JAGAT politik nasional kini tampil dalam nuansa kecemasan dan kabut kemendungan. Pancasila sebagai pedoman dasar berbangsa dan bernegara kian redup dalam kemendungan itu. Aura primordial semakin mengkristal. Kaum elit sibuk dengan perebutan kekuasaan dan kepentingan. Aktor-aktor politik berkeliaran mencari makan siang gratis tampil dalam balutan kebohongan publik melalui iman keagamaan yang palsu.
Perilaku korupsi kian menggurita. Etika politik hanyalah ketaatan buta. Kepedulian pada sesama terhimpit oleh kebencian dan kedengkian. Kepemimpinan populis terhimpit oleh kaum oligarki dan para baron bisnis sebagai cerminan gaya kaum borjuasi. Situasi ini mencerminkan lenyapnya solidaritas serta lahirnya gejala utopia.
Utopia biasanya muncul dalam masyarakat secara berkala. Gejala ini tampak dan menjadi doktrin akan kepercayaan pada sesuatu yang seolah-olah akan terjadi di depan sana. Utopia lahir ketika kondisi masyarakat tertentu dilanda krisis atau ketakutan akan sesuatu yang akan terjadi pada mereka dan kelompoknya.
Bersanding ke Haryatmoko (Kompas, 18 April 2002), di Eropa, pengaruh teks Thomas More, Utopia terhadap ideologi sosialis utopis abad XIX tidak bisa diabaikan. Utopia sosialis dari Charles Fourier sampai Karl Marx, dari Saint-Simon sampai Robert Owen mempunyai kesamaan, yaitu mempertanyakan gagasan-gagasan zaman itu, mengguncang keyakinan kebanyakan orang, protes terhadap tatanan sosial yang ada dan mengusulkan konsepsi kehidupan sosio-politik alternatif. Di Indonesia dewasa ini, gerakan-gerakan sosial-politik utopis semacam itu juga tumbuh subur.
Prof Dr Koerniatmanto Soetoprawiro, guru besar Universitas Katolik Parahyangan Bandung hadir dan berbicara pada sesi II dalam pekan Studi ‘’Ajaran Sosial Gereja’’ dengan tema ‘’Yesus dan Politik’’ yang di selenggarakan oleh lembaga studi St. Thomas Aquinas PMKRI cabang Bandung pada Jumat 18 November 2016 yang bertempat di margasiswa PMKRI cabang Bandung.
Berpaling ke Gaudium et Spes (73) yang menyuarakan pentingnya penataan tatanan sosial politik menuju kebaruan. Hal ini dirasa penting karena Gereja Universal melihat konteks ruang dan waktu mengenai, pertama, perkembangan budaya, ekonomi, dan politik. Maka gereja mengajak semua elemen untuk bersama menciptakan perubahan dalam hal kebebasan warganegara, reksa kesejahteraan bersama, serta perubahan menata hubungan (antara warga negara dan warganegara-pemerintah). Kedua, kesadaran akan martabat manusia, yang berarti tatanan politik berdasarkan hukum sehingga hak-hak warganegara lebih terlindungi.
Lumen Gentium berbicara mengenai konstitusi dogmatik tentang Gereja. Seperti halnya tampak dalam dokumen utama Konsili Vatikan II bahwa gereja sebagai mysterium Christi. Maka umat katolik adalah persekutuan orang beriman yang dipanggil untuk berpartisipasi dalam penghayatan hidup Tritunggal Maha Kudus. Dalam konteks ini kitab suci berperan sentral, sedangkan tradisi adalah proses hidup menerima dan menafsirkan kitab suci dalam fakta hidup Gereja sehari-hari.
Dalam aspek historis, Rerum Novarum , menggugah masalah kemiskinan serta kesenjangan kaya-miskin yang sangat berjarak, pemerintah terlihat menutup mata dan moralitas yang merosot tajam. Mater et Magistra sedikit optimis karena adanya perubahan positif. Kala itu, peranserta rakyat dalam kehidupan sosial politik di banyak negara mulai tampak dan pemerintah mulai peduli dalam hidup sosial-ekonomi. Disaat yang sama Pacem in Terris menyuarakan kabar gembira karena peran wanita semakin menonjol dalam kehidupan politik.
