DULU, ketika masih kanak-kanak dan hidup di desa, saya membayangkan bahwa Tuhan itu seperti lelaki tua. Tetapi, berbadan besar dan kuat serta memiliki kekuatan yang maha dahsyat.
Magis. Ia seperti seorang penyihir, yang dengan sebuah tongkat sihir mampu untuk melakukan segalanya yang dikehendakinya. Bukankah, Ia menciptakan dunia dengan seluruh isinya dalam tempo sepekan saja?
Tuhan dalam imaji saya dulu, adalah lelaki tua yang berambut panjang, lebat, sebahu—bahu-Nya begitu bidang, kokoh–dengan uban di sana-sini. Rambut-Nya ikal, ngandan-andan. Berjenggot panjang, lebat, dan berkumis tebal yang sudah keabu-abuan pula warnanya.
Ia tinggal jauh tinggi di langit, tetapi bisa melihat semua makhluk di Bumi dengan jelas; seakan memiliki teropong berlensa sangat tajam.
Ia duduk di atas tahta yang diselimuti awan putih cemerlang, menyilaukan. Di kiri-kanan-Nya para malaikat bernyanyi dan memainkan alat-alat musik mengumandangkan lagu-lagu surgawi yang begitu indah.
Ketika berbicara dari atas tahta, suara-Nya menggelegar di langit melebihi gelegar guntur yang sangat dahsyat sekalipun. Apalagi, kalau sedang marah.
Ia sering marah. Ia marah melihat dan mengetahui perilaku manusia yang tidak tahu terima kasih, yang meninggalkan diri-Nya, yang mementingkan dirinya sendiri, yang saling bercekcok, berkelahi, saling sumpah-serapah, yang sering menfitnah orang lain, berlaku dusta, dan segala kelakuan yang membuat-Nya tidak senang.
Kisah pengusiran Adam dan Hawa dari Taman Firdaus adalah salah satu ungkapan kemarahan Tuhan. Ketika itu, menurut cerita yang saya terima ketika masih kecil, Tuhan memang pantas marah.
Karena, Adam dan Hawa telah melanggar larangan Tuhan, yakni tidak boleh memetik buah pohon kehidupan dan pohon pengetahuan tentang yang baik dan yang jahat.
Meskipun sering marah, tetapi Ia sangat penuh kasih. Ia mahacinta, hangat, baik hati, dan penyayang serta pengampun yang adil, belas kasihnya tak terhingga.
Ia tertawa ketika bahagia, dan menangis ketika sedih. Saya membayangkan Tuhan seperti manusia bisa menangis dan tertawa. Tetapi bukan manusia; jauh lebih dari manusia. Itu bayangan saya ketika masih kanak-kanak.
Kini saya bertanya-tanya pada diri sendiri, dari mana gambaran saya tentang Tuhan seperti itu.
Mengapa saya mengimajinasikan Tuhan seperti itu. Apakah karena melihat lukisan-lukisan ayah? Ayah saya seorang pelukis yang banyak melukis tentang hal itu.
Saya tidak tahu.
Mungkin, semua anak kecil di mana pun, entah itu di desa atau di kota, di pegunungan atau di pesisir, entah di kompleks-kompleks perumahan indah dan mewah atau anak-anak dari kampung-kampung kumuh yang rumahnya berdempetan, entah anak orang kaya atau orang miskin; dari suku atau etnis apapun, berbahasa apa pun dan juga beragama apapun, memiliki imajinasi yang hampir-hampir sama tentang Tuhan.
Apakah saya keliru mengimajinasikan Tuhan seperti itu? Apakah anak-anak keliru memiliki gambaran tentang Tuhan seperti itu pula?
Kini, dunia anak-anak sudah jauh di belakang. Dari pergaulan sehari-hari dengan banyak orang yang memiliki beragam latar-belakang, juga latar belakang kepentingan, maka gambaran tentang Tuhan pun dari waktu ke waktu, mulai berubah.
