Artikel Politik: Dua Ribu, Dua Puluh Satu

0
311 views
Loncatan menuju tahun 2021 (Winnipeg Free Press)

Pertama

Tahun 2020 ditutup dengan peristiwa politik dramatik. Ibarat balap mobil, putaran terakhir berujung pada sebuah tikungan tajam dan buntu: Presiden Jokowi melantik mantan kandidat wakil presiden pada Pemilu 2019—Sandiaga  Salahuddin Uno—menjadi Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif. Dan, pelarangan serta pembubaran FPI.

Bergabungnya Sandiaga Uno ini melengkapi mirabilia, keajaiban politik, yang terjadi pada akhir pemilu. Ketika itu, mantan kandidat presiden, Prabowo Subianto dan Partai Gerindra masuk dalam kabinet Jokowi.

Langkah kaki Sandiaga Uno mengikuti  ayunan langkah kaki Prabowo Subianto.

Layar panggung politik Pemilu 2019 diturunkan. Ceritanya berakhir sampai di sini. Inilah Annus Mirabilis, tahun mukjizat, tahun yang mengagumkan, tahun yang ajaib, tahun yang aneh. Meskipun negeri ini—juga negara-negara lain di berbagai sudut dunia—dicengkeram oleh pandemi Covid-19 yang menelan korban jiwa demikian banyak; dan menghancurkan perekonomian dunia.

Politik memang selalu penuh kejutan. Politik tidak selalu berjalan linear. Untuk mendapatkan jumlah empat, tidak harus selalu dua ditambah dua; bisa tiga ditambah satu, bisa lima dikurangi satu, bisa pula delapan dibagi dua.

Pendek kata, segala kemungkinan bisa terjadi. Maka itu, ada berbagai ragam definisi politik.

Ada yang mendefinisikan politik adalah proses pembentukan dan pembagian kekuasaan dalam masyarakat.

Definisi lain, politik adalah upaya atau cara untuk memperoleh sesuatu yang dikehendaki. Sementara Harold D. Laswell dan A. Kaplan dalam Power Society: menegaskan bahwa “politik adalah masalah siapa, mendapat apa, kapan, dan bagaimana.”

Itulah politik. Bahwa ada yang kecewa dari “ujung dari putaran terakhir itu?” Ya, pasti. Ada pro dan kontra dari kedua belah pihak. “Untuk apa berdarah-darah dalam pemilu, kalau ujungnya seperti itu.”

Begitu salah satu keluhannya.

Memang, Pemilu 2019 telah mengubah tahun yang semestinya menjadi “tahun pesta demokrasi”; tahun “perayaan perbedaan” menjadi annus horribilis, tahun yang mengerikan, menakutkan, menggetarkan, seram, keji, dan keras.

Menjelang, selama, dan setelah Pemilu 2019, negeri ini seperti diselimuti awan hitam, awan kegelapan. Bayang-bayang perpecahan karena kepentingan politik dari hari ke hari rasanya semakin jelas.

Apalagi kalau mendengarkan perkataan dan pernyataan para elite politik, para tokoh (juga yang ditokohkan atau merasa dirinya tokoh) politik, sungguh seolah hanya kibasan “tongkat sakti” saja yang bisa menyelamatkan negeri ini.  

Tidak berlebihan, kalau Pemilu 2019 akan dicatat dalam buku besar sejarah bangsa dengan tinta hitam legam sebagai pemilu yang menimbulkan perbenturan demikian keras sesama anak bangsa.

Pertarungan demikian keras, tajam, bahkan kasar. Berbagai narasi politik yang membuat telinga dan hati panas, berbagai ragam ujaran kebencian, berbagai bentuk berita hoaks, berbagai warna cercaan bernuansa sektarian, dan berbagai tindakan intoleran bertumpah ruah, membanjiri negeri ini lewat media sosial.

