HASIL referendum terhadap amandemen Konstitusi Rusia menegaskan bahwa Vladimir Putin adalah orang kuat di Rusia, atau bahkan paling kuat.
Sebab, hasil referendum—menurut Komisi Pemilihan Umum, 77,9 persen suara yang sudah dihitung yakni 99,9 persen suara masuk, menyetujui 200 perubahan Konstitusi. Sementara, 21 persen menentang. Hasil ini membuka peluang sangat lebar kepada Putin untuk berkuasa dua kali masa jabatan lagi.
Salah satu perubahan adalah menyangkut masa jabatan presiden.
Menurut Konstitusi lama (yang diamandemen) masa jabatan presiden dibatasi dua kali masa jabatan—dua kali enam tahun. Dan, menurut Konstitusi baru (yang diamandemen), bila seorang presiden sudah menyelesaikan dua kali masa jabatannya, dapat mencalonkan lagi untuk dua kali masa jabatan.
Ini berarti, bila masa jabatan Putin yang kedua habis pada tahun 2024, ia dapat mencalonkan lagi untuk dua kali masa jabatan berikutnya berturut-turut. Dua kali enam tahun lagi. Ketika nanti masa jabatannya selesai tahun 2036, Putin sudah berusia 83 tahun.
Ia mulai menjadi presiden ketika berusia 48 tahun.
Apa yang terjadi di Rusia—menyangkut masa jabatan presiden yang terus diperpanjang; ada yang mengistilahkan sebagai “kudeta konstitusional”—mengingatkan akan apa yang terjadi di negeri kita di zaman Orde Baru.
Setiap tahun kelima masa jabatan presiden akan berakhir, maka segera akan muncul di mana-mana dan dari berbagai kelompok, organisasi, bahkan partai pernyataan kebulatan tekad untuk mendukung kembali Soeharto.
Walhasil, Soeharto berkuasa hingga 32 tahun.
“Tandemocracy” dan “Tandemology”
Amandemen Konstitusi di Rusia, sebenarnya, bukanlah hal baru. Setiap kali Konstitusi diamandemen untuk kepentingan penguasa. Selama abad ke-20, dilakukan tujuh kali amandemen, yakni ketika Rusia dipimpin Vladimir Lenin, Josef Stalin, dan Leonid Brezhnev. Dan sekali lagi di bawah Boris Yeltsin, presiden pertama setelah Uni Soviet yang komunisme bubar (1991), yang menghasilkan Konstitusi 1993.
Konstitusi 1993 ini oleh Dmitry Anatolyevich Medvedev ketika menjadi presiden antara 2008-2012 (sekarang Medvedev menjadi Perdana Menteri), diubah. Medvedev mengubah masa jabatan presiden dari empat tahun menjadi enam tahun.
Ini sangat menguntungkan Putin.
Bahkan, ada yang berpendapat bahwa perubahan masa jabatan itu sengaja dibuat untuk Putin. Medvedev yang adalah protégé, anak didik Putin menjadi presiden karena Putin menurut ketentuan Konstitusi tidak bisa maju lagi untuk menjadi presiden.
Putin sudah berkuasa dua kali masa jabatan berturut-turut.
Medvedev yang ketika itu menjadi Perdana Menteri, mencalonkan sebagai presiden (dan terpilih), sementara Putin menempati posisi Medvedev menjadi Perdana Menteri.
Ini yang menurut Edwin Bacon (2017) dikenal sebagai “tandemocracy” atau “tandemology” mengacu istilah yang digunakan para Kreminolog (Angus Rozburgh, 2012). Keduanya—Putin dan Medvedev—sangat kompak.
Sejak Medvedev menjadi presiden, dan Putin perdana menterinya, baik orang-orang Rusia maupun asing menyebut mereka “tandem” yang berkuasa. Tandem demi kekuasaan.
Dengan itu, Rusia telah menjadi negara yang meremehkan hak-hak rakyatnya. Bahkan, Ketua Komisi Pemilihan Umum mengatakan, panduan utamanya (dalam bekerja) adalah apa pun yang dikatakan Putin benar.
Ketua parlemen menggambarkannya sebagai ‘tidak ada tempat untuk berdiskusi’.
Ini adalah negara di mana keputusan paling penting tentang siapa yang akan menjadi presiden secara efektif diambil secara pribadi oleh dua orang (Putin dan Medvedev), tanpa mempedulikan rakyat.
Inilah yang terjadi pada September 2011, ketika anak didik dan penerus Putin sebagai presiden, Dmitry Medvedev, setuju untuk untuk tidak mencalonkan lagi sebagai presiden, guna membuka jalan bagi Putin untuk kembali menjadi presiden pada tahun 2012 (Edwin Bacon, 2017).
Edwin Bacon menambahkan, bahkan ketika Putin menyingkir dari Kremlin pada tahun 2008, dan memberikan kursinya kepada Medvedev itu adalah bagian dari rencana mereka. Tugas Medvedev di Kremlin adalah menyiapkan jalan bagi Putin untuk menjadi orang nomor satu lagi di Rusia.
Dan, tugas itu ditunaikan secara baik oleh Medvedev, yang mengubah masa jabatan presiden dari dua kali empat tahun menjadi dua kali enam tahun. Dan, sekarang, bahkan bisa ditambah lagi dua kali enam tahun lagi berturut-turut.
Orang terkuat
Uni Soviet yang komunis, sudah ambruk memang. Dikubur tahun 1991. Bukan hanya di Uni Soviet, di negara-negara Eropa Timur yang sebelumnya adalah negara satelit Uni Soviet pun sudah, komunisme sudah mati, dan “bangkainya” dibuang jauh-jauh. Bahkan, China pun sekarang ideologinya duit.
