TAHUN lalu,3,7 juta wisatawan mengunjungi Hagia Sophia, yang dalam bahasa Turki disebut Ayasofya. Tak berlebihan kalau dikatakan bahwa Hagia Sophia adalah simbol bagi Istanbul dan juga Turki yang sangat menarik bagi para wisatawan.
Tetapi, Hagia Sophia, yang pada tahun 1985 oleh UNESCO dijadikan sebagai situs Warisan Dunia, bukan hanya simbol pariwisata, melainkan juga merupakan simbol politik.
Bagunan megah, monumental yang dibangun pada abad ke-6 (532-537) atas perintah Kaisar Justinian I, penguasa Emperium Romanum Timur (Kekaisaran Romawi Timur) ini, dimaksudkan untuk menjadi sebuah gereja. Karena itu, Hagia Sophia juga disebut Gereja Kebijaksanaan Suci atau Gereja Kebijaksanaan Ilahi.
Setelah digunakan sesuai tujuan pembangunannya yakni sebagai gereja dan menjadi jantung dan ikon Gereja Katolik Ortodoks Timur selama 916 tahun, Hagia Sophia digunakan sebagai masjid.
Ini terjadi setelah Istanbul, pusat kekuasaan Kekaisaran Romawi Timur ditaklukkan dan direbut oleh sultan ketujuh Kekhalifahan Utsmaniyah (Kesultanan Ottoman) Mehmet II, 29 Mei 1453.
Pada hari Jumat, 1 Juni 1453, untuk pertama kali Sultan Mehmet II, melakukan sholat di Hagia Sophia.
Dan sejak itu, Hagia Sophia menjadi “Simbol Penaklukan.” Mulai saat itu, Hagia Sophia seakan mewakili ketegangan selama berabad-abad antara umat Kristen dan Islam.
Karena itu, Kemal Atatürk mengambil langkah untuk “menetralisasi” ketegangan dan juga konflik.
Pemerintah Mustafa Kemal Atatürk–Presiden pertama Turki dan juga Bapak Bangsa Republik Turki–pada 24 November 1934 mengeluarkan dekrit yang mengubah Hagia Sophia dari masjid menjadi museum untuk menyatukan harta warisan warisan Kristen dan Muslim secara berdampingan.
Sebenarnya, selama abad pertengahan adalah biasa praktik penaklukan di mana-mana mengubah tempat-tempat ibadah pihak yang kalah menjadi tempat ibadah bagi yang menang. Ada sejumlah contoh di mana gereja diubah menjadi masjid, dan sebaliknya masjid diubah menjadi gereja.
Hagia Sophia adalah salah satu contohnya.
Kemal Atartürk, pendiri Turki moderen yang sekuler, mengubah status Hagia Sophia dari masjid menjadi museum—sebagai monumen bagi semua peradaban–menyimbulkan status baru Turki sebagai masyarakat sekular model Barat moderen (Dorian Jones-VOA). Simbol modernitas.
Dengan mengubah Hagia Sophia dari masjid menjadi museum, Kemal Atatürk memulihkan sejarah. Tindakan itu juga memperkuat posisi Istanbul sebagai kota di mana kebudayaan dan iman yang berbeda dapat hidup berdampingan secara damai.
Selama 86 tahun, simbol-simbol Islam dan Kristen hidup berdampingan secara harmonis di dalam Hagia Sophia.
Di sana ada pertemuan arsitektur Byzantium dan Ottoman, harmonis. Meskipun, sejak saat itu, 1935, kaum nasionalis konservatif dan Islamis, terus berusaha untuk mengubah keputusan pemerintah Atartürk itu dan mengembalikan status Hagia Sophia seperti semula (Nicholas Danforth, Apollo, 4 April 2019).
Sejak Hagia Sophia dijadikan museum para Islamis politik di Turki merasakan luka yang mandalam. Mereka juga menganggap museum Hagia Sophia sebagai simbol penindasan terhadap mereka dari para elite sekuler.
Pada 1950-an dan 1960-an, rencana untuk mengubah kembali bangunan menjadi masjid telah menjadi kartu politik yang kuat bagi para Islamis politik dan nasionalis Muslim.