Pesta demokrasi tak lebih dari menghamburkan kata-kata sekadar untuk memfitnah dan mencerca pihak lain. Kebebasan berpendapat dan bersuara yang dijamin oleh demokrasi telah menjadi kampanye hitam disebar-luaskan.

Urusan bangsa yang sangat besar dan penting, telah dijadikan sebagai urusan personal. Berpolitik semata-mata untuk memburu kepentingan diri, kepentingan kelompok, kepentingan golongan sendiri, bahkan kepentingan keluarga.

Celakanya lagi, semua itu justru dilakukan oleh mereka yang selama ini dipandang sebagai yang melek politik, yang dianggap memiliki kesadaran tinggi akan demokrasi, yang dijadikan panutan, dan yang suaranya didengar.

Mereka justru bersuara sumbang. Mereka justru ikut menebarkan paku-paku tajam yang merobek-robek sulaman indah kebhinekaan.

Tetapi, “tikungan tajam yang berujung di jalan buntu” itu menegaskan bahwa politik memang drama karakter dan keadaan yang tidak ada habisnya (Andrew Gamble, 2019); yang tidak ada akhirnya.

Kedua

Ilustrasi: Istimewa

Ada yang mengatakan, selama politik diartikan sebagai “kegiatan dimana orang bernegosiasi, berkolaborasi, dan bekerja sama untuk ‘How to get the power’?”, maka jangan harap akan tercipta ketentraman, perdamaian, dan persahabatan serta persaudaraan sejati.

Mengapa? Karena prinsip yang pertama-tama akan dipegang dan dijunjung tinggi dalam berpolitik adalah seperti yang diungkapkan dalam bahasa Latin, Hostis aut amicus non est in aeternum; commoda sua sunt in aternum— “lawan atau kawan itu tidak ada yang abadi; yang abadi hanyalah kepentingan.”

Dan, Lord Palmerston (1784-1865) merumuskan menjadi: “tidak ada kawan dan lawan abadi, yang ada adalah kepentingan.”

Maka, seperti di atas sudah disebut bahwa kini berpolitik itu lebih berurusan dengan siapa mendapatkan apa, kapan, dan bagaimana cara mendapatkannya. Benar sekali adagium di atas. Banyak kali peristiwa politik membuktikan adagium tersebut.

 Apa yang terjadi pada bulan Mei 1998, ketika situasi demikian genting, bisa menjadi salah satu contoh bahwa “tidak ada kawan dan lawan yang abadi yang abadi adalah kepentingan.”

Ketika itu, sejumlah menteri meninggalkan Soeharto; dan tindakan mereka ikut mempercepat berakhirnya kekuasaan Soeharto yang sudah bertahan tiga dasawarsa.

Maka orang akan mengatakan, politik bisa menjadi kejam.  Apalagi kalau sudah menyangkut kekuasaan; bagaimana mendapatkan, mempertahankan, dan memperbesar kekuasaan.

Maka, dalam bahasa Niccolo Machiavelli, terjadilah penghalalan segala cara. Pada saat itu, kesetiaan hilang.

Dalam perspektif ini, politik dipandang sebagai tindakan yang tidak berprinsip, tidak dapat dipercaya, atau tidak jujur, tipu daya.

Ini sama dengan peperangan. Tujuan akhir sebuah peperangan adalah merebut kemenangan.

Demikian pula dalam berpolitik, kemenangan yang ingin menjadi tujuan akhir. Kemenangan itu akan membawa kekuasaan. Tidak ada satu pihak pun yang mau menderita kekalahan. Karena itu, segala cara dilakukan untuk mewujudkan kemenangan itu.

Itulah politik riil, di mana pertarungan untuk mendapatkan kekuasaan menjadi yang pertama dan utama. Tentu pengertian politik seperti tersebut di atas sangat berbeda dengan pengertian yang disodorkan oleh Franz Magnis-Suseno.

