I
Masih jauh larut malam, sudah berkeliaran musang berbulu ayam. Begitu tulis Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Indonesia dari 1978 sampai 1983 dalam Kabinet III, Daoed Joesoef di harian Kompas 2014.
Ternyata, ungkapan yang ditulis Daoed Joesoef, masih hidup hingga kini. Musang berbulu ayam masih berkeliaran di mana-mana.
Musang adalah mamalia liar dari suku Viverridae. Binatang pemangsa. Musang memangsa hewan-hewan lain—baik yang dipelihara maupun yang liar. Mulai dari ayam, tikus, serangga, kadal, bahkan cacing tanah.
Sebaliknya, ayam adalah binatang jinak. Tidak membahayakan. Dan, menjadi salah satu bahan makanan manusia, baik dagingnya maupun telurnya. Karena itu, dipelihara, diternakkan.
Juga ada jenis ayam hias, yang dinikmati keindahan, baik postur tubuhnya maupun bulunya, dan suara kokoknya.
Kalau kemudian, ada kiasan “musang berbulu ayam”, tentu ada maknanya. Binatang yang dari sononya berwatak liar, ganas, jahat, dan membahayakan binatang lain, berlagak tidak membahayakan; menutupi dirinya dengan bulu ayam, binatang yang jinak.
Tetapi, hakikat dasarnya tetap tidak dapat ditutupi, sekalipun bertopeng, berjaket bulu ayam.
Kiasan ini mirip dengan kiasan “serigala berbulu domba.”
Sekalipun musang telah berbulu ayam; sekalipun serigala berbulu domba, tetap saja watak buruknya tak dapat dihilangkan. Lupus pilum mutat, non mentem, serigala mengganti mantel (bulunya), bukan wataknya.
Begitu kata pepatah.
Seseorang yang dari luar terlihat baik dan lembut, padahal sangat kejam dan culas. Itulah serigala berbulu domba.
Mencelakakan, menipu atau berkhianat terhadap teman atau keluarga sendiri, itu sifatnya.
II
Kiasan-kiasan sederhana seperti itu, relevan untuk segala zaman.
Ibarat kata, tak lapuk karena hujan tak lekang karena panas. Karena orang munafik ada di segala zaman.
Itulah sebabnya muncul ujar-ujaran, “Bahkan kayu yang berada di sungai selama puluhan tahun pun tak akan berubah menjadi buaya.”
Sekali munafik, tetap munafik. Begitu kira-kira “semboyannya.”
Orang munafik memiliki sikap membenarkan diri sendiri yang memikat hati untuk melakukan kebohongan.
Kemunafikan (nifaq) atau berwajah dua adalah sifat jahat seseorang yang penampilan dan sikapnya berlawanan dengan batinnya.
Kemunafikan tidak memiliki warna, namun dia bermain agak redup dan bergerak pelan-pelan seraya merayu dengan kebohongan.
Tidak sulit menemukan “musang berbulu ayam” di tengah kita. Karena berkeliaran di mana-mana.
Apalagi sekarang banyak dipelihara. Di televisi, kita bisa dengan mudah menemukan mereka.
Di media sosial, bertebaran kaum munafik, yang menganggap dirinya paling benar dan orang lain salah.
Kata orang cerdik pandai, logika hanyalah instrumen namun belum tentu dapat menjelaskan seluruh realita.
Sedangkan kebenaran adalah sebuah kemampuan untuk menjelaskan segala sesuatu.
Bukankah sudah menjadi kebiasaan kita, setiap ada persoalan—terutama bila persoalan itu muncul di pemerintahan—akan segera riuh rendah, muncul berbagai komentar, tudingan dan tuduhan dari luar gelanggang, seakan-akan yang berkomentar itu paling benar.
Menuduh memang paling enak dan mudah.
Menyalahkan pihak lain juga paling mudah, ketimbang mencari tahu sesungguhnya apa yang terjadi dan mengupayakan penyelesaian.
Orang yang tidak beradab selalu menyalahkan orang lain, orang yang setengah beradab menyalahkan diri sendiri dan orang yang betul-betul beradab tidak menyalahkan siapa-siapa.
Kata Venerable K.Sri Dhammananda (Dawai, Agustus-September 2006). Maka Kahlil Gibran pun mengatakan, pemisah antara si bijak dan si bodoh itu lebih tipis ketimbang jaring laba-laba.
III
Benarlah yang ditulis Daoed Joesoef, “Masih jauh larut malam, sudah berkeliaran musang berbulu ayam.”
Mereka berkeliaran dengan bermantel bulu ayam pelung, kate, bekisar, cemani, ketawa, belenggek, serama, dan sebagainya.
Tetapi, seperti kata pepatah vulpem pilum mutat, non more, seekor rubah mengubah bulunya, bukan tipuannya.
Demikian pula musang, sekalipun berbulu ayam, sekalipun dipelihara oleh para pecinta binatang dan dibopong ke sana ke mari, tetaplah musang.
Padahal, pemilu masih jauh.
Dasar luwak.