APAKAH kebiasaan almarhum Didi Kempot mengenakan blangklon, hampir di setiap penampilannya, sekadar sebagai asesoris, gaya, ingin tampil beda, atau memiliki tujuan tertentu?
Blangkon yang ia kenakan adalah blangkon model Solo. Yakni blangkon yang tidak memiliki mondolan (tonjolan) di bagian belakang, seperti blangkon model Yogyakarta. Sebagai ganti mondolan di bagian belakang ada ikatan dua ujung kain di kanan kiri.
Menurut para cerdik cendekia budaya Jawa, ikatan ini melambangkan pengendalian diri, pengendalian nafsu. Ikatan itu juga melambangkan pertemuan antara mikrokosmos (jagad cilik) dan makrokosmos (jagad gedhe). Manusia sebagai jagad cilik merupakan bagian yang tak terpisahkan dari alam semesta sebagai jagad gedhe; bahkan dengan dunia serba gaib yakni alam roh.
Sebenarnya, pandangan seperti ini yang disebut konsep partisipasi adalah pandangan yang hidup pada masa prasejarah sebelum ada pengaruh Hinduisme. Namun, pandangan seperti itu masih hidup hingga kini.
Blangkon, karena itu, melambangkan jagad gedhe, sedangkan kepala adalah jagad cilik, yang tak terpisahkan dari jagad gedhe. Dengan mengenakan blangkon, orang ingin menegaskan bahwa hidup manusia tidak dapat dipisahkan dengan Hyang Hidup Kekal, Tuhan.
Oleh karena tidak dapat dipisahkan dengan Hyang Maha Hidup, maka homo solus particeps rationes et cogitationis, hanya manusia yang ikut ambil bagian dari nalar dan pikiran, kata Cicero (106 SM-43 SM) seorang negarawan Romawi. Inilah yang membedakan manusia dengan mahkluk-mahkluk ciptaan lainnya, seperti binatang.
Entah sengaja atau tidak, penampilan Didi Kempot melambangkan semua itu. Dengan penampilan seperti itu, Didi Kempot tidak hanya merepresentasikan dirinya sebagai seorang penyanyi. Dan juga bukan hanya sebagai seorang entertainer. Ia bahkan seorang pembawa pesan, sebagai pengingat bagaikan para pujangga di masa lalu.
Dengan lagu Ambyar, misalnya, ia tidak hanya berkisah tentang hati yang kecewa karena diingkari, hati yang menderita karena disakiti, hati yang hancur karena ditinggal kekasih.
Tetapi, ia ingin bicara tentang kondisi, situasi zaman yang memrihatinkan terutama kehidupan dan tatanan sosial masyarakat. Kondisi Indonesia tahun 2019, menjelang dan setelah pemilu presiden terpecah belah, dan bila diterus-teruskan negeri ini bisa ambyar.
Lebih dari itu, Didi Kempot sebagai orang yang bergerak dan berkecimpung dalam seni terutama seni budaya Jawa yang ingin terus menghidup-hidupi dan mempertahankan budaya Jawa, lewat lagu-lagu berbahasa Jawa, merasakan semakin tersisihkannya budaya Jawa (bahkan budaya nasional). Ini sesuatu yang sangat membahayakan. Ia melihat lampu merah sudah berkedip-kedip. Ia mendengar dentang lonceng tanda peringatan akan bahaya.
Sejarah menceritakan, situasi semacam ini pernah terjadi menjelang dan setelah Perang Jawa atau Perang Diponegoro (1825-1830). Sejarah Perang Diponegoro juga dilatarbelakangi oleh budaya serta adat Keraton Yogyakarta yang mengalami pergeseran ke budaya Barat akibat pengaruh datangnya bangsa Eropa. Dalam arti, nilai dan norma sosial yang diterapkan keraton sebagai pusat budaya, tidak lagi berakar pada budaya dan adat lokal melainkan nilai dan norma sosial Barat.
Kondisi seperti itu, juga terjadi di Keraton Surakarta, yang dulu ditangkap oleh pujangga Keraton Surakarta, Raden Ngabehi Ranggawarsita (1802-1873). Pujangga besar yang disebut as the coping stone of Javanese writers, sebagai pujangga penutup ini mengungkapkan perasaan dan tangkapan mata hatinya dalam kitab-kitab jangka atau ramalan yang sangat terkenal yakni Serat Pranitiwakya Jangka Jayabaya atau biasa disebut Jangka Jayabaya dan Jaka Lodhang.
Kitab-kitab jangka (ramalan) tersebut menumbuhkan harapan-harapan akan kedatangan juru pembebas dan akan kembalinya masa keemasan bagi bangsa Jawa. Karena itu, merupakan pelipur lara yang menyelamatkan bangsa Jawa dari kehancuran mental dan keputusasaan yang tidak berkesudahan (Simuh, 2016). Ini menegaskan betapa pentingnya budaya Jawa bagi keberlangsungan sebuah bangsa.
Dalam konteks nasional, tentu pentingnya budaya nasional bagi keberlangsungan bangsa.
Daniel Dhakidae dalam catatan kecil yang dikirimkan lewat WA menyebut kebudayaan Jawa sebagai The Last Ditch Defense terhadap kebudayaan asing. Kata last ditch dalam terminologi militer abad ketujuh-belas, diartikan—“parit terakhir” itu–sebagai garis pertahanan terakhir. Kata-kata itu dulu diucapkan oleh raja Belanda William Orange (1650-1702) ketika diminta untuk menyerah kepada Raja Perancis Louis XIV yang menyerang Belanda pada tahun 1672. Ketika itu William mengatakan, “No. I mean to die in the last ditch.”
