Artikel Politik: Sikap Nalar

0
379 views
Ilustrasi - Berpikir nalar by Good Audience

KETIKA penghayatan hidup dicoba alami pada arasnya, maka pengalaman dipandang sebagai bernilai.

Dalam abstraksi teoretis, itulah empirisme. Inilah “isme” yang menekankan pentingnya pengalaman. Dan tidak hanya berpikir tentang pengalaman. Alamiah sendiri dan ambil refleksi dari menghayati di akar bawah sehari-hari kehidupan.

Lawan dikotomik (sua pilah logika cara berpikir berhadapan yang dilawankan langsung) dari empirisme adalah rasionalisme.

Inilah cara pikir memakai rasio atau akal budi untuk mengetahui irisan kehidupan.

Rasionalisme sederhana dibeberkan sebagai membicarakan ‘tentang’ pengalaman hidup. Bila yang empiris itu dari bawah ke atas, maka rasionalisme dari atas (akal budi, rasio) mengabstraksi pengalaman dan menjadikannya pengetahuan tentang sesuatu.

Rasionalisme itu top down, dari atas ke bawah. Logika memperlawankan posisi empiris atau rasionalis juga disebut binary logic atau cara berpikir biner.

Perluasannya sebagai cara pikir tidak hanya melawankan isme pengalaman versus isme rasionalisme. Tetapi sehari-hari dalam bahasa akal sehat biasa. Semua kata perlawanan dimasukkan logika biner ini.

Misalnya: siang vs. malam, suka vs. duka, pagi vs. petang, manis vs. pahit, putih vs. hitam, dan baik vs. jahat.

Dikotomi atau logika biner ini segi positifnya mempertajam posisi lawan versus kawan. Berikutnya, berguna untuk menyederhanakan wacana dan menggolongkannya dalam dikotomi hitam versus putih.

Namun, langsung muncul masalah ialah tatkala irisan kehidupan yang tak bisa dibelah dalam dua (biner) yaitu ranah (wilayah) kualitatif.

Wilayah atau ranah kehidupan yang tidak bisa dibagi numerik, diangkakan karena yang kualitatif dalam bahasa kebudayaan (bahasa sistem makna dan nilai) disebut intangible. Terjemahan Indonesianya –saya tak begitu suka– yaitu ‘tak benda’ (yang tidak bisa ditangkap dengan panca indra kita).

Intangible adalah ‘tak benda’. Aedang yang tangible adalah bendawi.

Wilayah bendawi adalah wilayah yang bisa dikalkulasi, yang materi versus tak bendawi adalah immaterial atau spiritual, maka lawan kualitatif adalah kuantitatif = bisa dihitung, bisa diangkakan.

Dalam kebudayaan, logika dikotomik membagi ranah bendawi versus tak benda.

  • Yang bendawi adalah hasil karya kebudayaan yaitu candi, lukisan, buku, monumen kebudayaan.
  • Sedang yang tak benda adalah seni, pemikiran, peradaban.

Langsung memunculkan pertanyaan kritis mengenai keterbatasan logika biner atau bagi dua dikotomik ini yaitu di mana dimasukkan hasil kesenian atau hasil kemajuan kebudayaan yang wujud rupanya bisa diinderai, tetapi esensi dalamnya itu tak bendawi seperti ‘taksu’ (ruh, nyawa tetarian Bali) yang saat pentasnya menyatulah rupa tarian dengan geraknya. Hingga terjadi trance religius estetis dan harmoni antara penari dengan tariannya menyatu dahsyat hingga gerak tari tubuh menyajikan ‘taksu’ inti sari tariannya.

Keterbatasan logika dikotomi ini mengundang cara penalaran dialektika yang menengahi bahkan meningkatkan kutub-kutub yang dilawankan ke tingkat lebih sempurna dalam perjalanan logisnya.

Inilah logika dialektika, contoh langsung dalam kehidupan adalah posisi tesis dihadapkan dikotomik versus posisi anti tesis. Namun, kerangka berpikir ini memberi sumbangan buah penalaran dengan sintetis.

Artinya, yang positif dari tesis harus diambil dan yang positif dari antitesis juga diambil, lalu akan dihasilkan sebuah sintesis (hasil pengambilan yang positif-positif dari dikotomi tadi) menjadi sintesis yang dalam dinamika berpikir dan penalaran yang terus berproses.

Sintesis itu merupakan tesis baru yang berhadapan dengan antitesis baru dan akan membuahkan sintesis lagi begitu kehidupan manusia dari tilikan sudut penalaran berkembang dinamis sebagai dialektika.