Meskipun, saya tetap meyakini bahwa Tuhan adalah mahapengasih, mahapenyayang, mahapengampun, bukan pula penghukum, bukan pembenci dan juga bukan pula pendendam. Bahkan, Tuhan itu dekat, bukan jauh dari manusia.
Dari bacaan, pergaulan, pertemuan dengan banyak orang, dan dari perjalanan mengarungi kehidupan, saya makin yakin bahwa Tuhan itu adalah cinta, dan dia yang tinggal dalam cinta tinggal di dalam Tuhan, dan Tuhan yang tinggal di dalam dia.
Karena Tuhan adalah cinta, maka yang diciptakan-Nya pun yakni manusia, semestinya juga adalah cinta.
Salah satu bukti bahwa Tuhan itu mahacinta dan sangat mencintai manusia yakni, menciptakan manusia sebagai makhluk yang berakal budi dan memberi kepada manusia martabat seorang pribadi, yang bertindak seturut kehendak sendiri dan menguasai segala perbuatannya.
Dengan kata lain, manusia diberi kehendak bebas. Manusia diberi kebebasan untuk memilih. Manusia yang membuat keputusan akhir menurut kehendaknya sendiri.
Kehendak bebas inilah yang membuat manusia bebas memilih untuk berbuat baik atau berbuat jahat; untuk percaya pada-Nya atau tidak; untuk melakukan ini atau itu; untuk mencintai atau membenci orang lain.
Kehendak bebas ini pula yang membuat manusia bebas memilih untuk toleran atau tidak toleran terhadap orang lain yang berbeda entah itu suku, agama, ras, maupun agama; mau beragama atau tidak beragama; mau beragama dan beriman atau mau beragama saja seperti tertulis dalam kartu tanda penduduk atau dari simbol-simbol yang diperlihatkan, tetapi tak beriman. Dan, akhirnya mau percaya kepada-Nya atau tidak.
Sayangnya, kehendak bebas yang diberikan kepada manusia itu, tidak jarang, disalah-gunakan. Banyak terjadi di sekitar kita, penyalah-gunaan kehendak bebas itu.
Apalagi kalau memiliki kekuasaan. Dengan kekuasaan di tangan—entah itu kekuasaan politik, ekonomi, budaya, maupun agama—merasa memiliki kebebasan untuk berbuat apa saja, untuk bebas bertindak.
Tidak jarang, yang memiliki kekuasaan sering lupa diri. Mereka lupa diri atau pura-pura lupa. Itu berarti, mereka telah menyalah-gunakan kuasa yang baik yakni kebebasan (kehendak bebas) untuk tujuan yang bertentangan dengan hakikat asali kehendak bebas. Padahal, kebebasan itu bukanlah kejahatan.
Adalah baik untuk menjadi bebas. Tetapi, tidak bisa dipungkiri bahwa dengan adanya kebebasan itu memungkinkan juga adanya kejahatan.
Misalnya, atas nama demokrasi lalu melanggar semua aturan main, termasuk melanggar kebebasan orang lain. Ini banyak terjadi di sekitar kita, di negeri ini!
Tuhan, memang, memberikan kebebasan pada manusia. Tetapi, menurut Muhammad ‘Abduh (1849-1905), seorang pemikir Muslim dari Mesir, manusia bertanggung jawab atas tindakannya, atas apa yang dilakukannya.
Tuhan memberikan tiga kekuatan kepada manusia yang tidak dimiliki oleh hewan. Yakni, ingatan, khayal, dan pikiran. Karena itu, manusia harus mempertanggung-jawabkan atas pemanfaatan tiga kekuatan itu.
Bukan salah pemerintah atau polisi yang membuat dan mengeluarkan surat izin mengendara (SIM) kalau banyak kecelakaan di jalan raya. Akan tetapi, salah pengemudi yang mungkin tidak hati-hati atau malah ugal-ugalan saat mengemudi.
