I
DUNIA politik di negeri ini, memang menarik. Walau ada orang yang mengatakan, politik itu kotor, politik itu jahat, politik itu tak tahu malu, politik itu tegaan, politik itu cengeng, politik melankolis, politik itu penuh muslihat, dan lain sebagainya.
Tapi toh tetap ada saja, bahkan banyak, yang menggantungkan hidupnya lewat politik.
Banyak yang terjun ke dunia politik dengan mentalitas animal laborans. Yakni, memiliki orientasi kebutuhan hidup dan obsesi akan siklus produksi-konsumsi sangat dominan ketika terjun ke dunia politik.
Politikus seperti ini, kata Haryatmoko (2014), cenderung menjadikan politik sebagai tempat mata pencaharian utama. Sindrom yang menyertai salah satunya adalah korupsi.
Walhasil yang muncul adalah politisi-politisi semu (pseudo-politician), yang jauh dari kualitas dan kredibilitas.
Maka itu muncul berbagai macam politik: ada politik dagang sapi, politik pandang memandang, politik sontoloyo, politik Ken Arok, politik Kebo Ijo, politik kambing hitam, politik kumpul kebo, politik Nabi Nuh, politik Pinokio, politik Brutus, juga politik teror, dan mungkin masih banyak yang lain.
Tetapi tidak ada (minim) politik rendah hati, cinta yang berpolitik (political love), kesucian politik (political holiness), politik kemanusiaan, dan politik demokrasi.
Maka itu, tidak ada rasa malu politik.
Memang mustahil di zaman seperti sekarang ini mengharapkan adanya political love—meminjam istilah yang digunakan Sindhunata mengutip pendapat Jon Sobrino seorang teolog Teologi Pembebasan El Salvador—yakni politik yang membebaskan kaum miskin dari penderitaan ataupun political holiness, politik yang membela kaum miskin memperjuangkan keadilan dapat menjadi tanah subur bagi kesucian.
Sebab, politik lebih sibuk mengurusi tetek-bengek yang berkaitan dengan bagaimana merebut kekuasaan, bagaimana mempertahankan kekuasaan. Dalam rumusan Harold D Lasswell, ilmuwan politik AS, itulah politik dalam pengertian yang sangat pragmatis: siapa dapat apa, kapan, dan di mana?
Kadang terasa sangat pilu memperhatikan semua itu. Apalagi, sekarang negeri ini masih berjuang keras melawan amukan pandemi Covid-19. Di mana-mana diberitakan rumah-rumah sakit kehabisan tempat untuk menampung para pasien penderita Covid-19.
Mereka tidak hanya kehabisan tempat tidur, tetapi juga segala macam perlengkapan lainnya. Kalaupun ada, makin tipis persediaannya.
Setiap hari beredar video di media sosial yang mempertontonkan para pasien yang terpaksa ditampung di gang-gang rumah sakit, di halaman, bahkan ada yang di mobil pick-up.
Rumah-rumah sakit membangun tenda-tenda untuk menampung para pasien. Kamar-kamar mayat diberitakan penuh. Tukang-tukang gali kubur kecapaian, terkuras tenaganya. Tukang-tukang pembuat peti mati pun kewalahan menerima orderan.
Tenaga kesehatan yang mempertaruhkan hidupnya demi orang lain, benar-benar kehilangan hidup.
Sementara itu, masih ada juga anggota masyarakat yang menolak untuk menggunakan masker, diswab, divaksin, diatur untuk menaati protokol kesehatan.
Di mana-mana muncul para penghasut, dan juga provokator. Suara-suara sumbang meski tak berdasar terhadap usaha pemerintah mengatasi pandemi ini, juga masih bermunculan.
II
Tidak salah kalau seorang kawan mengatakan bahwa kita hidup di negeri dengan politik sangat ramai, tetapi sepele. Yang diramaikan hal-hal sepele.