Contoh nyata dialektika ini adalah:

  • Bapak yang tesis bertemu ibu yang antitesis akan membuahkan sintesis yaitu anak.
  • Anak sebagai sintesis, membawa karakter-karakter positif ayahnya dan watak ibunya sekaligus, lalu anak ini merupakan buah sintesis dari dialektikaan ayah dan ibu sebagai orang tua.
  • Sang anak menjadi tesis baru untuk bertemu isterinya dalam posisi antitesis, lalu membuahkan sintesis ‘anak’ yang merupakan cucu dari eyang lelaki dan eyang putrinya.

Ketika cara berpikir menjadi isi pendidikan dalam logika, maka penajaman penalaran ditujukan pada penalaran yang mau memakai anugerah Tuhan, yaitu akal budi rasional, artinya seperti dalam nasehat bijak ‘sapere aude’ = beranilah berpikir, eksplorasilah dengan budimu, sehingga nalarmu memadu hidup sehari-hari.

Dari sinilah penalaran dikembangkan menjadi edukasi untuk menyikapi kenyataan hidup, suka-duka kejadian dan peristiwanya dengan rasionalitas sebagai sikap.

Bila dinamika penalaran ditaruh dalam tahap-tahap peradaban (baca: proses untuk mengembangkan atau memajukan kebudayaan demi tujuan semakin berharkatnya manusia) secara garis lurus, maka ada tahap pra-logis: tahap di mana rasionalitas belum dibangunkan oleh pendidikan pencerahan kesadaran, maka pra-logis adalah tahap sebelum logika menjadi penyingkapan atau sikap hidup.

Tahap ini juga dinamai tahap mitis, di mana penjelasan atas peristiwa atau gejala kehidupan disumberkan pada kisah yang dipercayai sebagai kisah asal usul dengan mitos sebagai penjelasannya.

‘Mitos’ juga disamakan ‘dongeng’ untuk memberi uraian tentang gejala alam semisal petir yang ditangkap Ki Ageng Sela, kemudian lepas lalu menggelegar yaitu kilatan cahaya langit.

Padahal, pada tahap logis, rasionalitas menerangkan sebagai berpindah atau bertemunya energi elektro positif dengan elektro negatif.

Ketika akal budi atau rasionalitas menjadi pandu dalam menyingkapi realitas kehidupan, maka buahnya adalah sikap hidup yang sampai sekarang berdasar sudut penalaran kita kenal sebagai sikap hidup nalar, rasional atau lawannya irasional atau sikap mitis.

Kini jelas bahwa pembagian budaya benda dan tak benda berasal dari sikap menamai, merinci kenyataan dengan penalaran akal budi, untuk yang bisa dihitung secara angka dengan akal budi, untuk kuantitas: 100kg gula, bisa dihitung, bisa dikalkulasi. Sedang yang kualitatif, penalaran menemukan jalan buntu, karena itu rasa dan intuisilah yang menggantikannya dalam fungsi, merasai dengan hati tetap dengan rabaan lima indra.

Namun, hasilnya saat dikategori dan dirinci dengan nalar, maka tersisa rasa dan intuisinya yang mengambil peranan untuk membahasakan wilayah-wilayah yang tak bisa dirasionalkan dengan sikap rasional atau nalar akal budi.

Hasil seni dan kebudayaan dari akal budi merupakan sejarah pemikiran atau filsafat sebagai cara berpikir sistematis rasional menanyakan dasar-dasar adanya sesuatu dan menelusuri ‘episteme’, isi pengetahuan keberadaan sesuatu (ontologinya). Yang ingin digaris-bawahi dalam tulisan ini adalah fokus penalaran sebagai sikap terhadap kenyataan dan peristiwa-peristiwa hidup.

Sikap rasional terhadap realitas kembali ke jalan pikiran dikotomik akan dilawankan dengan sikap irasional. Bila ada hipotesis menanyakan dengan akal budi rasional: Mengapa bangsa ini dijajah lama oleh Belanda, VOC, dan pemerintahannya? Karena cara pikirnya yang mitis atau ada soal mengenai sikap irasionalitas?

Di sini, para pendiri bangsa terutama Bung Hatta langsung berpikir jauh ke depan dengan jalan keluar satu-satunya untuk keluar dari sikap mitis yaitu pendidikan mencerdaskan kehidupan bangsa. Kunci untuk keluar dari kesengajaan sistemik struktural kultural oleh penjajah Belanda menaruh bangsa ini tetap ‘terbelakang’.

Diajari ekonomi hanya sebatas tukang mencatat keluar masuk barang; dididik ilmu kesehatan hanya sebatas jadi mantri kesehatan dan ditaruh sebagai priyayi untuk tangan penguasaan pribumi rakyat jelata demi kepentingan kolonial.

