SETIAP Rabu malam, kami bertemu. Sebenarnya, hari belum benar-benar malam setiap kali kami bertemu. Biasanya, kami mulai bertemu selepas maghrib dan baru berakhir sekitar pukul 22.00.
Belum malam untuk ukuran waktu di kota metropolitan ini.
Selama beberapa waktu, kami sempat tidak bertemu karena pandemi Covid-19. Yah, dari pada bikin perkara, kami memilih tetap tinggal di rumah masing-masing dan berkomunikasi dengan menggunakan telepon. Kadang kami ber-video call, atau ber-zooming kalau ingin membahas sesuatu.
Malam itu, seperti biasa kami bertemu. Sambil minum. Sejak pandemi, kami membawa minuman sendiri-sendiri dari rumah: ada yang membawa wedang jahe, ada yang membawa empon-empon, ada yang kopi, ada yang seneng teh, ada juga air putih saja.
Meskipun, sebenarnya di tempat kami bertemu disediakan minuman— jajanan dan sesekali nasi goreng atau bubur ayam.
Tidak ada agenda khusus setiap kali bertemu. Kami ngobrol. Ya, ngobrol saja, bertukar cerita, bertukar pengalaman, bertukar kisah sehari-hari.
Yang diobrolkan beragam: soal ekonomi, kondisi masyarakat karena covid, dan tentu politik yang biasanya sangat menarik, dengan tidak lupa beserta korupsinya.
Bicara politik, memang menarik.
Kata David Runciman, profesor politik dari Cambridge University, Inggris yang membedakan satu negara dengan negara lain adalah politik.
Runciman dalam bukunya Politics (2014) membandingkan antara Suriah dan Denmark.
Tujuh tahun lalu, Runciman menulis, “Jika Anda hidup di Suriah saat ini, Anda akan terjebak dalam semacam neraka: hidup menakutkan, kejam, tak terduga, miskin…..”
Suriah berantakan digenggam dan dipeluk perang saudara lalu menjadi perang sektarian, perang yang melibatkan kekuatan asing: AS, Rusia, Turki, Arab Saudi, Iran, dan negara-negara Arab lainnya.
Hasilnya?
Negara itu hancur. Rakyatnya menderita. Jutaan orang mengungsi, ke berbagai negara, utamanya Eropa. Mungkin, kisah yang mirip dialami Afganistan.
Tentang Denmark, Runciman menulis antara lain, “Jika Anda cukup beruntung untuk tinggal di Denmark, Anda berada dalam apa yang menurut standar sejarah adalah versi surga: hidup nyaman, makmur, terlindungi dan beradab, dan itu langgeng.
Dunia iri pada Denmark dengan restorannya yang fantastis, program televisinya yang berkelas, budaya desainnya yang elegan, ketentuan jaminan sosialnya begitu baik, gaya hidup ramah lingkungan. Orang Denmark secara teratur melaporkan bahwa mereka lebih bahagia daripada siapa pun….”
II
Semua itu, karena politik. Sebab, demikian tujuan mulianya kerja politik yakni untuk bonum commune, kemaslahatan bersama, kesejahteraan bersama.
Itu berarti kerja politik seharusnya bermartabat. Kalau tidak bermartabat, maka akan terjadi pembusukan politik.
Apabila para pekerja politik, tidak bermartabat, politik akan seperti hutan rimba, yang akan mengikuti hukum survival of the fittest (Herbert Spencer).
Hal itu terjadi, mungkin karena seperti diistilahkan oleh Amy Chua (2018), “humans are tribal.”
Dalam bahasa Romo Mangun (1997), politik bertujuan “untuk menciptakan tata hidup bersama yang menanamkan kerukunan dan persaudaraan, saling memekarkan dan yang membangun iklim budaya mulia, budi pekerti tinggi, yang menyemarakkan keindahan, yang memupuk kesetiakawanan dan menumpas egoisme, individualis maupun kolektivisme…”
Kata Romo Mangun, itu politik dalam arti asli kodrat alami, demi kehidupan dan penghidupan bersama yang sejahtera umum atau politik dalam dimensi moral (dan iman).
Tetapi, politik dalam aspek kekuasaan berbeda lagi.
Semua berkait dengan kekuasaan, termasuk memperebutkan, mempertahankan, melestarikan, menikmati kekuasaan.
Dalam hal ini termasuk kekuasaan mental, spiritual, rohani, agama, yakni yang berciri pemaksaan atau hegemoni kehendak oleh pihak yang lebih kuat kepada yang nisbi lemah.
Karenanya, ada anggapan umum, bahwa politik itu kotor.
Malam itu, kami ngobrol soal “politik kotor.”
Seorang kawan yang pernah menjadi pejabat daerah, kini menjadi anggota dewan yang terhormat mengisahkan pengalamannya tentang praktik politik kotor itu.
Yang dituturkan kawan itu membenarkan pendapat Cicero (106-43 SM), seorang negarawan Romawi.
Kata Cicero, politik itu mahkluk hidup. Bahkan dapat dikatakan mahkluk paling hidup yang pernah ada di dunia ini, dengan beribu-ribu otak, kaki, tangan, mata, pikiran, hasrat, nafsu, dan keinginan.
Dengan semua itu, ia (binatang politik) akan menggeliat, berputar, berlari, mencengkeram, menerkam, menggigit, dan kalau perlu menelan mentah-mentah semua lawannya.
Arah gerakannya pun kadang tak terduga. Terkadang—tetapi ini kerap terjadi—tindakannya semata-mata demi memuaskan diri sendiri.
“Praktik seperti yang terjadi di Probolinggo, banyak terjadi. Itu lho, tarif untuk mendapatkan jabatan,” kata kawan ngobrol malam itu.
Lalu kawan itu mengatakan, “Bahkan untuk menjadi satpam pun, harus mbayar. Istilahnya mbayar seragam. Tidak tanggung-tanggung, ‘harga’ seragam satpam itu: Rp 80 juta. Kan edan itu. Seumur-umur menjadi satpam, nggak mungkin ngumpulin uang untuk balik modal.”
Istilah “balik modal” itulah yang menjadi salah salah satu kata kuncinya mengapa orang korupsi.
Kami yang mendengar itu hanya bisa komentar pendek, “wow….” Sebelum kami memuaskan rasa heran, kawan itu sudah menambahkan, “Untuk jadi bayan tarifnya Rp 200 juta, jadi lurah Rp 100 juta, jadi carik Rp 500….”
Dan, kami pun semakin heran, sekaligus nggak bisa paham.
Mengapa mereka mau mengeluarkan uang sebegitu banyak? Hidup memang sebuah pilihan.
Ketika menjatuhkan pilihan akan berhadapan dengan dua pertanyaan sekurang-kurangnya: Quid prodest homini? Apa yang bermanfaat bagi manusia?
Dan, Quid delectat homini? Apa yang menyenangkan bagi manusia.
Yang pertama mengacu pada hidup yang efisien, tepat guna, bersahaja, dan berguna bagi sesama.
Sedangkan yang kedua, mengacu pada pemujaan hidup hedonis yang serba wah, gemerlap, terpandang, dihormati dan sebagainya sehingga mencari segala cara untuk mewujudkannya.
Kata kawan itu, “Menjadi pejabat, sekalipun tingkat desa kan terhormat. Yah, demi praja, gengsi….”
Itu baru tingkat desa.
“Benar, kekuasaan memang memesona,” komentar pendek sahabat dekat yang saya hormati.