Artinya, tidak ada hal-hal yang mendasarkan yang dipertarungkan, hal-hal yang mendebarkan dan menggetarkan hati, pikiran, dan mempengaruhi hajat hidup orang banyak.
Di tengah amukan pandemi Covid-19, muncul dua berita yang tidak tahu diri dengan situasi dan kondisi negeri.
Kedua berita itu, pertama tentang sejumlah calon presiden (termasuk yang merasa pantas menjadi) dalam berbagai survei.
Banyak nama muncul—sebenarnya bukan nama baru—yang disebut-sebut dalam survei yang dilakukan beragam lembaga survei.
Berita kedua, soal masa jabatan presiden dari dua menjadi tiga kali.
Kedua berita itu terus digoreng, dibakar, disangrai, direbus, dipanggang, bahkan diuapi oleh media-media sosial dan berbagai media lainnya.
Dengan cara itu, kedua berita itu dijadikan sebagai berita yang lebih penting dibandingkan dengan keganasan virus korona; dibandingkan dengan begitu banyak pasien yang tidak mendapatkan tempat di rumah-rumah sakit; dibandingkan dengan menumpuknya jenazah di kamar jenazah; dibandingkan sulitnya mencari ambulans; dibandingkan memberikan pemahaman, pendidikan kepada masyarakat yang masih belum paham—atau sengaja tak mau paham—tentang demikian bahayanya Covid-19 ini.
Sementara itu, hasil survei membuat banyak pihak terbata-bata—tidak hanya masyarakat, tetapi bahkan partai politik—juga menimbulkan banyak sinisme, pada saat yang bersamaan.
Beragam reaksi muncul dari sosok yang namanya disebut dalam survei.
Ada yang menanggapi biasa-biasa saja (masih sungkan, malu-malu) tetapi ada pula yang segera bergegas bergerak ke daerah-daerah melakukan berbagai aktivitas: beli beras, panen padi, makan pagi dengan tokoh yang lain, bersilaturahim dengan tokoh-tokoh di daerah, menggencarkan kampanye lewat media sosial.
Ada pula yang seperti di zaman Orde Baru segera muncul gerakan semacam “kebulatan tekad” mendukung seorang calon kandidat.
Tetapi, ada juga yang bersikap “adem ayem”, sembil menggenggam prinsip tidak mau nggege mangsa, nunggu saatnya tiba.
Yang di hatinya masih berdiam sebiji iman, maka masih percaya kata-kata bijak Cor hominis disponit viam suam: sed Domini est dirigere gressus eius—hati manusia memikir-mikirkan jalannya, tetapi Tuhanlah yang menentukan arah langkahnya.
Atau menurut Alcuinus (705-804), seorang guru dan penyair Inggris, “manusia yang merencanakan, tetapi Tuhan yang akan memberikan petunjuk.”
III
Mencari petunjuk. Itu yang dilakukan banyak elite politik.
Seorang tokoh yang sangat dihormati di negeri ini, salah satunya yang menjadi jujugan itu untuk dimintai petunjuk.
“Pak Trias, saya ini bukan politikus. Tetapi, sering didatangani tokoh politik Besok pagi akan ada tiga pimpinan parpol menemui saya. Pada tanggal 19 Juni juga akan ada seorang menko yang juga pimpinan parpol ingin ketemu. Saya tidak tahu apa yang mau dibicarakan.”
Tulis tokoh itu lewat WA tanggal 13 Juni lalu.
“Tidak salah kalau mereka sowan ke Bapak. Sebab, Bapak adalah satu dari sedikit Guru Bangsa yang ada di negeri ini. Pak, di negeri ini banyak orang merasa menjadi guru, tetapi tidak bisa digugu dan ditiru, baik ucapan maupun tingkah lakunya.”
Begitu balasan saya lewat WA.
Lalu saya tambahi, “Pak, ingatkan kepada mereka, bahwa pandemi Covid-19 masih meraja lela, makin ganas. Jangan mikir kekuasaan saja.