Dan, pada akhirnya harapan kaum kaum nasionalis konservatif dan Islamis (yang sebenarnya juga merupakan harapan Presiden Recep Tayyib Erdoğan), terwujud. Hal itu terjadi setelah pada hari Jumat, 10 Juli 2020, Erdoğan menandatangani dekrit yang menyatakan Hagia Sophia menjadi masjid kembali.
Penandatanganan dilakukan beberapa jam setelah pengadilan membatalkan dekrit yang dikeluarkan pemerintah Kemal Atatürk, 1934.
Pembatalan Dekrit 1934 merealisasi impian lama para pendukung Erdoğan, dan impiannya sendiri.
Warisan Atartürk
Museum Ataturk, di dalamnya ada mausoleum Ataturk di Ankara.
Ketika Kemal Atatürk memutuskan untuk menjadikan Hagia Sophia sebagai museum, alasan yang digunakan bukan untuk memajukan pariwisata Turki, melainkan sekularisme Turki.
Ia mengirimkan pesan jelas: Turki moderen sekuler, moderen, dan Barat—yang membedakan dengan masa sebelumnya.
Sekularisasi adalah tujuan utama kaum Kemalis.
Oleh karena itu, Revolusi Turki pimpinan Kemal Atatürk dimaksudkan untuk mendekonstruksi rezim lama (Ottoman) dan membangun sebuah nation-state (negara bangsa) baru.
Gulce Tarhan (2001) berpendapat bahwa nasionalisasi dan modernisasi menjadi sasaran utama Kemalis yang berkeinginan menggantikan struktur sosial lama dengan struktur sosial kontemporer yang sama dengan negara-negara Eropa (Trias Kuncahyono, 2018).
Mereka ingin mendirikan sebuah laikik nation state (negara-bangsa yang menganut paham sekularisme) lewat revolusi top-down yang dipimpin para elite negara. Gagasan-gagasan mereka dicirikan oleh anti-klerikalisme, rasionalisme, elitisme intelektual, dan nasionalisme.
Hal itu sama dengan kaum Jacobin di dalam Revolusi Perancis. Juga sama dengan di Perancis, ancient regime di Turki “didasarkan pada perkawinan antara monarki lama dan hegemoni religius yang dirasakan oleh elite sebagai rintangan terhadap rezim rebulik baru” (Ahmed T Kuru, 2009).
Roh revolusi adalah ideologi Kemalisme yang dikenal dengan nama six arrows of Kemalism, yakni republikanisme, nasionalisme, populisme, statisme, sekularisme, dan revolusionalisme.
Sekularisme—yang pengertian formalnya adalah pemisahan agama dari politik—didasarkan pada laicism Jacobin (sebuah gerakan politik revolusioner yang sangat terkenal di zaman Revolusi Perancis, 1789-1799) radikal yang bertujuan mengubah masyarakat melalui kekuasaan negara dan mengeliminasi agama dari lingkungan publik.
Kemal Atatürk mengusahakan sekularisme sebagai prinsip modernisasi. Selain itu juga sebagai gagasan progresif yang tidak hanya mencakup kehidupan pemerintahan dan politik, tetapi seluruh lingkungan sosial dan kultural, yang dalam dasarnya, didominasi oleh takhayul, dogma, dan kebodohan.
Faktor-faktor tersebut, menurut Kemal Atatürk, menghalangi bangsa Turki menjadi bangsa modern dan makmur.
Namun sejak semula diberlakukan, sekularisme tidak pernah menjadi dogma baru atau agama baru yang menggantikan Islam. Jadi pada dasarnya, gerakan sekularisme di Turki tampaknya terutama sebagai dorongan anti-klerikal, sebuah protes pada tirani fanatisme agama (Bülent Daver, 1998).
Kemal Atatürk percaya bahwa untuk menjadi negara dan bangsa modern yang berhasil, Turki harus memutus ikatan agama yang dilembagakan dan mengembangkan sebuah negara sekuler, sebagai penggantinya.