Bukan salah pemerintah membuat e-KTP kalau kemudian ada politisi atau pejabat yang korupsi karena kasus e-KTP. Bukan salah pemerintah bahwa e-KTP berujung pada korupsi politik.
Yakni, penyalahgunaan kekuasaan dalam pemerintahan untuk kepentingan pribadi dan golongan. Kekuasaan, memang, memiliki potensi besar untuk disalahgunakan.
Apakah salah demokrasi, kalau kemudian muncul raja-raja kecil di daerah-daerah; yang menggunakan kekuasaan di tangannya untuk mempertahankan, memperbesar kekuasaannya atau sekadar untuk mendongkrak popularitasnya?
Apakah juga salah demokrasi, kalau kemudian atas nama kebebasan membangun perselingkuhan antara agama dan politik?
Tentu, bukan demokrasinya yang salah. Yang salah adalah yang mengartikan kebebasan dalam demokrasi itu.
Apa juga salah demokrasi, kalau ujaran kebencian, fitnah, berita bohong, dan sejenisnya berseliweran? Di sinilah orang lupa tata krama berdemokrasi. Sehingga dengan mengatasnamakan kebebasan berpendapat dan bersuara, yang memang dijamin demokrasi, lantas berbicara sesuka hati.
Urusan bangsa yang demikian besar dan penting, menjadi urusan personal. Orang lupa, “Hidup dan mati dikuasai lidah, siapa suka menggemakannya, akan memakan buahnya,” begitu kata Raja Salomo bin Daud.
Karena itu, seperti dikatakan oleh Publius Ovidius Naso (43-17 SM), seorang penyair Romawi: Cave quid dicis, quando, et cui, berhati-hatilah terhadap apa yang Anda katakan dan kepada siapa.
Sebab, kata-kata bisa menjadi senjata pembunuh, membunuh orang lain, dan membunuh orang yang mengatakannya. Tutur kata menggambarkan kualitas pribadi seseorang. Banyak yang berteriak lantang meski tanpa pelantang, tetapi minus perbuatan yang baik dan nyata bagi sesama.
Pada akhirnya, bahkan rakyat kecil pun paham, yang setia pada urusan kecil akan setia pada urusan besar.
Dalam rumusan lain, Khahlil Gibran mengatakan, berbuat baik sekecil apa pun lebih berharga daripada niat besar tanpa perbuatan. Sebab, untuk mencapai tatanan sosial yang baik dan berkeadilan, dibutuhkan tindakan nyata, tidak cukup hanya pidato, omong besar, dan janji-janji.
Tidak cukup retorika, meskipun politik tidak bisa dilepaskan dari retorika.
Bukankah manusia diberi kehendak bebas, kebebasan untuk berkarya bagi sesama? Kalau dalam berpolitik, kehendak bebas itu diwujudkan dengan membangun bonum commune, kemaslahatan bersama?
Bukan malah ngubeh-ubek banyu bening, memperkeruh suasana, menghancurkan rasa persaudaraan, menghancurkan toleransi, kebhinnekaan, dan persatuan serta kesatuan dengan hal-hal yang tidak masuk akal.
Tidak salah kiranya, imaji saya ketika masih kecil tentang Tuhan, yang masih segar hingga kini bahwa Tuhan adalah mahapengasih, mahapenyayang, mahapengampun, memberikan kedamaian bukan penghukum, bukan pembenci dan juga bukan pula pendendam.
Tetapi, mengapa ada kejahatan?
Misalnya, kejahatan kemanusiaan, kejahatan politik, kejahatan ekonomi, kejahatan budaya, dan berbagai bentuk kejahatan lainnya.
Karena, ada yang suka kegelapan, kepalsuan, kebohongan dan bukannya menyukai dunia terang seterang Matahari, kebenaran, dan kejujuran.
Ada yang suka menjadi anak-anak kegelapan daripada anak-anak terang.