APAKAH karena pernah disusui oleh seekor serigala, Romulus tega membunuh saudaranya sendiri, Remus? Ada darah serigala mengalir dalam tubuh mereka.
Barangkali dari sinilah Titus Maccius Plautus (254–184 SM), seorang komedian zaman Romawi, mendapatkan ide tentang ungkapan yang sangat terkenal hingga kini: Lupus est homo homini; non homo, quom qualis sit non novit yang kurang lebih berarti manusia serigala bagi sesamanya; ia bukan manusia, apabila tidak paham hakihatkanya. Tentu hakikat sebagai manusia.
Thomas Hobbes mempertegas bahwa manusia serigala bagi sesamanya: homo homini lupus est.
Karena itu, pentingkah pertanyaan ini: Mengapa manusia melakukan kekerasan kepada sesamanya? Kiranya penting. Sebab, kalau masyarakat tidak lagi mempersoalkan kekerasan, maka masyarakat itu sudah kehilangan keberadabannya (Budi Hardiman; 2011).
Akan tetapi, anehnya, di negeri ini kekerasan—terutama kekerasan politik dalam beragam bentuk—oleh sementara pihak dianggap sebagai hal yang memang sudah demikian, bahkan diklaim atas nama kebebasan, atas nama demokrasi.
Para pelaku kekerasan itu—baik fisik maupun fisik, termasuk politik—beranggapan bahwa apa yang mereka lakukan bisa dibenarkan.
Mereka ini bisa digolongkan sebagai penganut eternity politics, seperti yang diajarkan oleh Ivan Ilyin (1883-1954), filsuf Rusia yang diyakini sangat mempengaruhi segala kebijakan dan tindakan Vladimir Putin, yakni dengan membuat pengecualian bagi diri mereka sendiri.
Bila orang lain melakukan tindakan kekerasan itu adalah sebuah tindakan kejahatan, tetapi “Bagiku dan kelompokku, tidak masalah, karena aku adalah diriku sendiri dan kelompokku adalah milikku” (Timothy Snyder: 2018) Itu credo mereka.
Maka itu, menjadi sangat wajar kalau kemudian dalam dunia politik seperti sekarang ini, sangat sulit membedakan mana domba dan mana serigala.
Bahkan, sulit pula membedakan mana kucing, mana serigala. Karena banyak serigala berbulu domba, dan banyak pula serigala berbulu dan berlaku seperti kucing. Orang melihat segerombolan serigala seperti melihat sekawanan domba.
Lebih tragisnya lagi, sulit membedakan mana ayam, mana serigala. Karena banyak serigala yang bisa berkokok dan berkotek seperti ayam.
Mengapa demikian? Karena ada dorongan kegelapan di dalam diri manusia.
Apakah dengan demikian, benarkah bahwa “kebrutalan (nafsu serigala) tidak bisa dilawan?” sehingga gerombolan serigala berkeliaran di mana-mana?
Gerombolan serigala memang harus dilawan dengan segala cara. Karena mereka adalah perusak.
Dalam mitologi Jawa yang dipungut dari epos Ramayana dan Mahabharata, kehidupan dilihat sebagai pertempuran antara kekacauan dan ketertiban. Dan, gerombolan serigala itu perusak ketertiban, keteraturan, perdamaian, dan harmoni dalam masyarakat.
PS:
- Artikel lengkap di https://triaskun.id/2019/05/18/gerombolan-serigala/
- Artikel ini sudah muncul di Kompas.id pada hari Jumat tangga 17 Mei 2019.