Artikel Politik: Sore Itu, Kami ke Kafe

0
397 views
Kafe Grecco di Roma by Roma Sparita

VIA dei Condotti adalah salah satu jalan yang sangat eksklusif di Roma. Di sepanjang jalan itu berjajar toko-toko milik para designer kondang. Dan lewat jalan itu orang dapat pergi ke Spanish Steps, yakni tangga lebar yang sudah ada sejak 1723.

Di Via dei Condotti 86 itulah Kaffe 1760 Greco berada. Caffe Greco, begitu dikenal meski di dinding depan bagian luar bangunan kafe ditulis “Antico Caffe Greco.”

Inilah kafe tertua di Roma. Kafe ini sudah berumur 259 tahun. Angka 1760 yang antara lain dituliskan pada jendela kaca depan kafe, menunjukkan tahun kafe didirikan.

Sore itu, kami berlima—Duta Besar RI untuk Tahta Suci Agus Sriyono dan istri, Astuti Sriyono, saya dan istri, Atie Nitiasmoro, serta anak, Abishai Sahadeva—ke Kafe Greco. Ini kali yang kedua saya mengunjungi kafe kondang itu. Yang pertama dua tahun lalu bersama Duta Besar RI untuk Italia merangkap Siprus, Malta, San Marino, FAO, IFAD, WFP, dan UNIDROIT August Parengkuan.

Meskipun kami berlima, tetapi hanya saya sendiri yang minum kopi. Kendatipun saya bukan peminum kopi dalam kategori fanatik, seperti orang-orang yang fanatik dalam banyak hal dan tidak mempedulikan, menutup mata pada orang lain. Saya hanya termasuk peminum kopi dalam kategori pergaulan sosial saja.

Pak Dubes Agus, minum teh, karena dia memang tidak bisa minum kopi. Anak saya, minum es coklat, demikian pula Bu Astuti dan istri saya. Inilah demokrasi, di warung kopi yang sangat terkenal, yang sarat sejarah, tidak minum kopi, tetapi minum coklat dan teh.

Kafe memang telah sejak awal mula menjadi simbol dari demokrasi. Di kafe orang tidak hanya minum kopi tetapi juga bisa berdiskusi, membicarakan berbagai hal, ngobrol, dan mendengarkan musik. Itulah sebabnya, kafe pun menjadi tempat yang demikian penting untuk bertukar informasi. Karena itu, dulu kafe disebut sebagai “Sekolah Kebijaksanaan.”

Sejarah kopi dan kafe mengisahkan, minuman kopi (tanaman kopi ditemukan di Ethiopia, lalu sekitar abad ke-15 menyebar ke Semenanjung Arab, dan abad ke-16 dikenal di Persia, Mesir, Suriah, dan Turki) yang semula dinikmati di rumah-rumah saja, kemudian keluar rumah dan dinikmati warung-warung coffee (kopi, kaffee, qahwa, kahve, atau kofe), “qahveh khaneh.”

Makin lama, “qahveh khaneh”, kafe makin dikenal, terkenal, dan populer serta menjadi tempat berbagai kegiatan sosial. Dan, pada awal abad ke-16, telah menjadi “meeting point”, titik pertemuan banyak orang dari pelbagai lapisan masyarakat.

Pada awal abad ke-17, masuk ke Eropa melalui pedagang Venesia. Ketika itu, kalangan Gereja Katolik menentang minuman yang dikenal sebagai “anggur Arab” tersebut. Ketika Paus Clement (1536-1605) diminta untuk menyatakan “minuman hitam pekat” itu sebagai penemuan setan, Paus menjawab, “Biarkan aku mencicipinya terlebih dahulu.”

Setelah mencicipinya, Paus mengatakan, “Minuman iblis ini begitu lezat…” Sejak itu, kopi menyebar ke seluruh Eropa. Warung kopi, kafe, pertama dibuka di Venesia pada 1645. Di London kafe dibuka pada 1652 oleh Pasqua Rosee pembantu seorang pedagang dan imigran dari Smyrna Ottoman yang dikenal dnegan nama “TheTurks Head.” Dan, di Paris pada 1672 oleh Pascal yang berasal dari Armenia, meskipun kopi sudah dikenal di pelabuhan Marseille pada 1644.