Ia dan pemerintahannya mengeksekusi sekularisasi ini melalui serangkaian kebijakan baru, termasuk penghapusan kekhalifahan dan sultan, melalui Konstitusi 1924.
Dalam hasil studi yang dilakukan Harfield School of Government: Center for Turkish Studies disebutkan bahwa sekularisme Kemalis tidak semata-mata berarti pemisahan negara dan agama, tetapi juga pemisahan agama dari masalah-masalah pendidikan, budaya, dan hukum.
Prinsip läicite Kemalis tidak menganjurkan ateisme, tetapi sekularisme rasionalis, anti-klerikal; tidak menentang pencerahan Islam, tetapi menentang yang menghambat modernisasi.
Semua reformasi selama periode pertumbuhan Republik Turki dimaksudkan untuk meruntuhkan warisan pengaruh sosial, politik, dan kultural Ottoman. Tujuannya adalah mendirikan kerangka modern dan sekuler bagi nation Turki baru.
Dengan demikian jelas, bahwa tujuan Kemal Atatürk adalah mendirikan Turki sebagai negara-bangsa yang terhormat, berdasarkan model Barat, dengan kekuatan ekonomi dan militer yang cukup mempertahankan negara-bangsa baru itu.
Di antara langkah-langkah reformasi yang dilakukan itu antara lain mensekularisasi Hagia Sophia dengan menjadikannya sebagai museum.
Ini selaras dengan kebijakan sekularisnya. Sejak saat itu, Hagia Sophia menjadi saksi koeksistensi Islam dan Kristen di Turki modern yang didirikan Kemal Atatürk.
Kemal Atatürk meyakini bahwa hanya sekularisme sebagai prinsip modernisasilah yang akan membawa rakyat Turki menjadi bangsa modern dan makmur.
Selain memperkuat sekularisme, Kemal Atatürk membangun demokrasi yang kokoh dan Konstitusi yang menempatkan tentara sebagai pelindung demokrasi ini.
Turki melepaskan karakter Ottomannya dan menyeberang ke modernitas Eropa, termasuk kesetaraan hak antara pria dan wanita dalam hukum, dalam politik, dan dalam kehidupan sosial.
Karena itu, Turki dicatat sebagai negara Muslim pertama yang menyatakan sebagai negara sekuler.
Senjata pamungkas
Dalam tradisi politik Islamis Erdoğan dan partainya, Partai Pembangunan dan Keadilan (AKP), eksperimen Kemal Atatürk dalam pemerintah republik sekular dipandang sebagai sebuah pemaksaan asing terhadap Turki. Dan, status Hagia Sophia sebagai museum memasung semangat negara.
Karena itu, menurut Selim Koru dalam artikelnya di New York Times (14/7), rekonversi Hagia Sophia menjadi masjid adalah impian lama Islamis Turki.
Misalnya, pada tahun 2005, sebuah NGO “Association for the Service of the Historical Foundations and the Environment” mengajukan gugatan pada Dewan Negara yakni pengadilan administrasi tinggi Turki, dengan tuntutan pengembalian fungsi Hagia Sophia sebagai masjid. Tetapi, gugatan tersebut, menurut kantor berita Turki Anadolu, ditolak pada tahun 2008.
NGO yang sama, pada tahun 2016 mengajukan gugatan lagi terhadap kasus yang sama, dengan menyatakan kebebasan agama dilanggar. Tetapi, Mahkamah Agung menolak gugatan tersebut. Akan tetapi, pada akhirnya bulan Juli 2020, impian itu terlaksana, setelah sebuah NGO yang berafiliasi dengan partai yang berkuasa, AKP, mengajukan gugatan.
Yang dilakukan NGO tersebut adalah aspirasi AKP dan Erdoğan.
Menurut Dimitris Triantaphyllou dari Kadir Has University, Kabul (Spectator 15/7), “Sejak tahun 2002—ketika Erdoğan dan AKP mulai berkuasa— Erdoğan telah fokus pada perubahan landscape negaranya.
Ia ingin menciptakan Turki baru, yang merupakan sebuah sintesa dari elemen-elemen sangat ekstrem, anti-Barat Kemalis dan sesuai dengan ideologinya.”