Menurut Franz Magnis-Suseno politik adalah segala kegiatan manusia yang berorientasi kepada masyarakat secara keseluruhan, atau yang berorientasi kepada negara.

Sebuah keputusan disebut keputusan politik apabila diambil dengan memperhatikan kepentingan masyarakat sebagai keseluruhan. Suatu tindakan harus disebut politis apabila menyangkut masyarakat sebagai keseluruhan.

Dengan demikian, tujuan akhir dari kegiatan politik adalah untuk kepentingan masyarakat banyak. Itulah karenanya, tujuan politik dimaksudkan untuk terciptanya kemaslahatan bersama, kemakmuran masyarakat secara keseluruhan, yang juga sering disebut sebagai bonum commune.

Ketiga

Ilustrasi: Istimewa

Kalau berhentinya balapan secara tak terduga di “tikungan tajam yang berujung di jalan buntu” adalah untuk bonum commune, tentu itu yang diharapkan.

Bila hal itu benar-benar terjadi—sebagai tujuan pertama dan utama—maka  mulai tahun 2021 ini rakyat sedikit boleh mulai berharap akan menikmati ketentraman, tidak diharu-biru oleh “celotehan-celotehan” yang disuarakan oleh para “pemain politik” yang suka menggunakan topeng beraneka wajah berbeda.

(Ada yang mengenakan topeng berwajah menggelikan, lucu; ada yang menyebalkan; ada yang menjijikan; ada menakutkan; ada yang kelihatan bijak; ada yang kelihatan alim dan saleh; tetapi ada juga yang sungguh-sungguh memuakan).

Hilangnya—atau sekurang-kurangnya, samar-samarnya, sayup-sayupnya—hiruk-pikuk, kebisingan politik akan sangat berguna dalam memenangi “perang” melawan pandemi Covid-19, yang akan berimplikasi positif bagi banyak bidang kehidupan. Sudah begitu banyak persoalan yang dihadapi bangsa ini—termasuk yang paling berat adalah soal toleransi antar-umat beragama, soal kebhinekaan.

Maka, kalau ditambah dengan “celotehan-celotehan” para “pemain politik” yang sekadar mencari popularitas, bangsa ini tidak akan pernah beranjak maju, hanya berputar-putar dari itu ke itu saja.

Sementara bangsa lain sudah lari tunggang langgang menuju cakrawala baru.

Tetapi, seperti diingatkan oleh Andrew Gamble bahwa politik sebagai suatu kegiatan selalu memiliki hubungan yang sulit dengan kebenaran.

Maka itu benar adagium “tidak ada kawan dan lawan yang abadi, yang ada adalah kepentingan.” Itulah sebab ada nasihat bijak, “hati-hatilah, jangan mempercayai seorang teman, kecuali kalau engkau sudah mengujinya.”

Mengapa demikian? Karena, “selama periuk masih panas, persahabatan tetap hidup.”

Sama seperti yang dikatakan oleh Cicero (106-43 SM) seorang filosof Romawi, “Amicus certus in re, incerta cernitur”—sahabat yang sejati dikenal di saat-saat sulit.

Jadi, bukan dikenal ketika pesta sudah usai, kursi sudah ditumpuk dimasukkan ke gudang, tenda sudah gulung, hiasan dicopot semua, piring-piring dan gelas dicuci, dan orang pulang ke rumah masing-masing.

Semoga tidak demikian. Karena, kita semua berharap bahwa tahun 2021 benar-benar akan menjadi Annus Mirabilis, tahun mukjizat, tahun yang mengagumkan, tahun yang ajaib, seajaib berhentinya balapan secara tak terduga di “tikungan tajam yang berujung di jalan buntu.”

Sekurang-kurangnya, keajaiban itu bertahan hingga tahun 2023 menjelang  saat datangnya Tahun Politik, tahun yang cenderung memberikan hawa untuk mencari menang-menangan, yang cenderung menghalalkan segala cara demi kemenangan, demi kekuasaan lagi.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here