Inilah perjalanan dua minggu misi kemanusiaan Kelompok Bakti Kasih Kemanusiaan ke Kabupaten Asmat. Selain bantuan barang, pengobatan massal menjadi pokok kegiatan. Banyak ketertinggalan yang ditemui di Suku Papua yang sebenarnya paling canggih dalam hal ukir mengukir.
Kurang lebih dua minggu (13-27 Oktober) termasuk dengan perjalanan yang agak merepotkan akibat suasana Timika yang agak tegang, Kelompok Bakti Kasih Kemanusiaan (KBKK) melakukan misi bakti kasih ke Asmat, sebuah kabupaten di Provinsi Papua dengan luas 29.658 km2 yang pemusatan penduduknya berada di pesisir pantai atau di pinggir sungai.
Beras sebanyak 800 kilogram, ratusan kilo gula pasir, berkoli-koli kemeja, kaos, jaket dan baju layak pakai, panci, sepatu bot, tas dan sepatu sekolah, seragam sekolah, biskuit, mainan anak, selimut, botol minuman, buku-buku dan alat tulis sudah mendahului tim ini sampai di Agats, sebuah distrik yang menjadi ibukota Kabupaten Asmat.
“Sebagian besar, kira-kira 80 persen bantuan sudah sampai di Agats dengan pesawat Airfast,” ujar Dr. Irene Setiadi, SpKK Ketua KBKK.
Kelompok yang terdiri dari para dokter dan paramedis serta beberapa profesional lain seperti fotografer, pengusaha, pesulap, ibu rumah tangga, juga rohaniwan Katolik ini tak surut langkah meski suasana Timika saat ini sedang tidak menyenangkan. Memang, satu dua tim mengalami perjalanan yang agak panjang karena perjalanan harus ditunda akibat tiadanya avtur pesawat AMA (Aviation Mission Association) serta suasana Timika yang memanas. Namun, pada akhirnya, misi berjalan dengan lancar.
Tim bermarkas di Agats, menempati kediaman Uskup (pemimpin gereja setempat). Lalu, mereka disebar. Empat wilayah paroki ( sebuah wilayah kewenangan dalam gereja Katolik yang setingkat dengan Kecamatan) seperti Atsy, Yaosakor, Yamas, Ayam dijelajahi tim. Beberapa kampung di wilayah pedalaman Asmat disambangi. Tiga kegiatan utama menjadi agenda pokok misi adalah pengobatan massal, pembinaan iman anak, dan pemberian bantuan barang sumbangan yang sudah disiapkan.
Kampung Yaosakor dan Damen yang berada di Distrik Atsy menjadi sasaran awal tim pertama yang sudah datang. Dua setengah hingga tiga jam perjalanan mengendarai speedboat mesti dijalani. Artinya perjalanan yang membutuhkan sekitar 90 liter bahan bakar minyak bolak balik dari Agats, di bawah terik matahari yang mampu membakar kulit mengawali langkah. Itu artinya, bila penduduk pedalaman ini hendak ke kota Agats, mereka harus mengeluarkan uang setidaknya 500 ribu rupiah sekali pergi. Biaya yang cukup mahal untuk penduduk pendalaman.
Tim selanjutnya menyusul dan disebar ke berbagai kampung lainnya seperti Ambisu, Youw, Warse, Ayam. Kegiatannya kurang lebih sama.
Kota di Atas Papan
Asmat memang unik. Selain karena hasil ukirannya, wilayah Asmat yang berbatasan langsung dengan Kabupaten Jayawijaya dan Kabupaten Yahukimo di sebelah Utara, Kabupaten Mappi dan Laut Arafuru di sebelah Selatan, Kabupaten Mimika dan Laut Arafuru di sebelah Barat, serta Kabupaten Boven Digoel dan Kabupaten Mappi di sebelah Timur memiliki karakteristik wilayah yang berbeda dengan wilayah lain.
