Artikel Politik: “Wong Pinter” dan “Wong Keminter”

0
814 views
Ilustrasi --Arogan, jumawa, sok merasa diri paling pinter (Dreamstime)

TULISAN yang dicoretkan pada bak truk itu tidak bagus, dalam arti tidak rapi. Ukuran hurufnya pun tidak sama; besar kecil. Tetapi, maknanya sangat dalam: Aja Keminter Mundak Keblinger, jangan merasa paling pandai agar tidak sesat pikiran.

Tidak tahu siapa yang menulis pesan filosofis itu. Apakah sopir truk? Apakah yang punya truk? Biasanya, tulisan-tulisan yang dicoretkan pada bak truk, lucu-lucu membuat yang membacanya senyum-senyum.

Misalnya, Cinta Sopir Hanya Sebatas Parkir; Cintamu Tak Seberat Muatanku; Ya Allah Jauhkanlah Aku dari Ibu-ibu Naik Motor yang Seinnya ke Kiri tapi Belok ke Kanan; Putus Cinta Sudah Biasa, Putus Rokok Merana, Putus Rem Matilah Aku; Kutunggu Jandamu, dan masih banyak lagi.

Beda makna

Tentu, kata keminter tersebut tidak ada hubungannya dengan istilah “wong pinter.”

Kata keminter berarti merasa paling pandai. Tetapi, istilah wong pinter ada yang mengartikan sebagai orang yang mempunyai jiwa penolong dengan tanpa meminta imbalan, orang-orang yang bermoral (bertingkah laku baik), mempunyai kemampuan untuk membantu penyembuhan, membantu mendoakan karena mereka dianggap manjur doanya, dan mereka biasanya memberikan nasihat kepada siapa pun yang mendatanginya untuk minta doa dan petunjuk.

Satu hal yang perlu dicatat adalah wong pinter sangat peduli dengan moralitas. Mereka ini sepi ing pamrih, tidak memiliki vested interest dan total pasrah sumarah.

Karena itu, Agustinus Sutiono (2014) dalam tesisnya mengartikan wong pinter pemikir atau filsuf lokal yang mencoba memahami lingkungan mereka sambil mencoba menawarkan solusi untuk masalah yang dihadapi oleh orang-orang sezaman mereka.

Sementara Niels Mulder (1970) memandang mereka sebagai pemimpin karismatik menurut pengertian Weberian. Kepemimpinan karismatik disebutkan oleh Max Weber sebagai suatu anugerah berupa kualitas yang luar biasa, karisma inilah yang bisa membuat mereka (seorang pemimpin) mampu memberikan motivasi-motivasi kepada para pengikut mereka sehingga dapat mencapai kinerja yang maksimal.

Dengan demikian, wong pinter tidak akan keminter seperti yang sekarang ini banyak muncul di mana-mana: di televisi, di radio, di sosial media, dan di forum lain. Banyak orang, di zaman kiwari ini, merasa paling pinter dan menganggap orang lain bodoh, dungu, tolol.

Tak jarang orang-orang yang merasa “sok pinter” itu ngomong suka-suka, lebih senang mengritik, mengecam, menghina, meledek, mengejek dan merendahkan orang lain di forum resmi, seperti di televisi, tanpa memberikan jalan keluar.

Barangkali, memang mereka itu pintar. Tetapi, tidak berhati nurani. Padahal—hati  nurani—adalah yang membedakan manusia dari ciptaan lain di dunia ini.

Yang membedakan manusia dengan ciptakaan lainnya, semisal binatang, adalah manusia memiliki akal budi, kehendak bebas, dan hati nurani.

Dengan akal budinya, manusia dapat mengerti dan menyadari dirinya dan dunia sekitarnya, dapat mengembangkan hubungan yang khas antarmanusia dan dapat membuat kemajuan. Hewan atau ciptaan lainnya, misalnya, tak dapat melakukan itu.

Dengan kehendak bebasnya, manusia dapat bertindak. Yakni melakukan sesuatu dengan sengaja dan bertanggung jawab. Dalam rumusan filsuf Italia, Thomas Aquinas (1225-1274) berbunyi Agere sequitur esse, cara bertindak sesuai dengan cara beradanya. Cara bertindak manusia, misalnya, tentu berbeda dengan cara bertindak hewan, binatang.

Aquinas membedakan antara “kegiatan manusiawi” (actiones humanae) dan “kegiatan manusia” (actiones hominis).

  • “Kegiatan manusia” adalah segala macam kegiatan yang terjadi begitu saja tanpa disengaja. Misalnya, bernapas, berkedip secara spontan, dan sebagainya. Kegiatan tersebut di luar kuasa manusia. Oleh karena itu, tidak dapat dipertanggung jawabkan. Dari sudut moral, kegiatan ini tidak berkualitas: tidak baik dan tidak buruk.
  • Sedangkan “kegiatan manusiawi” adalah segala macam kegiatan yang khas bagi manusia, yang tidak ada pada organisme lain. Kegiatan ini adalah tindakan dengan sengaja dilakukan, dengan segala kebebasan sebagai manusia. Atas tindakan semacam ini, manusia bertanggung jawab. Maka tindakan ini menentukan kualitas moral manusia (Simon Petrus L Tjahjadi; 2004).