Prinsip hidup bernegara
Secara kodrati manusia dikaruniai akal budi dan kebebasan. Sehingga ia punya seperangkat hak dan kewajiban (Pacem in Terris, 8-9). Hal ini ditegaskan juga dalam dokumen Rerum Novarum (7) bahwa manusia tidak tergantung pada ada tidaknya negara, dari arah sebaliknya negara ada untuk manusia. Oleh karena itu, Libertatis Conscientia (75) memberi penekanan bahwa negara harus melindungi warganya dari kesewenang-wenangan, anti kekerasan/manipulasi pendapat umum dalam berkuasa serta anti pemaksaan kehendak.
Dari penekanan ini, Pacem in Terris (32) mengingatkan kembali perlunya tatanan sosial demi reksa hak dan kewajiban warga negara. Centesimus Annus (47) mengingatkan secara spesifik tentang hak kebebasan beragama (hidup menurut imannya sendiri & sesuai dengan keluhuran martabatnya).
Dalam perjalanannya, dengan bersumber dari Pacem in Terris, ASG mengingatkan pula mengenai hak asasi dan kewajiban asasi. Hak untuk hidup dan pemenuhan kebutuhan hidup yang layak. Hak atas nilai moral dan budaya. Hak untuk beragama dipertegas lagi disini serta hak untuk memilih status hidup.
Dalam dunia ekonomi diingatkan juga tentang kesempatan kerja untuk semua golongan, hak mengembangkan aktivitas ekonomis, upah yang adil, tingkat hidup layak dan hak milik (pribadi). Menyusul hak berorganisasi dan berserikat, hak imigrasi dan emigrasi serta lebih leluasa dalam dunia politik mengenai partisipasi dalam urusan jabatan publik dan perlindungan hukum.
Prinsip negara hukum adalah melindungi martabat manusia (HAM).
Adanya pembatasan kekuasaan negara (GS 73), pertama pembagian kekuasaan (e.g. Trias Politika) dan kedua, asas legalitas. Peradilan bebas serta kesadaran hukum masyarakat mulai tampak dalam momen-momen ini.
Esensi Demokrasi dan bernegara
Dari segi bentuk demokrasi terbagi dalam dua bentuk yaitu demokrasi langsung (rakyat secara langsung memilih pemimpinnya) dan demokrasi perwakilan (aspirasi melalui DPR). Sedangkan dari segi isi demokrasi menganut dua dimensi yaitu dimensi kebebasan (kebebasan yang terkendali) dan dimensi kesetaraan (martabat manusia). Sementara pada prinsipnya, pertama demokrasi liberal, ini patokan dan konsep dasarnya bahwa manusia itu individualistik/soliter.
Kedua, demokrasi sosialis yang berpegang pada kodrat manusia itu kolektivistik/komunal. Dalam hal ini warga bebas untuk berkomunitas ataupun berserikat dalam satu kendali demi bonum commune.
Dalam konteks itu, prinsip dan hakekat bernegara adalah tercapainya bonum commune (GS 74). Negara di bentuk oleh manusia untuk kepentingan manusia. Sifat dasariah manusia adalah hidup berkomunitas. Ada dimensi relasi yang perlu di kembangkan demi mengaktualisasi diri. Dalam alam pemikiran ini, kehadiran sesama saling memperkuat identitas kemanusiaan sebagai manusia. Negara dalam hal ini bisa dipahami sebagai komunitas untuk saling membutuhkan.
Mater et Magistra mempertegas soal tujuan utama negara adalah mengurus kepentingan duniawi demi bonum commune (20). Dengan negara kebebasan warga akan di hormati (OA 46). Dengan negara pula ada ketertataan hidup bersama bisa terjaga, relasi serta kebutuhan akan kebersamaan menjadi lebih terarah dan lebih memperjelas setiap pribadi untuk menemukan eksistensi diri sebagai pribadi yang patut untuk dihormati sebagai gambaran citra Allah. Dan negara menata serta mengatur semua itu melalui tata hukum pemerintahan, ini di tegaskan dalam Pacem in Terris (47).