Sikap rasional itu akan menyikapi keadaan dengan analisis akal budi, mempertanyakan mengapanya? Memakai logika biner dengan melawankan, bila jumpa hoaks atau kabar bohong akan mencari lawannya yaitu pendapat yang lain tidak serta merta menerimanya sebagai mitos tanpa dicek rasional. 

Sikap rasional dialektis paling maju untuk tak hanya menimbang secara akal sehat dalam pola penalaran ada asap tentu ada api, maka ada akibat dicari rasionalitasnya dari sebab.

Dialektika lebih jauh akan menjadi sikap rasional dalam perang ‘kebenaran’ versus ‘kebohongan’, disikapi sebagai tesis misalnya hoaks, lalu antitesisnya dicari diskursif dengan akal sehat ‘googling’ atau cek dan riceknya sampai kemudian diskresi untuk nilai demi negeri atau sesama dicari solusi dalam sintesis yang dekat dengan sebagian besar cara pikir kita yang mengiyakan kebaikan yang membangun. Namun secara santun membuang busuk dalam sikap: “begitu ya begitu, namun janganlah begitu, bung atau kak!”

Dalam sikap nalar dialektis sintesis begitu ya begitu, sebenarnya sudah ditransformasikan sisi rasa ke dalam logika dialektika dengan mengundang rasa itu dan intuisinya ke diskresi akal sehat plus.

Mengapa plus?

Lantaran diundangnya rasa untuk menimbang dalam diskresi tak hanya rasional saja hingga mengangkat kualitas sintesis sekaligus dengan unsur rasionalitas dan rasa intuisi. Hasilnya: mengangkat ke kualitas ‘transformasi’ sintesisnya.

Dialektika berpikir ini dapat memandu kenyinyiran kritik mengkritik di saat saling menegasi dan mengecilkan sesama untuk membesarkan ego sendiri sedang berlangsung dahsyat.

  • Tesisnya adalah kritiklah demi perbaikan sistem atau kebijakan.
  • Antitesisnya  adalah kritik destruktif = kebijakan itu bodoh atau bahasa negatif yang aktual (dungu).

Jadi dihasilkan model mengkritik itu bisa negatif destruktif pada hal dibutuhkan buah kebaikan semua adalah kritik yang kritis.

Sintesisnya buatlah dengan data dan argumentasi ditambah alasan rasional kritik yang kritis, namun transformatif. Artinya menyumbang solusi yang memberi jalan keluar, sehingga mampu memberi perubahan transformatif buat kepentingan bersama.

Pola serupa, selalu muncul sikap rasional pesimis terhadap realitas (justru pesimis karena rasional menegaskan air di dalam gelas itu tinggal separuh, sia-sia tak bisa untuk memuaskan seluruh dahaga haus).

Sikap lawannya adalah optimis yaitu air di gelas masih setengah, masih bisa diminum. Tetapi jalan ketiga sikap riil di antara optimis versus pesimis adalah sikap realis.

Saat seperti sekarang pandemik ini, butuh lebih banyak sikap realis justru di saat asa harapan harus ditumbuhkan karena sedang turun ke negatif bilang asa.

Maka untuk menutup baik bila menyikapi realitas yang bergejala sikap logis orang yang selalu menengecilkan pendapat yang lain yang sudah mulai optimis.

Misalnya vaksin Covid-19 yang sedang diuji klinis tahap tiga, yang optimis berbesar hati nanti Desember semogalah sudah bisa diedarkan dengan harga Rp. 75.000,-.

Mengapa kita tidak mendukung optimisme ini demi saling meneguhkan dalam proses encouraging (baca: meneguhkan, mendukung).

Bukan sebaliknya, melawannya dengan mengecilkan sumbu optimis sambil ‘rasional’ mengatakan “ah itu yang berhasil 10% saja atau masih harus diuji coba jumlah besar lagi”.

Inilah tindakan dan komentar-komentar discouraging yang sayang sekali diucapkan oleh orang yang rasional ahli di soal ini.

Memang batu ujian 100 kepala orang akan terdapat 1000 lebih logika dan pendapat berbeda.

Namun, justru dalam kebhinekaan bangsa yang dianugerahi kekayaan alam dan tahan banting warganya menghadapi setiap krisisnya, mengapa kita tidak berusaha bersikap realis rasional? Menularkan virus encouraging optimis untuk saling merajut daya tahan bangsa menghadapi pandemik ini sebagai pandu-pandu pertiwi?

Ini perlu dilakukan,  sebagaimana tiap kali kita nyanyikan sebagai bangsa berharkat dan merdeka dalam lagu kebangsaan Indonesia Raya buah cipta transformatif demi bangsa dari Wage Rudolf Soepratman.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here