Kaki Pegunungan Jayawijaya tampak membentengi sebagian daerah yang dahulu termasuk wilayah kabupaten Merauke ini. Di sisi lain, Laut Arafuru terbentang sepanjang garis pantai Asmat. Semua wilayah tersebut dipayungi oleh hijaunya hutan rimba tropis.
Karena wilayahnya yang berbatasan dengan Laut Arafuru dan dikelilingi kaki pegunungan Jayawijaya, membuat Kabupaten Asmat hanya bisa dijangkau oleh transportasi air dan udara saja. Jalur tercepat mencapai Asmat adalah dengan menggunakan pesawat. Akan tetapi penerbangan ke Asmat sangat bergantung pada kondisi cuaca.
Jadi, akses darat yang menghubungkan satu distrik dengan distrik yang lain di Asmat tidak akan kita temui. Kendaraan yang umum dipakai oleh masyarakat adalah speedboat ataupun longboat dengan mesin motor. Masih ada masyarakat lokal yang mengendarai kole-kole (sampan kayu dengan dayung panjang) untuk dapat pergi dari satu kampung ke kampung lainnya atau menuju ke hutan untuk mencari sagu ataupun gaharu.
Kota Agats sendiri berdiri di atas tanah gambut. Kota ini tidak memiliki jalan raya dan jalan dibangun di atas papan selebar trotoar. Untuk menjangkau distrik lain, masyarakat biasanya menggunakan canoe atau speedboat dengan biaya sewa yang cukup mahal. Masyarakat Asmat hanya mengandalkan air hujan sebagai sumber air untuk keperluan sehari-hari.
Penyakit kulit
Secara garis besar perjalanan bakti kasih ini memberikan sebuah gambaran jelas bahwa masih banyak penduduk terutama di pedalaman Papua yang hidupnya berada dalam kemiskinan dan ketertinggalan. Setidaknya inilah pandangan umum yang didapat dari pengamatan Gaya Hidup Sehat selama dua minggu di pedalaman Papua.
Meski zaman ini sudah bisa dikatakan modern, modernitas ini tak banyak menyentuh mereka. Memang, kebanyakan penduduk Asmat sudah tidak lagi tinggal di rumah beratap rumbia, tapi tetap saja berupa gubuk dengan dinding dan lantai papan yang sudah lapuk dan terkesan kumuh.
Mereka pun sudah mengenal telepon seluler, tetapi di pedalaman alat ini hanya berfungsi sebagai pemutar musik saja karena sinyal (hanya telkomsel yang bisa) ponsel tak menjangkau mereka. Listrik hanya bisa menyala bila menggunakan generator set yang butuh bahan bakar yang tidak murah buat mereka. Hanya di Agats, mulai bulan Oktober ini listrik sudah bisa menyala 24 jam penuh yang sebelumnya hanya dari jam setengah enam sore hingga setengah enam pagi saja.
Perilaku hidup bersih yang manjadi konsep hidup kita masyarakat kota tak mereka kenal. Mandi bagi mereka adalah dengan menceburkan diri ke sungai, apalagi cuci tangan. Itu bukan gaya hidup mereka. Sabun merupakan barang mahal yang tak bakal mereka sentuh.
Tak heran bila kita temui mereka dengan pakaian kumal, dekil apalagi tersetrika. Mungkin beberapa di antara mereka ada yang rapi, tapi itu hanya berlaku bagi mereka yang tinggal di kota yang hanya sepuluh persen dari seluruh warga Asmat. Bahkan mungkin tidak sampai sepuluh persen.
Dengan suasana seperti itu tak heran bila banyak warga yang menderita penyakit kulit ditemui. “Penyakit yang biasa ada ini disebut Tinea imbricata. Ini merupakan jenis penyakit kulit yang bisa menyerang sekujur tubuh dan gatalnya bukan main. Biasa disebut dengan penyakit dollar karena bentuknya seperti dollar Amerika,” jelas Dr. Irene Setiadi SpKK spesialis kulit dan kelamin yang memimpin tim ini.
