KETIKA itu, tahun 1966. Di tahun itu, saya berada di Krakow, Polandia.
Begitu sahabat dari Rydultowy, mengawali surat pendeknya lewat WA. Rydultowy adalah sebuah kota di Polandia bagian barat-daya, hanya beberapa kilometer dari perbatasan Republik Czech.
Sementara Krakow yang juga di Polandia bagian selatan lebih dekat dengan Slovakia. Letak kedua kota itu, dalam peta terlihat segaris.
Krakow adalah salah satu kota tertua di Polandia. Kota ini, berdasarkan temuan dan bukti-bukti arkeologis sudah dihuni sejak Zaman Batu, periode Palaeolitik. Menurut legenda, Krakow didirikan di atas situs sarang Naga Wawel yang ditaklukan oleh Pangeran Krakus.
Begitu membaca kata Krakow, ingat film Schindler’s List (1993). Film drama sejarah ini disutradarai oleh Steven Spielberg. Film ini berlatar situasi Krakow pada zaman PD II.
Lima hari setelah PD II pecah, 6 September 1939, tentara Nazi Jerman menginvasi Krakow dan menjadikan Krakow sebagai ibu kota Pemerintahan Umum—sebuah wilayah baru yang dibuat dan diperintah oleh Nazi Jerman.
Ketika itu, di Krakow hidup sekitar 70.000 orang Yahudi yang kemudian dimasukkan ke ghetto. Lalu, dikirim ke kamp-kamp konsentrasi, seperti Auschwitz. Dari sinilah cerita Schindler’s List berawal.
Adalah Oskar Schindler, seorang Jerman anggota Partai Nazi pemilik pabrik, yang menyelamatkan hampir 1.100 orang Yahudi karena dipekerjakan di pabriknya yang mensuplai kebutuhan tentara Jerman selama PD II.
Mereka lolos dari keganasan Nazi.
Krakow lepas dari tangan Nazi Jerman pada tanggal 18 September 1945. Tetapi, nasibnya bagaikan lepas dari mulut harimau masuk ke mulut buaya. Karena sejak itu, Krakow dan seluruh Polandia ada di bawah kekuasaan rezim komunis dukungan Uni Soviet, dan bahkan Polandia menjadi negara satelit Uni Soviet. Dan, baru lepas pada tahun 1989, setelah rezim komunis ambruk.
Sebelum rezim komunis ambruk, pada tahun 1978 UNESCO menyatakan Krakow sebagai Situs Warisan Dunia. Pada tahun yang sama, Uskup Agung Krakow, Kardinal Karol Józef Wojtyła terpilih menjadi Paus, yang kemudian bernama Paus Yohanes Paulus II dan dikenal membantu serikat buruh “Solidarity”, yang secara damai melawan rezim komunis. Pemimpin serikat buruh Lech Walesa menjadi presiden pertama Polandia selepas matinya komunisme di negeri itu.
Ketika Polandia, tak terkecuali Krakow, di bawah kekuasaan rezim komunis itulah, cerita ini terjadi. Situasi sosial dan politik kemasyarakatan di Polandia yang dikuasai rezim komunis, menjadi salah satu yang membuat sahabat dari Rydultowy sangat tertarik, terkesan, dan terhipnotis dengan apa yang dijelaskan oleh Wakil Duta Besar Indonesia untuk Polandia waktu itu.
Suatu hari, tulis sahabat dari Rydultowy, lebih dari 50 tahun silam tetapi saya sudah lupa bulan apa dan tanggal berapa, untuk pertama kalinya saya mendengar tentang Pancasila.
Wakil Duta Besar mengunjungi biara SCJ, kependekan dari Sacerdotum a Sacro Corde Jesu atau Kongregasi Imam-Imam Hati Kudus Yesus, salah satu kongregasi imam Katolik. Kunjungannya waktu itu berkaitan dengan pengiriman misionaris Polandia ke Indonesia. Para misionaris SCJ sudah hadir di Indonesia sejak tahun 1924.
Saya sudah lupa siapa nama wakil duta besar Indonesia untuk Polandia yang menjelaskan tentang Pancasila itu. Yang saya ingat, istrinya cantik, anaknya dua. Tetapi, yang lebih mengesankan lagi bagi saya, bahkan saya seperti terhipnotis ketika mendengarnya, dan akhirnya mendorong saya untuk ke Indonesia, adalah uraiannya tentang Pancasila.
Barangkali kalau sahabat dari Rydultowy, ketika itu sudah mendengar apa yang dikatakan oleh Notonagoro akan lebih terkesan dan tertarik lagi pada Pancasila.
Menurut Notonagoro, Pancasila adalah mono-dualisme, perpaduan antara nilai-nilai spiritual dan tuntutan pemuasan material (manusia adalah kesatuan badani-ruhani; manusia adalah pribadi tetapi sekaligus insan sosial). Pancasila adalah buah hasil permenungan jiwa yang dalam, buah hasil penyelidikan cipta yang teratur dan seksama di atas basis pengetahuan dan pengalaman yang luas (Notonagoro, 19 September 1951).
Sementara, Kuntowijoyo (1997), yang menjelaskannya dalam istilah budaya Jawa menyebut Pancasila adalah loro-loroning atunggal. Kepandaian memadukan yang abstrak dengan yang konkret, yang absolut-universal-abadi dengan yang relatif-partikular-sementara, dan yang ukhrawi dengan yang duniawi.
Dalam rumusan lain, Romo Nicolaus Drijarkara berpendapat Pancasila berada di tengah agama dan sekularitas, di mana agama tidak bisa mengintervensi negara ataupun sebaliknya. Driyarkara juga mengungkapkan bahwa isi Pancasila adalah humanisme yang sosialistis.