Karena hidup bernegara tidak pernah terlepas dari konflik. Karena semua yang ada selalu bertemu dengan yang lain (sesamanya). Yang lain ini adalah pencampuran identitas. Dalam konteks ini, semua ingin eksistensinya tetap terjaga dan selalu tampak dalam hidup kenegaraan. Otoritas akan dihadapkan pada tuntutan-tuntutan dan hak akan kebebasannya. Konsep kebebasan inilah yang harus ditata oleh pemerintah dalam proses bernegara. Negara perlu berkomitmen untuk menjamin rasa aman, damai, serta terwujudnya kerjasama yang baik.
Tuntutan kebebasan baik individu maupun kelompok tertentu dengan sendirinya punya pembatasan. Hak kelompok dan individu akan di batasi oleh hak orang lain atau sesamanya ketika berada dalam ruang publik bersama. Di sini letak kewenangan negara untuk menjamin kepastian lewat sistem hukum dan administrasi dalam mereksa bonum commune (RN 33, QA 25).
Kepastian tersebut harus terwujud pula dalam setiap reksa pastoral yang kemudian mewujud dalam mengoordinasikan hudungan sosial serta sebagai jalan tengah mengakomodasi konflik kepentingan. Hingga setiap warga dapat terlindungi dan menunaikan hak-hak dan kewajibannya masing-masing (PT 63), tentunya dengan tatanan hidup bersama.
Dalam mewujudkan tatanan hidup bersama tersebut, warga negara di harapkan ikut berpartisipasi dalam reksa bonum commune (PT 53) sebagai usaha untuk bekerjasama (GS 31-32). Dalam kebersamaan, setiap warga negara membantu lembaga publik dan lembaga privat demi kesejahteraan rakyat (GS 30). Ini merupakan bagian dari aksi menggalang solidaritas masyarakat dalam mendorong pemenuhan kewajiban publik warga negara (PP 84).
Seperti dalam Gaudium et Spes (75) yang berbicara mengenai perlindungan hukum bagi kepentingan umum. Bahwa ‘’terwujud jika struktur politik tidak diskriminatif (terbuka bagi setiap warga) dalam tata hukum, sistem pemerintahan (proses politik), pengakuan atas hak privat, hak keluarga, hak berkomunitas (kreativitas dan inovasi), pengaturan atas kewajiban warganegara, serta campur tangan pemerintah sebagai pengendali dalam menata hidup baik bersama’’.
Lalu secara spesifik, dalam hal perlindungan hukum, negara tidak dapat campur tangan urusan keluarga, kecuali dalam situasi darurat (RN 12) – kebebasan privat dan keluarga (RN 37). Hak milik privat tidak dapat dirampas (RN 39) serta pengaturan hak milik privat dapat diatur demi bonum commune (QA 49). Perlindungan bagi kaum pekarja (RN 41-43), sistem ekonomi yang adil dalam Mater et Magistra (82-83) serta perlindungan bagi kaum minoritas terutama dalam hal bahasa, budaya dan hidup ekonomi (Pacem in Terris 95-96).
Medan profetik dan tuntutan keberpihakan
Bagaimana dengan fenomena panggung politik Indonesia kini?
Politik selalu menarik karena diliputi oleh berbagai persepsi publik. Persepsi tersebut tampak dalam tarik menarik kepentingan kaum elit. Hal ini menjadi nyata dengan muncul berbagai konflik kepentingan akhir-akhir ini. Semua dipertontonkan bak sinetron bersambung.
Politik tampak dalam panggung sandiwara yang tak bermartabat.
Hasrat untuk berkuasa kian mewarnai panggung para aktor-aktor politik. Demi pencapaian hasratnya dalam politik sebagaimana disinggung di atas politik itu urusan persepsi, maka dalam persepsi tersebut ada sisipan serangkaian janji untuk menjawab persepsi publik. Janji dalam politik adalah hal yang biasa, untuk mengabaikan pendapat dan pandangan publik yang jelek menjadi selalu baik dan cermerlang kepada sang aktor.
