SEJAK pemimpin Libya Muammar al-Gaddafi—yang memerintah negeri itu selama 42 tahun dari 1969, disingkirkan dan bahkan dibunuh dalam revolusi, Oktober 2011—negeri itu terjerumus ke dalam perang saudara. Perang ini melibatkan berbagai kelompok kekuatan terutama suku-suku dan milisi bersenjata.
Mereka bertarung untuk memperebutkan, antara lain, kekayaan negeri itu yakni minyak. Libya disebut-sebut memiliki cadangan minyak terbesar di Afrika, d an nomor sembilan terbesar di dunia.
Tak pelak lagi, negeri berpenduduk kurang dari tujuh juta jiwa tersebut, makin hari makin terkoyak-koyak, sama seperti Suriah.
Ada dua kekuatan besar yang bertarung.
- Kekuatan pertama yang disebut Pemerintah Kesepakatan Nasional (GNA) yang diakui PBB, berpusat di Tripoli dipimpin oleh PM Fayez al-Sarraj. Mereka memerintah Libya bagian barat. GNA didukung kekuatan militer yang berasal dari suku-suku dan milisi Islamis terutama yang berafiliasi dengan Persaudaraan Muslim (Avi Melamed, 2020).
- Menurut Avi Melamed, kekuatan kedua adalah yang menyebut dirinya Dewan Perwakilan Rakyat (HOR) yang berpusat di Tobruk, Libya bagian timur. Militer pendukung HOR yakni Tentara Nasional Libya (LNA) yang juga terdiri atas suku-suku di Libya bagian timur juga kaum Islamis Salafis. LNA dipimpin oleh Jenderal Haftar Khalifa.
Sebenarnya, PBB pada 17 Desember 2015 sudah berhasil mendudukkan kedua kelompok yang berkonflik. Mereka bahkan menyepakai perjanjian yakni Perjanjian Politik Libya (Libyan Political Agreement LPA) atau Perjanjian Skihrat.
Disebut Perjanjian Skihrat, karena perjanjian tersebut ditandatangani di Skihrat, Maroko.
Perjanjian tersebut diharapkan akan mampu membantu menjembatani perbedaan antara kedua kelompok dan mempersatukan Libya. Solusi politik ini menjadi kesepakatan pertama untuk mewujudkan persatuan setelah beberapa tahun terpecah.
Akan tetapi, ternyata, Perjanjian Skihrat tersebut “tak mampu” menjerat pihak-pihak yang berseteru untuk menghentikan perseteruan dan konflik bersenjata mereka. Bahkan, sejak tahun 2019, konflik bersenjata di antara mereka semakin meningkat.
Para aktor
Sama seperti setiap konflik di Timur Tengah selalu menjadi ajang pertarungan kekuatan baik regional maupun internasional untuk bertarung memperebutkan pengaruh kekuasaan dan hegemoni. Demikian juga yang terjadi di Libya.
Contoh paling nyata adalah konflik di Suriah, yang telah menjadi mandala perebutan dan pertarungan pengaruh, kekuasaan, dan kekuatan baik itu kekuatan regional maupun internasional. Di Suriah, Arab Saudi dan Iran, misalnya bertarung memperebutkan pengaruhnya.
Yang menarik sekaligus memrihatinkan karena membuat semakin sulit mengakhiri konflik adalah terlibatnya kekuatan-kekuatan asing, baik itu regional maupun internasional tesebut.
Kekuatan-kekuatan asing itu, saling bersaing untuk memperebutkan hegemoni dan tentu saja kekayaan alam Libya. Akibatnya, situasi semakin buruk, pelik, sulit diurai, sama seperti yang terjadi di Suriah sehingga membuat negeri tersebut hancur berantakan.
Sejumlah negara mendukung kelompok militer pimpinan Haftar (LNA). Mereka—Mesir, Arab Saudi, Uni Emirat Arab, Yordania, Sudah, Rusia, bahkan AS yang semula mendukung GNA—memberikan dukungan keuangan dan militer.
Bagi Rusia, misalnya, mendukung LNA (Haftar) bukanlah hal baru dalam kebijakan luar negerinya. Tindakan tersebut sebagai bagian untuk strategi multigunanya Moskwa untuk memperkuat kehadiran militernya di kawasan Laut Tengah (sama halnya terlibat di Suriah), juga mencari sumber energi, serta secara politis hadir di lingkungan Uni Eropa.
Bahkan, Israel pun ikut terlibat dengan memberikan bantuan latihan militer pada LNA dan perlengkapan militer untuk mencegat pesawat nirawak. Rusia juga membeikan bantuan militer dan keuangan. Sementara, secara resmi negara-negara Uni Eropa mendukung GNA, tetapi masing-masing anggota mengambil sikap sendiri-sendiri, seperti Perancis yang mendukung LNA.
Sementara itu, kubu GNA-nya PM Fayez al-Sarraj mendapat dukungan Turki, Qatar dan Italia. Sama seperti negara-negara yang mendukung LNA, negara-negara pendukung GNA juga memberikan bantuan keuangan (Qatar) dan militer serta milisi bersenjata (Turki).
Menurut kantor berita Reuters dan Aljazeera, Turki memasok pesawat nirawak, pertahanan udara, serta penasihat militer. Bahkan, Turki juga mengirimkan “tentara bayaran” dari Suriah.
Koran The Guardian (15/1) memberitakan Turki mengirim 2.000 milisi Suriah ke Libya. Turki juga mengirim 300 orang dari divisi kedua Tentara Nasional Suriah (SNA), sebuah kelompok bersenjata di Suriah yang dibiayai Turki, pada tanggal 24 Desember, dan 350 orang pada tanggal 29 Desember.