Sebagai Dasar Negara mengandung tujuan untuk kesejahteraan umum (Sudiarja, 2006).
Saat itulah untuk pertama kali, di Krakow, saya tahu tentang Pancasila dan kelima silanya: Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang adil dan beradab, Persatuan Indonesia, Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan, dan Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Wakil Duta Besar menjelaskan masing-masing sila, satu per satu. Penjelasannya mudah dipahami, tidak bertele-tele dengan menggunakan bahasa Inggris sangat lancar yang kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Polandia.
Saya tahu isi penjelasannya setelah diterjemahannya dalam bahasa Polandia.
Yang masih saya ingat, misalnya, ketika ia menjelaskan tentang Sila Pertama, Ketuhanan Yang Maha Esa. Ketuhanan Yang Maha Esa berarti percaya dan Takwa kepada Tuhan Yang Maha Esa sesuai dengan agama dan kepercayaan masing-masing menurut dasar kemanusiaan yang adil dan beradab.
Hormat menghormati dan bekerja sama antar-pemeluk agama dan penganut-penganut kepercayaan yang berbeda-beda sehingga terbina kerukunan hidup. Saling menghormati kebebasan menjalankan ibadah sesuai dengan agama dan kepercayaannya. Tidak memaksakan suatu agama dan kepercayaan kepada orang lain.
Nilai-nilai Ketuhanan yang dikehendaki Pancasila adalah nilai Ketuhanan yang positif yang digali dari nilai-nilai profetis agama-agama yang bersifat inklusif, membebaskan, memuliakan keadilan dan persaudaraan.
Ketuhanan yang lapang dan toleran yang memberikan semangat kegotong-royongan dalam rangka pengisian etika sosial dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Dengan demikian Ketuhanan Yang Maha Esa menjadi dasar yang memimpin ke jalan kebenaran, keadilan, kebaikan, kejujuran, dan persaudaraan (Yudi Latif, 2011).
Menurut Notonagoro (1974), “Sila pertama: Ketuhanan Yang Maha Esa adalah meliputi dan menjiwai sila-sila kemanusiaan yang adil dan beradab, persatuan Indonesia, kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawarat/perwakilan, keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Dalam rumusan lain Bung Hatta (1956) mengatakan, “Dasar Ketuhanan Yang Maha Esa jadi dasar yang memimpin cita-cita negara kita, yang memberikan jiwa kepada usaha menyelenggarakan segala yang benar, adil, dan baik.”
Oleh karena itu, meminjam ungkapan Mochtar Pabottingi (2001), “Kita memerlukan kehidupan agama yang menghormati mekanisme dan kebajikan demokrasi dan kita memerlukan demokrasi yang menghargai ritus, amal, dan terutama kebajikan agama.”
Uraian dan penjelasan Wakil Duta Besar di sebuah biara di Krakow, kota yang dikenal sebagai Ibukota Budaya Eropa itulah yang telah membuat saya sangat tertarik untuk ke Indonesia.
Setelah pertemuan dengan Wakil Duta Besar itu, saya menulis artikel khusus tentang Pancasila yang dimuat di majalan intern biara. Saya masih ingat judul artikel itu, “Begitu jauh, namun demikian dekat.”
Setahun kemudian, tanggal 16 Oktober 1967, saya mendarat di Halim Perdanakusuma. Kini, sesudah sekian tahun tinggal dan hidup di Indonesia, saya semakin sadar betapa Pancasila dapat dibanggakan.
Tetapi, mengapa banyak orang Indonesia yang tidak membanggakan, bahkan ada yang tidak suka. Padahal, saya yang berdarah tulen Polandia ini sangat bangga dengan Pancasila. Kepribadian bangsa Indonesia terjelma di dalam dasar Pancasila.
Bung Karno sebagai penggali Pancasila pernah mengatakan saat berpidato di Bandung, 16 Maret 1958, “Apa yang kuperbuat hanyalah menggali lagi mutiara lima dari bumi Indonesia itu, dan mutiara lima ini aku persembahkan kepada bangsa Indonesia, yang berupa lima dasar daripada Pancasila.”
Tetapi, sungguh, saya tidak bisa paham, mengapa banyak orang tidak tahu dan tidak mau tahu, tidak mau menerima mutiara yang sangat indah itu.
Siapa yang harus dipersalahkan? Para guru? Orangtua? Para pemimpin? Juga ada suatu masa, zaman Orde Baru menangani Pancasila secara paksa tanpa mendidik rakyat.
Sampai sekarang, saya masih ingat betapa ketika itu saya sangat mengagumi Pancasila dan penciptanya. Dasar negara ini tidak dimiliki negara lain.
Dengan Pancasila menjadi dasar negara maka semestinya manusia Indonesia menjadi manusia yang berkeadilan sosial, berdemokrasi, berkebangsaan, berperikemanusiaan, dan berke-Tuhan-an Yang Maha Esa. Kelimanya itu harus mendarah daging dalam diri setiap Warga Negara Indonesia.
Akan tetapi, ini yang membuat sahabat dari Rydultowy sangat prihatin, sikap yang rasis, diskriminatif, atau mengumbar kebencian di ruang publik secara massif, terang-terangan yang sangat bertentangan dengan konsep manusia Pancasila, masih tetap ada.
Bahkan, sampai hari ini masih bisa terjadi di tengah-tengah masyarakat Indonesia.
Mengapa bisa demikian? Itu pertanyaan terakhir sahabat dari Polandia, di ujung surat pendeknya.