Dengan menjebut kebudayaan Jawa sebagai The Last Ditch Defense, ini berarti menekankan pentingnya kebudayaan Jawa. Runtuhnya kebudayaan Jawa karena masuknya kebudayaan dan dominasi kebudayaan asing, akan berakibat pada runtuhnya budaya nasional.
Itulah sebabnya, dalam setiap pentasnya, Didi Kempot selalu berteriak, “Wong Jawa aja lali jawane.”
Apakah itu hanya berlaku bagi orang Jawa saja? Tidak!
Teriakan Didi Kempot atau bahkan peringatan keras berlaku bagi semua suku bangsa di negeri. Semua –apakah itu Sunda, Madura, Batak, Manado, Bali, Bugis, Dayak, Papua, Ambon, Sasak, Aceh, dan lainnya yang bersatu membangun budaya nasional—diajak untuk tidak melupakan apalagi meninggalkan budaya asli, budaya sendiri dan memeluk budaya asing.
Kalau bangsa ini meninggalkan budaya sendiri, budaya nasional, dan membiarkan budaya asing masuk, tumbuh, dan berkembang, maka ambyar-lah budaya negeri ini dan ambyar pula negeri ini, karena hilang identitas nasionalnya.
Dalam artian ini, Didi Kempot adalah seorang tokoh fenomenal. Begitu komentar Daniel Dhakidae.
Didi Kempot tidak sekadar sebagai seorang penyanyi maupun entertainer, tetapi benar-benar pembawa pesan. Kepergiannya yang terlalu cepat, pada usia 53 tahun, sungguh berarti kehilangan sangat besar untuk Indonesia dan terlebih untuk Jawa.
Tentu penyelamatan sebuah budaya bangsa, tidak cukup dilakukan oleh satu orang saja, oleh seorang Didi Kempot saja. Walaupun, ia mampu membangun sebuah “Komunitas Ambyar” yang begitu kokoh, kuat, dalam kebersamaan.
Didi Kempot berhasil membentuk “Komunitas Ambyar” yang lewat caranya tersendiri mempertahankan, nguri-uri, memelihara dan menghidup-hidupi budaya Jawa, yang pada gilirannya diharapkan akan menular ke budaya-budaya asli nusantara yang lain.
Komunitas adalah kehidupan. Dari situlah asal kemampuan manusia untuk bertahan hidup. Seperti itulah keadaannya ketika manusia masih hidup di gua-gua. Dan, masih tetap penting hingga sekarang. Karena itu, adanya “Komunitas Ambyar” adalah salah satu cara untuk terus menghidup-hidupi budaya. Karena kebersamaan akan menjadi kekuatan yang maha dahsyat untuk menghadapi serangan dari luar yang ganas.
Karena tidak cukup “hanya” seorang Didi Kempot saja, berarti diperlukan orang lain, kelompok lain, komunitas lain, lembaga lain yang mau ambyur—mencemplungkan diri ke dalam air—atau terlibat langsung, ikut basah. Sama halnya dalam usaha memutus mata-rantai penyebaran pandemi Covid-19, dibutuhkan keterlibatan semua pihak, tidak hanya pemerintah saja.
Semua pihak harus ikut ambyur. Semua lapisan masyarakat tanpa kecuali, harus bersama-sama memutus mata-rantai penyebaran pandemic Covid-19, termasuk dengan cara yang paling mudah mentaati keputusan politik pemerintah untuk tidak mudik, untuk tidak pulang ke kampung, dan tetap tinggal di rumah.
Dalam konteks budaya Ki Hajar Dewantara pernah menyatakan bahwa kebudayaan nasional Indonesia adalah puncak-puncak kebudayaan daerah. Karena itu memelihara dan mempertahankan kebudayaan daerah adalah sangat penting demi tetap hidup dan berlangsungnya kebudayaan nasional.
Sekarang, misalnya, muncul perkumpulan Perempuan Berkebaya Indonesia (PBI) dan komunitas kebaya lainnya, tentu bertujuan untuk tetap mempertahankan kebaya sebagai pakaian nasional Indonesia.
Ini sebuah contoh kecil partisipasi masyarakat mempertahankan identitas nasional. Bentuk lain, sebelum pandemi Covid-19 munculnya flash mob.
Misalnya, flash mob “Beksan Wanara” yang ditampilkan di area Jalan Malioboro, Yogyakarta yang kemudian muncul di mana-mana yang mendapat sambutan masyarakat penuh gairah. Hal itu paling tidak menggambarkan bahwa apresiasi masyarakat terhadap kesenian tradisi masih cukup tinggi.
Bukankah flash mob tidak berhasil kalau yang ambyur hanya satu orang. Tetapi, ketika banyak penari terlibat dan bahkan penonton tanpa ragu-ragu, tanpa malu-malu ikut ambyur, ikut serta menjadi penari tanpa perlu memakai kostum sebagaimana mestinya, maka pesan yang disampaikan sampai. Itulah yang harus dilakukan.
Dalam konteks yang lebih besar bagi penyelamatan kebudayaan nasional, identitas nasional—juga saat ini dalam memerangi Covid-19–keterlibatan semua pihak sangat penting. Sebab keterlibatan semua pihak itu, akan menentukan, menjadi kunci keberhasilan perjuangan.
Semua harus ikut ambyur ben ora ambyar.