Tahun lalu dalam kampanye pemilu lokal, Erdoğan mengatakan, “Kalian tahu, mereka mengubah Hagia Sophia dari masjid menjadi museum beberapa waktu lalu. Insya Allah, setelah pemilu, kita akan mengubah Hagia Sophia menjadi masjid lagi” (Dorian Jones/VOA).
Karena itu, menurut Wali Kota Istanbul Ekrem Imamoglu, yang dilakukan Erdoğan saat ini terhadap Hagia Sophia sesuai dengan tujuan politik yang telah lama diperjuangkan, antara lain, penolakan terhadap nasionalisme sekuler Kemal Atatürk. Hal itu dilakukan sepanjang karirnya.
“Sayang sekali, kami tidak sekuler lagi,” kata Orhan Pamuk, novelis Turki penerima Hadiah Nobel Sastra 2006 kepada BBC.
Kini dengan sakralisasi Hagia Sophia, yang telah disekularisasi oleh Kemal Atatürk pada tahun 1934, maka Erdoğan dan juga AKP, tidak dapat lagi berpura-pura; menutup-nutupi impiannya. Turki kini lebih merupakan ekspresi gagasan, ideologi Erdoğan ketimbang Kemal Atatürk.
Bukan tidak mungkin tindakan Erdoğan yang sering disebut sebagai revivalis Ottoman tersebut akan meningkatkan benturan antara mereka yang menginginkan Turki tetap sekuler dan kaum konservatif yang mendukung keinginan Erdoğan.
Sebab, menurut Soner Cagaptay, Erdoğan ingin menyingkirkan Turki tidak hanya dari warisan Atatürk, tetapi juga dari mendiang Kekaisaran Ottoman yang kebarat-baratan (Washington Institute, 14/2/2016). Sementara itu, hingga saat ini, Turki masih tetap anggota NATO, dan tetap berusaha untuk menjadi anggota Uni Eropa.
Soner Cagaptay berpendapat bahwa apa yang dilakukan Erdoğan adalah langkah lain dalam usaha mengesankan “branding Islam konservatifnya” berhadapan langsung dengan revolusi sekuler Kemal Atatürk.
Hal itu sekarang dilakukan sebagai persiapan untuk menggalang dukungan dari para pemilih nasionalis konservatif dan koalisi nasionalisnya menjelang pemilu sela yang akan dilaksanakan tahun depan—menurut agenda pemilu untuk memilih presiden dan 600 anggota parlemen akan dilaksanakan tahun 2023.
Apalagi, situasi perekonomian Turki sekarang tidak menguntungkan, ditambah lagi dengan sapuan wabah pandemi Covid-19, juga keterliban Turki di Suriah dan Libya.
Menurut survei yang dilakukan sebuah lembaga riset independen, MetroPoll Arastirma, dukungan terhadap AKP turun, meski sedikit.
Dari Januari hingga Maret, popularitas AKP stabil, dengan 33,7 persen orang mengatakan akan memilih AKP, jika pemilu dilaksanakan saat itu. Tetapi, pada bulan Juni dukungan turun menjadi 30,3 persen. Jajak pendapat pada bulan Mei, “hanya” 30,7 persen responden mengatakan akan memilih AKP saat itu.
Maka itu, untuk mendongkrak dukungan, Erdoğan dan AKP menggunakan “senjata” pamungkas yakni agama. “Senjata” pamungkas itu digunakan Erdoğan dan AKP, mengingat, selama ini terjadi pertarungan antara kelompok sekular dan religius.
Penduduk di kawasan tengan Turki dan bagian timur pada umumnya lebih agamis dan konservatif, sementara di wilayah pantai dan kota-kota besar cenderung lebih liberal.
Maka, kebijakan atas Hagia Sophia untuk mengamankan suara dari kaum religius dan nasionalis.
Pada ujungnya, nafsu kekuasaan, kepentingan politik-lah yang menjadi pendorong utama kebijakan Erdoğan berkait dengan Hagia Sophia, bukan semangat keagamaan. Walaupun menggunakan simbol-simbol keagamaan.