Banyak literatur tentang para filsuf dan pemikir filsafat politik di Eropa yang menghasilkan gagasan-gagasan besarnya saat duduk ngopi di kafe. Jauh sebelumnya hal seperti itu terjadi di Timur Tengah.

Lebih dari 100 tahun kemudian, kafe memainkan peranan penting dalam Revolusi Perancis (1789). Jean-Jacques Rousseau (1712-1778) filsuf yang karya-karyanya mempengaruhi para pemimpin Revolusi Perancis dan generasi Romantik, Denis Diderot (1713-1784), dan François-Marie Arouet atau Voltaire (1694-1778) adalah sedikit dari banyak tokoh besar yang sering nongkrong di kafe, dan menghasilkan pikiran-pikiran besar di tempat itu.

Ini menjadikan kafe sebagai hotspot politik dan budaya. Ide-ide besar seperti “liberté” (kebebasan), “ėgalité (keadilan), dan “fraternité” (persaudaraan), juga keinginan adanya pemerintahan konstitusional, serta kemarahan terhadap penyelewengan Gereja dan Negara, banyak dibicarakan di kafe.

Di kafe lah kerap terjadi perdebatan antara Jean-Paul Marat (1743-1793, seorang wartawan, politisi, dan ahli fisika), Maximilien Robespierre (1758-1794, pemimpin kaum Jacobin radikal, salah satu tokoh utama Revolusi Perancis), dan Napoléon Bonaparte (1769-1821) muda (Bonjourparis.com, 26 April 2016).

Sejarawan Brian William Cowan (2005) mengatakan kafe sebagai “tempat orang berkumpul untuk minum kopi, mendengarkan berita, dan barangkali bertemu dengan warga lain untuk mendiskusikan hal-hal yang menarik banyak orang pada hari-hari itu.” Topik yang dibicarakan pun beragam.

Karena biasanya kafe tidak menyediakan minuman beralkohol—hanya teh, kopi, dan kadang soft drinks—maka terciptalah atmosfer yang memungkinkan orang bisa berbicara, berdiskusi secara serius ketimbang di pub atau bar, misalnya, yang menyediakan minuman beralkohol. Di kafe itulah muncul pikiran-pikiran, gagasan-gagasan cemerlang, karena pikiran orang masih waras.

Kini kalau kita masuk kafe kopi, kita akan menemukan banyak orang melakukan berbagai kegiatan: memeriksa berita, menulis esai, membaca cerita dan mengobrol dengan teman-teman.

Kita dapat memperoleh berita dari internet, bukan dari tetangga dan menulis di laptop, bukan lagi di atas kertas, mengirim WA ke teman alih-alih berbicara dengan seseorang di sebelah kita dan mengikuti kenalan lama di Facebook, berkabar melalui WA ke orang rumah.

Orang-orang kini, menggunakan kafe untuk mendapatkan berita, bertukar ide, membahas politik, mendengarkan cerita atau sekadar bercengkerama. Bahkan hanya sekadar nongkrong berjam-jam sambil menghabiskan waktu.

Hampir dua jam kami berlima nongkrong di Caffe Greco. Pak Dubes dan saya ngomong berbagai hal mulai dari pidato Cicero di depan Senat, Julius Caesar yang dikhianati Brutus, Niccolo Machiavelli, radikalisme, toleransi dan intoleransi, pemilu, sampai hal-hal kecil kenangan masa kuliah.

Bu Astuti dan istri, entah ngobrolin apa. Sementara anak saya asyik sendiri.

Kami seperti mengikuti pemilu; pemilu adalah perayaan perbedaan. Dan, kami merayakan perbedaan, dalam hal minum, dengan penuh suka cita.

Memulai dengan sukacita dan mengakhiri pun dengan penuh sukacita. Sebenarnyalah, itulah demokrasi, suka cita dalam perbedaan yang menyatukan.

PS:

  • Artikel ini sudah naik tayang di tautan https://triaskun.id/2019/07/19/sore-itu-kami-ke-kafe/‎

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here