Karenanya, di Moskwa, Mausoleum Lenin (Vladimir Ilyich Lenin, 1870-1924) di Krasnaya Ploshchad, Lapangan Merah, kini benar-benar menjadi tujuan wisata.
Para wisatawan boleh melihat jenazah orang yang pernah mengguncang dunia itu; dan sistem yang didirikannya menjadi simbol kekuasaan otoriter tanpa tara dalam sejarah manusia.
Bangunan negara yang pertama kali diletakkan oleh Lenin pada tahun 1917 itu, hanya mampu bertahan sampai akhir 1991. Kisah negara yang menjadi “embah-nya” komunisme, pusat komunisme dunia itu berakhir tanpa pesan.
Ambruk begitu saja. Tanpa tanda-tanda. Tanpa isyarat-isyarat. Tanpa menunjukkan gejala (teruma di mata orang luar).
Uni Soviet yang komunis dan pengaruh serta kekuasaanya meliputi sepertiga umat manusia di dunia, hilang tak berbekas.
Uni Soviet bubar. Republik-republik Soviet merdeka, lepas dari Moskwa. Yang tinggal hanyalah Rusia. Uni Soviet yang komunis—dan juga negara-negara satelitnya—mati. Mati seperti Lenin yang kini jenazahnya menjadi tontonan para wisatawan.
Tetapi, sekarang, Putin mewarisi “tradisi” para pemimpin Uni Soviet yang berkuasa hingga akhir hayat.
Meskipun mulai 2008, misalnya, secara resmi orang nomor satu di Rusia adalah Medvedev, sebagai presiden, tetapi Putin yang mantan perwira KGB pernah menjadi presiden (2000-2008) dan perdana menteri di zaman Medvedev, tetaplah yang paling berpengaruh (Simon Pirani, 2010).
Putin, memang populer. Hal itu antara lain karena ekonomi tumbuh hampir setiap tahun sejak 1997. Pengangguran rendah. Upah dibayarkan tepat waktu dan jauh lebih tinggi daripada tahun 1990-an. Negara menjalankan fungsinya secara efisien. Inflasi rendah.
Orang-orang memiliki kepercayaan pada institusi negara. Angkatan Bersenjata dibayar tepat waktu. Pendidikan berkembang. Sekarang, banyak orang fasih berbahasa Inggris dan Mandarin. Pembangunan infrastruktur meningkat secara dramatis.
Menurut Simeon Djankov dari Peterson Institute for International Economics (September 2015), pada pertengahan 2015, sekitar 55 persen ekonomi Rusia dikuasai negara, dan menampung 20 juta tenaga kerja, sama dengan 28 persen dari tenaga kerja di Rusia saat itu.
Ini angka tertinggi dalam 20 tahun terakhir, setelah dua gelombang privatisasi yang dilakukan pada awal dan pertengahan 1990-an.
Meskipun demikian, menurut survei dengan responden 1.608 orang yang dilakukan oleh Levada Center di Rusia, sebuah lembaga independen, bulan Mei lalu, popularitas Putin turun, menjadi 59 persen, dibandingkan sebulan sebelumnya 63 persen (CNBC, 6 Mei).
Menurut data Statista Research Department, 2 Juli 2020, pada bulan Maret lalu, dukungan terhadap Putin 63 persen, turun satu persen dibandingkan tahun sebelumnya.
Tetapi, menurut The Daily Telegraph, tingkat kepercayaan terhadap Putin akhir Juni lalu “hanya”, 54 persen, karena Covid-19. Ketika mulai memangku jabatan yang pertama, 1999, peringkat dukungan terhadap Putin mencapai 85 persen.
Yang menarik adalah, sekalipun tingkat popularitasnya turun (Mei, 59 persen), tetapi dukungan terhadap amandemen Konstitusi 77,9 persen. Meskipun, ada yang berpendapat bahwa pemilu itu adalah formalitas belaka.
Sebab, dua pekan sebelum pemungutan suara (25 Juni–1 Juli), toko-toko buku di seluruh negeri sudah menjual buku Konstitusi Rusia (baru; artinya yang sudah diamandemen). Apalagi, Parlemen, pemerintah-pemerintah daerah, dan yudikatif sudah menyetujui amandemen, sebelum pemungutan suara.
Jadi sebenarnya, menurut Vox.com (2/7), Putin tidak membutuhkan suara rakyat untuk mengubah Konstitusi.
Putin mungkin tidak membutuhkan suara rakyat, tetapi ia menginginkan mereka untuk melegitimasi “perebutan” kekuasaan secara konstitusional. Ini adalah taktik para pemimpin otoriter untuk menampilkan dirinya sangat diperlukan.
Menurut Edwin Bacon, semakin lama seorang pemimpin mempertahankan kekuasaan, semakin menyatu dengan sistem. ‘Leaderism’ memiliki resonansi khusus dalam politik Rusia. Selama era Soviet, leadersim adalah istilah yang peyoratif secara ideologis; untuk menggambarkan pemimpin tunggal yang dominan.
Rezim Putin bukanlah diktator totaliter Stalinis, tetapi bersifat ‘leaderist‘, karena rezim tersebut telah merebut negara dan tampaknya memperlakukannya sebagai milik pribadi.
Dua puluh tahun silam, ketika diambil sumpahnya sebagai presiden, 7 Mei 2000, andai ada pertanyaan, apakah Putin yang mantan perwira KGB itu akan menjadi penguasa Rusia selama Joseph Stalin (3 April 1922–16 Otkober 1952)?
Tentu, tidak ada yang dengan yakin menjawabnya. Tetapi, andaikan nanti Putin bertahan berkuasa hingga 2036, pertanyaan itu terjawab sudah.
Cerita yang hampir mirip, pernah tejadi di negeri ini.