ISPA atau Asma
Selain kulit, penyakit lain yang umum melanda nyaris di hampir seluruh warga Asmat pedalaman adalah ISPA (infeksi saluran pernapasan atas). Ini ditandai dengan batuk yang tak berkesudahan dan sesak napas di beberapa orang. “Bisa jadi ini juga merupakan gejala asma atau TB (tuberkulosis),” jelas Irene.
Tidak heran penyakit dengan gejala batuk yang biasa mereka sebut “hosa” ini melanda. Ini karena rumah yang mereka tinggali merupakan tempat tinggal yang jauh dari layak. Satu ruangan rumah seukuran rata-rata lima kali enam tanpa sekat bersatu dengan tungku yang selalu mengepulkan asap.
Selain untuk melindungi diri dari nyamuk, tungku yang biasanya berbahan bakar kayu ini juga berguna untuk menjaga tubuh mereka dari hawa dingin yang biasa menyusup di malam hari. Masih ditambah lagi dengan kebiasaan merokok, tak hanya di antara para lelaki, tetapi juga para wanitanya.
Selain itu tentu saja penyakit seperti malaria menjadi hal yang umum ditemui. AIDS dan HIV agak sulit diketahui karena tidak adanya data yang sahih untuk itu. Selain karena mereka malas untuk melaporkan dirinya, pengetahuan tentang penyakit ini juga sangat minim. Rasanya jumlah penderita bisa jadi jauh di atas yang kita perkirakan.
Satu hal lagi yang paling memprihatinkan adalah penyakit cacingan yang melanda sebagian besar anak serta angka kematian anak yang bisa mencapai rata-rata 50 persen dalam satu keluarga. Karena itu tim KBKK juga membagikan obat cacing dan memaksa setiap anak meminumnya pada saat itu juga ketika menemui anak usia 2 hingga 10 tahun.
Cacingan yang ditandai dengan perut buncit yang akhirnya menggiring pada kondisi kekurangan gizi ini nyaris bisa ditemui di hampir setiap anak di pedalaman karena pola hidup, lingkungan yang tidak higienis, perilaku hidup bersih dan sehat yang jauh dari layak. Selain tidak mengenal cuci tangan, anak-anak ini sudah terbiasa bermain di lumpur, sungai, dan konsumsi makanan yang jauh dari gizi seimbang dan sempurna. Maka, perut buncit pantat tepos lah yang biasa kita temui di sana.
Dalam satu keluarga yang biasanya berjumlah besar, dari beberapa jumlah anak yang dilahirkan, separuhnya bisa diperkirakan meninggal. Ada keluarga yang dengan anak delapan, tinggal empat anaknya. Ada juga yang beranak sebelas, tinggal lima. Yang lainnya beranak sepuluh tinggal lima. Kenyataan itu serasa menjadi hal biasa. Selain tiadanya dokter, pengetahuan yang minim tentang kesehatan dan perilaku melahirkan yang tidak sehat dan aman lagi-lagi menjadi faktor penyebabnya.
Yah, begitulah kondisi mengenaskan di wilayah pedalaman Papua. Tak heran bila kedatangan kami yang terdiri dari para tim dokter dan paramedis serta beberapa orang yang peduli dengan mereka menjadi penyejuk. Tentu saja banyak yang memanfaatkan kesempatan ini untuk memeriksakan dirinya saat gelaran pengobatan dibuka. Tak kurang dari dua ratus pengunjung di tiap kampung menyambangi kami.
Wilayah yang kaya sumber alamnya dengan pemandangan alam yang begitu indahnya bagaikan surga seolah masih jauh dari peradaban meski sudah berpuluh-puluh tahun bergabung dengan Indonesia. Kita patut prihatin melihatnya.