Politik tanpa janji justru menjebak orang kedalaman pragmatisme. Karena sang aktor dinilai hanya berkutat pada apa yang terjadi saat itu, tanpa ada teropong kejelasan gagasan untuk masa depan. Tanpa janji dalam politik, pragmatisme membenarkan praktek politik tak bermoral. Di Indonesia, politik dan janji menghiasi ruang publik. Janji penting dalam berpolitik namun akan berujung pada konflik ketika agama terselip dalam ungkapan janji para aktor politik.
Padahal pencampuran wilayah politik dan agama justru akan merusak martabat agama itu sendiri. Karena agama menjalankan fungsi merekomendasi sikap dasar moral untuk berpolitik, sedangkan politik berbicara hanya pada siapa yang berkuasa.
Sementara kekuasan tak pernah netral. Agama berbicara mengenai yang misteri sedangkan politik berbicara mengenai yang rahasia. Agama memberi pemahaman mengenai universalitas nilai sedangkan politik berbicara pada aspek indentitas kelompok dan golongan. Aspek teologis menjadi fokus pembicaraan agama sementara politik lebih menekankan pada ruang sosiologi beragama (praktek hidup beragama).
Berpaling ke gagasan ASG, bahwa agama tidak terikat pada sistem politik mana pun, masing-masing punya lahan pengabdian. Kehadiran agama (gereja) membuka ruang demi keadilan dan cinta yang lebih luas, serta menghormati kebebasan dan tanggung jawab politik warganegara. Agama bebas untuk mewartakan iman, pandangan sosial dan moral sebagai tugas religiusnya. Hak penilaian moral, melindungi kebebasan pribadi, keluarga, organisasi sosial apabila keselamatan jiwanya terganggu (CA 45-47, GS 76).
Sebagai orang kristiani, kehidupan politik itu positif sifatnya (GS 75, OA 46). Otoritas selaras dengan kebebasan, prakarsa pribadi selaras dengan keterikatan pada struktur sosial, kesatuan selaras dengan heterogenitas. Penghormatan pada pandangan rasional yang berbeda serta berpegang pada universalitas nilai.
Sebagai contoh ketika orang melihat Jokowi yang ada dalam benak publik adalah tradisi blusukan. Fenomena blusukan inilah yang membuat Jokowi gampang dalam ingatan publik sebagai cerminan bahwa pemimpin ini menjadi bagian dari rakyat juga. Sosok seorang pemimpin menjadi cerminan keseharian rakyatnya, bahwa dinilai merakyat, punya empati sosial karena secara langsung hidup dalam setiap peristiwa hidup rakyatnya.
Sejak kelahirannya, Yesus menginspirasi umatnya dengan fenomena blusukan ini. Sebagai Guru dan Nabi, Yesus masuk dan menjelma dalam realitas hidup sehari-hari bersama umatnya, karena baginya kepemimpinan adalah keutamaan publik untuk menjalankan tugas pelayanan.
Politik sejatinya adalah seni mengatur kepentingan umum. Artinya keutamaan melayani adalah hakekat kepemimpinan dalam berpolitik. Saya rasa Yesus sebagai teladan menginspirasi dunia dengan keutamaan melayani sesama manusia. Di indonesia ada sosok-sosok yang patut menjadi teladan bagi kita umat kristiani yang di panggil untuk melayani.
Ketokohan seperti Jokowi, Ahok, Tri Rismaharini, Ridwan Kamil, Sunyoto serta tokoh lainnya patut jadi teladan bagi kita untuk beranjak dari altar ke pasar.
Dalam konteks itu tuntutan keberpihakan gereja menjadi nyata dalam setiap peristiwa hidup bersama. Dengan itu pula, mysterium Christi tampak sebagai pengalaman mistik bersama Kristus yang menjelma tanpa kita sadari. Secara sederhana disebut sebagai spiritualitas keterlibatan atau dalam dalil teologis disebut sebagai ‘’medan profetik’’ sang pemimpin.