Maka itu, keminter bisa dikatakan termasuk “kegiatan manusiawi”. Tindakan yang sengaja dilakukan berdasarkan kehendak bebas. Akan tetapi, tindakan berdasarkan kehendak bebas itu, dilakukan tanpa didasarkan pada akal budi dan hati nurani yang menentukan kualitas moral manusia.

Bukankah perintah moral paling dasar adalah bonum est faciendum et malum vitandum, melakukan yang baik dan menghindari yang jahat?

Itulah tindakan berdasarkan hati nurani. Hati nurani berfungsi sebagai pegangan, pedoman, atau norma untuk menilai suatu tindakan: apakah tindakan itu baik atau buruk.

Hati nurani berfungsi sebagai pegangan atau peraturan-peraturan konkret di dalam kehidupan sehari-hari. Hati nurani berfungsi untuk menyadarkan manusia akan nilai dan harga dirinya.

Akan tetapi, dengan berlaku keminter, hati nurani dan akal budi yang membedakan manusia dan hewan, telah ditinggalkan. Dengan bertindak keminter, seseorang telah menempatkan diri sebagai lebih unggul, lebih hebat, lebih pantas, lebih mumpuni, lebih bermoral, lebih tanpa cacat dibanding orang lain.

Tetapi, semua itu–yang sayangnya, sekarang ini banyak dilakukan oleh elite masyarakat, elite politik, atau mereka yang menganggap dirinya cendekiawan–hanyalah perasaan sepihak mereka.

Dan, celakanya lagi, mereka itu merasa–sekali lagi, merasa–lebih pantas, lebih mampu, dan paling bisa memimpin negeri ini sekaligus menyelesaikan persoalan bangsa yang sekarang ini demikian berat. Apalagi ditambah dengan pandemi Covid-19.

Jumawa

Banyak orang–bahkan kalangan terpandang, kelangan elite masyarakat, dan politik–secara terang-terangan penuh kejumawaan menghayati prinsip sapa sira sapa ingsun (mengunggulkan diri sendiri), adigang-adigung-adiguna (merendahkan orang lain), golek menange dhewe (mencari kemenangan sendiri, sementara orang lain harus dikalahkan, menganggap dirinya paling benar).

Bahkan, karena nafsu akan kekuasaan, orang menjadi merkengkong, hatinya bagaikan besi tua, sulit diingatkan orang lain walaupun salah. Yang lebih beberbahaya lagi, mereka ini didukung oleh para gedibal-nya (kroninya).

Orang-orang semacam itu, seringkali akan menghalalkan segala macam cara–Macheviallian–untuk merobohkan dan mengubur kebenaran.

Padahal, meskipun kebenaran sering dikorbankan tetapi ia tidak pernah akan mati, veritatem laborare nimis saepe, exstingui numquam. Dan, orang yang memupuk watak merkengkong, biasanya penuh tipu muslihat dengan berbagai cara.

Para leluhur kita telah menasihati, sebaiknya orang itu bagaikan gong lumaku tinabuh, jika menjadi orang pandai biasanya tidak akan mengobral kepandaiannya.

Tetapi, bersedia memberikan sesuatu–tanpa pamrih–kepada siapa saja yang membutuhkannya.

Yang terjadi sekarang ini justru penuh pamrih—maksud  yang tersembunyi dalam memenuhi keinginan untuk memperoleh keuntungan pribadi—itu  yang dinomorsatukan.

Pamrih atau bahkan nafsu atau syahwat berkuasa menjadi sesuatu yang sangat kentara ada pada sementara elite masyarakat, tokoh masyarakat (atau merasa menjadi tokoh masyarakat) dan politik walau dibungkus dalam kemasan yang rapi.

Mengapa orang bernafsu untuk meraih, memegang kekuasaan? Sebab, kekuasaan segala-galanya dalam kehidupannya: kehormatan, status sosial, uang, dan juga kenikmatan hidup. Tentu hal seperti itu berlaku bagi mereka yang memburu kekuasaan sebagai tujuan, bukan sarana atau alat untuk menciptakan kesejahteraan bagi sesama.

Padahal, semestinya, kekuasaan itu pertama-tama adalah peduli, perhatian pada orang lain, dan melayani memberikan peluang bagi seseorang yang memegang kekuasaan untuk mendapatkan orang lain. Dimensi kekuasaan mengaitkannya dengan kebijakan dan tanggung jawab sosial. Singkat kata, kekuasaan harus memberikan kemaslahatan bagi sesama, bonum commune.

Mengapa demikian? Karena, manusia adalah makhluk yang berpribadi dan bermartabat. Begitulah wong pinter—seperti di atas sudah disebut sebagai orang-orang yang mempunyai jiwa penolong, orang-orang yang bermoral (bertingkah laku baik)—tidak seperti wong keminter, yang kian lama kian lantang teriakannya akhir-akhir ini.

Dan, merasa bahkan menganggap, teriakannya paling benar.

Maka benar yang ditulis di bak truk itu, Aja Kuminter Mundak Keblinger.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here