untuk menapaki laku hidup dengan nafasnya.

Dalam laku syukur atas kehidupan inilah manusia paling meraskan anugerah nafas. Terutama di saat pandemi Covid-19 ini.

  • Betapa berharganya nafas, baru terasa ketika sesak nafas.
  • Betapa berharga hidup, ketika kita berdoa di hadapan jasad saudara atau siapa pun yang baru saja selesai menunaikan tugas hidupnya.

Kesempatan kedua bagi Arswendo

Almarhum Arswendo menulis ajakan untuk bresyukur ini dengan puisi Syukur Terus Tanpa Libur.

Tahun depan untuk setahun RIP Arswendo akan diluncurkan buku Bersyukur Tanpa Libur dengan share mereka yang disentuh almarhum semasa hidupnya di dunia literasi dan media sosial atau teve. Semua karena sumbernya adalah Arswendo sendiri mengalami anugerah kesempatan kedua dari Tuhan.

Barnabas orang baik, penuh Roh Kudus dan beriman mendalam. Semoga nama Barnabas menjadi nama-nama orang-orang beriman kita, karena saling memberi anugerah kesempatan kedua bagi sesamanya.

Karena iman akan Allah Sang Pemberi Agung, maa kesempatan-kesempatan bangkit lagi bagi kita sehingga praksis laku ini seperti di Antiokia, kita disebut sebagai orang-orang Kristen.

NO COMMENTS

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

Exit mobile version