Turki bahkan telah menandatangani dua kesepakatan negara GNA pada November lalu yakni menyangkut demarkasi perbatasan maritim (laut)dan meningkatkan kerja sama keamanan.
Tindakan Turki ini yang membuat Yunani dan Siprus uring-uringan dan menentang yang dilakukan Turki dan GNA terebut.
Dengan menandatangani dua kesepakatan tersebut, Turki mengambil langkah cerdik. Kesepakatan ditandatangani tatkala GNA dan Tripoli sedang ditekan habis-habisan oleh pasukan Haftar. Dengan demikian GNA sangat membutuhkan bantuan.
Pada saat itu, Turki datang menyelamatkan GNA dengan memberikan bantuan militer. Dan, “harga yang harus dibayar” Tripoli adalah menandatangani kesepatan itu.
Hal tersebut mirip yang dilakukan Rusia terhadap Rezim Damaskus pimpinan Bashar al-Assad. Ketika Damaskus hampur jatuh dan hancur (2015), Rusia datang memberikan bantuan militer. Kompensasinya, Rusia dapat mempertahankan kehadiran militernya di pelabuhan Tartus.
Persaingan regional
Tak pelak lagi, perang saudara di Libya telah menjadi ajang persaingan kekuatan regional. Uni Emirat Arab (UEA) tidak akan membiar Turki “bebas” di Libya. Maka UEA pun aktif membantu LNA.
Menurut laporan PBB yang dipublikasikan November tahun lalu, UEA memasok sistem pertahanan udara canggih, Pantsir S-1 buatan Rusia pada LNA.
Laporan lain juga dari PBB (2017) mengungkapkan bahwa negara Teluk itu telah membangun pangkalan udara di Al Khadim, Libya bagian timur; serta mengirimkan pesawat terbang dan kendaraan militer.
Sudah lama UEA berseberangan posisi dengan Turki dalam banyak isu di Timur Tengah, seperti yang terjadi di Libya saat ini.
Dalam perang saudara di Suriah pun, kedua negara berada pada posisi yang berseberangan. Waktu, Muhamad Morsi yang didukung Persaudaraan Muslim memenangi pemilu presiden di Mesir (2013), Turki mendukung Morsi. Tetapi, ketika Morsi disingkirkan Jenderal Abdel Fattah el-Sisi (2014), UEA dan Arab Saudi mendukung Sisi, sebaliknya Turki menentangnya.
Turki juga menuduh UEA membunuh penduduk sipil dan menyebabkan krisis kemanusiaan di Yaman. Selain itu, Ankara juga menuduh UEA mencampuri urusan Otoritas Palestina, dan memberikan dukungan finansial terhadap usaha kudeta di Turki pada tahun 2016, yang berujung pada semakin kuatnya pemerintahan Erdogan.
Maka itu, krisis di Libya ini juga menjadi ajang pertarungan untuk memperebutkan hegemoni, pengaruh, dan kekuasaan antar-negara-negara di kawasan Timur Tengah. Selain menghadapi UEA, Turki juga harus bersinggungan dengan Mesir yang menggunakan perbatasannya dengan Libya untuk memberikan dukungan senjata dan logistik pada LNA (Al Jazeera).
Mesir sangat tidak senang, tidak nyaman bahwa Turki hadir di negara tetangganya. Salah satu upaya Kairo untuk mengakhiri kehadiri Turki di Libya adalah dengan mengajukan rencana perdamaian yang disebut “Prakarsa Kairo” pada tanggal 6 Juni lalu, untuk mengakhiri perang.
Dalam “Prakarsa Kairo” disebutkan antara lain perlunya gencatan senjata dan keluarnya milisi asing dari Libya (berarti Turki harus juga keluar), serta kembali kepada Perjanjian Skihrat.
Usulan Mesir tersebut mendapat dukungan komunitas internasional, termasuk Jerman, Yordania, Arab Sauri, Rusia, UEA, dan AS. Haftar dengan LNA-nya pun menerima. Sebaliknya, Fayez al-Sarraj dengan GNA-nya dan Turki menolak prakarsa tersebut.
Al-Sisi menjawab sikap GNA dan Turki pada 20 Juni lalu dengan memerintahkan pada militer Mesir untuk “siap melakukan misi baik di di dalam negeri Mesir atau melintasi perbatasan.”
Pernyataan tersebut sebagai ungkapan lain dari sikap Mesir yang “siap untuk berperang” atau bahkan “menyatakan perang di Libya” untuk menghadapi Turki.
Pada akhirnya, melihat banyaknya kekuatan asing yang masuk ke Libya dan memberikan dukungan pada pihak-pihak yang berkonflik, sangat wajar kalau masyarakat dunia mengkhawatirkan masa depan negara itu. Akan menjadi seperti apa Libya mendatang?
Bisa jadi akan semakin hancur-hancuran, karena banyaknya tangan asing yang masuk dan menanamkan kepentingannya di negeri malang itu. Ini adalah salah satu “hasil” Revolusi Musim Semi Arab, yang jauh dari harapan.
Transisi politik, memang, selalu sulit. Dan, dalam banyak kasus menggantikan otoritarianisme dengan demokrasi yang sesungguhnya, tidak hanya membutuhkan waktu, tetapi juga menghadapi banyak persoalan. Dengan kata lain, tidak ada jalan pintas, dan tidak mudah.
Maka itu, kalau jalan itu bisa dilalui dan berhasil sampai akhir—tercipta perdamaian dan persatuan—itu adalah langkah yang luar biasa.