Artikel Politik: Hikayat Sengkuni dan Kresna

0
1,197 views
Patung kuda by Ist

DELAPAN kuda menarik kereta perang yang dinaiki Batara Kresna sebagai sais dan Arjuna. Itulah Patung Kuda Arjuna Wijaya.

Patung karya Nyoman Nuarta yang berdiri gagah, kokoh, dan menarik perhatian di ujung selatan Jalan Merdeka Barat itu dibangun tahun 1987 atas ide Presiden Soeharto.

Yang digambarkan dalam patung itu adalah bagian dari kisah epos Mahabarata yang berpuncak pada perang Bharatayudha. Epos ini menggambarkan betapa nafsu akan kekuasaan telah menutup mata dan hati keturunan Bharata: Pandawa dan Kurawa.

Akan tetapi, ada yang melihat bahwa Bharatayudha memberikan pelajaran tentang nilai-nilai kejujuran, kesetiaan, persaudaraan, perjuangan membela kebenaran, dan kesediaan memaafkan demi kebaikan bersama.

Dua tokoh yang sangat berperan dalam Bharatayudha adalah Batara Kresna, raja Dwarawati yang adalah titisan Batara Wisnu dan Sengkuni, patih Astinapura.

Kresna bisa disebut sebagai “auctor intelectualis” dalam Bharatayudha.

“Auctor intellectualis” inilah yang, menurut Bertens, berarti pencetus ide, orang yang untuk pertama kali mengemukakan suatu pikiran atau rencana, otak atau “brain” di balik suatu peristiwa.

Dari sini, jelas bahwa maknanya tidak selalu negatif. Kresna adalah “auctor intellectualis” dalam arti yang tidak selalu negatif.

Ini berbeda dengan Sengkuni, yang juga seorang “auctor intellectualis”, dalam arti yang serba negatif.

Sengkuni yang ketika muda bernama Harya Suman atau Raden Trigantalpati adalah tokoh yang selalu membuat persoalan, yang menanamkan benih dengki-iri, penebar fitnah, penebar pikiran negatif, dendam, dan juga nafsu angkara murka di dalam hati dan pikiran orang-orang Astinapura.

Sengkuni sejak kelahirannya telah ditakdirkan membawa watak culas. Ia
suka memanasi suasana. Maka sepanjang hidupnya, ia selalu mengipas-ngipas segala bentuk bara angkara sekecil apapun menjadi berkobar liar menyambar-nyambar.

Tokoh ini pula, Sengkuni, yang memprovokasi Raja Astina, Duryudana untuk menolak ajakan damai Kresna. Sengkuni mendorong Duryudana memilih perang habis-habisan melawan Pandawa untuk mempertahankan Kerajaan Astinapura yang bukan haknya, dalam Bharatayudha.

Sengkuni adalah gambaran orang yang memiliki sifat “drengki” (dengki). Yakni, orang yang tidak senang melihat orang lain senang dan berusaha untuk mencelakakannya.

Di akhir hidupnya, ia mati sangat mengenaskan. Dalam peribahasa Jawa dikatakan, “Sapa nandur ngunduh, sapa nggawe, nganggo”, siapa menabur angin akan menuai badai.
 
Sementara Kresna adalah “auctor intellectualis” yang sangat berperan melenyapkan kekuatan angkara murka, ketamakan, kebatilan, kedurhakaan, dan segala bentuk tindakan yang melanggar nilai-nilai kemanusiaan.ain.

Kresnalah yang mengatur strategi perang di pihak Pandawa, antara lain tentang siapa saja yang diturunkan menjadi panglima perang. Misalnya, senopati Kurawa yakni Resi Bisma harus dihadapi Srikandi, istri Arjuna.

Batara Kresna pula yang memerintahkan si kembar, Nakula dan Sadewa untuk menemui Raja Mandaraka Prabu Salya, kakak Dewi Madrim ibu Nakula-Sadewa, saat Salya menjadi panglima perang Kurawa menghadapi Puntadewa, sulung Pandawa.
                                                            
Yang dilakukan Sengkuni adalah wujud dari praktik politik yang tidak berkeadaban. Sementara yang dilakukan Kresna sebagai titisan Batara Wisnu adalah melawan politik tak berkeadaban.

Politik tak berkeadaban tujuannya adalah memanipulasi rakyat. Ketika cinta diri lebih kuat dibanding cinta pada nusa dan bangsa, maka praktik politik yang tidak berkeadaban itu, banyak dilakukan.

Semua itu dilakukan demi yang namanya kekuasaan. Manusia bisa lupa diri ketika terbius akan kekuasaan. Demi kekuasaan, segala cara akan dilakukan, segala taktik dan strategi diterapkan. Kekuasaan adalah segala-galanya.

Di mata mereka yang memiliki syahwat kekuasaan berlimpah-limpah dan menggelegak, ada keyakinan bahwa dengan memegang kekuasaan, akan bisa melakukan apa saja; akan dapat memperoleh apa saja. Mereka melihat ujung kekuasaan seperti melihat ujung pelangi tempat bergantung “sekeranjang emas.”

Dalam banyak teori sosial dikatakan bahwa manusia pada hakekatnya adalah makhluk yang memiliki hasrat dan keinginan abadi untuk mengejar kekuasaan. Hasrat dan keinginan itu baru akan berakhir bila kematian telah menjemputnya.

Hanya persoalannya adalah bagaimana mengendalikan nafsu, syahwat kekuasaan itu. Nafsu, syahwat kekuasaan memang harus dikendalikan agar tidak seperti kuda liar. Nafsu inilah yang pada gilirannya menimbulkan kegaduhan politik.

Kegaduhan itu dibikin, dibuat, disengaja, untuk suatu tujuan: kekuasaan. Pada saat itu, tidak ada yang bicara soal etika, soal meralitas, etika berpolitik, moralitas berpolitik.

Barangkali benar kiranya apa yang dahulu disampaikan oleh Khalil Gibran (1883-1931): “Tahukah engkau siapakah orang yang akan mendatangkan bencana bagi bangsamu? Mereka adalah orang-orang yang tidak pernah menebar benih, tidak pernah menyusun bata, serta tidak pernah menenun kain, tetapi menjadikan politik sebagai mata pencaharian”.

Begitulah panggung politik. Di panggung politik–dan di panggung-panggung yang lain– semua orang memiliki peran. Ada yang berperan seperti Sengkuni. Ada pula yang berperan seperti Kresna.

Mungkin ada yang berperan sebagai Semar, atau Gareng, atau Petruk, atau Bagong, atau Togog, atau Mbilung. Atau bahkan berperan sebagai dalang.

PS:

  1. Tulisan lengkap bisa dibaca di https://triaskun.id/2019/08/07/hikayat-sengkuni-dan-kresna/‎
  2. Tulisan ini sudah tayang di Kompas.id pada hari Senin lalu.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here