PERATURAN baru Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan yang disebut Peraturan Direktur Jaminan Pelayanan Kesehatan (Perdirjampelkes) No 2, 3, dan 5 menjadi perdebatan terkait mutu layanan medis. Permenkes no 755/MENKES/PER/IV/2011 tentang penyelenggaraan Komite Medik Rumah Sakit, telah mengatur kegiatan audit medis untuk menjamin mutu layanan.
Apa yang harus dilakukan?
Audit medis adalah upaya evaluasi secara profesional, terhadap mutu pelayanan medis yang diberikan kepada pasien, dengan menggunakan rekam medis yang dilaksanakan oleh profesi medis. Tujuan audit medis adalah tercapainya pelayanan prima di rumah sakit, dengan peningkatan mutu dan standarisasi.
Pada era Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) ini, kegiatan tersebut terkait dengan pasal 37-38 Permenkes 71/2013 tentang Tim Kendali Mutu dan Kendali Biaya (TKMKB) yang juga bertugas mengadakan ‘utilization review’ dan audit medis. Pada pasal 17 Permenkes 36/2015 tentang Pencegahan Fraud dalam JKN, dinyatakan bahwa Pengembangan Budaya Pencegahan Kecurangan dalam JKN, dilakukan dengan audit medis.
Ketiga Perdirjampelkes tersebut mengatur penjaminan layanan katarak, bayi baru lahir, dan rehabilitasi medik, yang merupakan layanan dengan pengeluaran biaya yang cukup besar. Operasi katarak mencapai Rp. 2,6 triliun, bayi baru lahir sehat yang ditagihkan secara terpisah dari paket ibunya sekitar Rp. 1,1 triliun dan layanan fisioterapi pada program rehabilitasi medik mencapai Rp. 960 miliar. Angka itu melebihi kasus katastropik, seperti jantung, gagal ginjal, sehingga ketiga layanan tersebut memiliki batasan baru dalam Perdirjampelkes yang dapat menghasilkan efisiensi mencapai Rp. 360 miliar.
Perdirjampelkes dipandang sebaliknya oleh perwakilan Persatuan Dokter Spesialis Mata Indonesia (Perdami) Dr. Johan Arif Martua Maruarar Hutauruk, SpM(K), karena jika operasi katarak dibatasi, maka kualitas pelayanan tindakan dokter akan terganggu. Ketua Umum Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) Aman Pulungan, mempertanyakan Perdirjampelkes karena risiko kematian bayi akan meningkat, dan hak hidup untuk bayi akan berkurang. Ketua Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (PB IDI) Ilham Oetama Marsis menyoroti pembatasan rehabilitasi medik dan pasien akan mengeluarkan biaya sendiri, untuk membiayai pengobatannya tersebut.
Ramke J, dalam tulisannya berjudul Effective cataract surgical coverage: an indicator for measuring quality-of-care in the context of universal health coverage, menjelaskan tentang cara menentukan efektivitas cakupan layanan bedah katarak, yaitu pengukuran ketajaman visual sebelum operasi. Dengan demikian, indikasi operasi katarak berdasarkan pengukuran ketajaman visual sebelum operasi, memang harus ditetapkan dalam kesepakatan. Selain itu, juga dilakukan pengaturan prioritas tindakan operasi, yaitu pada pasien katarak yang menuju kebutaan, jika ketajaman visual minimal 6/18.
WHO (2015) mengkategorikan negara dengan angka operasi caesar di bawah 10% sebagai “underused,” 10-15% dianggap “adequate”, dan di atas 15% sebagai “overused”.
Dr. Marleen Temmerman, Direktur Departemen Kesehatan Reproduksi WHO mengungkapkan, bahwa ketika tingkat operasi caesar meningkat sampai 10%, jumlah kematian ibu dan bayi baru lahir menurun, tetapi ketika tingkatnya di atas 10%, tidak ada bukti pengaruh pada kematian ibu dan bayi baru lahir. Data ini menyoroti peran operasi caesar dalam menyelamatkan kehidupan ibu dan bayi baru lahir. Hasil Riset Kesehatan Dasar 2013 menunjukkan kelahiran dengan operasi sesar sebesar 9,8% dari total 49.603 kelahiran sepanjang tahun 2010 sampai dengan 2013.
Pada periode dari Januari 2017 sampai Maret 2018, persentase kasus operasi caesar sekitar 45% di RS tipe C, B dan A, tetapi bahkan sampai 67% di RS tipe D, dari total persalinan. Persentase kasus bayi baru lahir sehat yang ditagihkan secara terpisah adalah sebesar 18% dari seluruh kasus persalinan. Dengan demikian, persentase operasi caesar di Indonesia harus dipertahankan tetap ideal.
Bagi bayi baru lahir yang sehat, selama ini memang sudah berjalan paket layanan rawat gabung antara bayi dan ibu, sehingga wajar bila penjaminan biaya adalah untuk persalinan ibu saja. Namun demikian, bagi bayi baru lahir dengan kondisi perlu pelayanan khusus, maka penjaminan biaya adalah terpisah dengan ibunya, tidak tergantung dari metode persalinannya.
Rehabilitasi medik adalah terapi yang dilakukan guna mengembalikan fungsi tubuh yang mengalami masalah dan dokter spesialis kedokteran fisik dan rehabilitasi (SpRM) sebagai koordinator tim. Saat ini pelayanan rehabilitasi medik yang dapat dijamin oleh BPJS Kesehatan adalah 2 kali seminggu (8 kali sebulan), sesuai dengan kemampuan finansial BPJS Kesehatan.
PB IDI pantas mendorong segenap dokter dalam Komite Medik RS untuk melakukan audit medis dengan tujuan yang lebih spesifik, yaitu untuk menekan terjadinya ‘overdiagnosis’ dan ‘overused’ layanan dokter. Selama ini, proses audit medis di RS dalam satu tahun, hanya dilakukan untuk minimal 3 kasus penting, atau atas para pasien yang meninggal, tetapi rasanya belum pernah dilakukan audit medis dari sudut pandang program layanan yang lebih luas.
Padahal, Program Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan (P2KB) sudah berlangsung dengan sangat baik dalam koordinasi PB IDI, sehingga rasanya dapat ditiru untuk penyelenggaraan audit medis atas layanan dokter. Audit medis seperti ini sangat diperlukan, tidak hanya atas 3 jenis layanan dokter di atas, karena pola penjaminan biaya layanan pasien pada era JKN telah berubah, yaitu sekarang bersifat prospektif.
Tentu harus ada kesadaran dan kesepahaman semua pihak, untuk keberlanjutan program JKN, terkait sumberdaya finansial yang terbatas. Proses audit medis harus jauh dari sisi “menang-kalah” atau “untung-rugi” antar pihak, karena pada dasarnya yang kita kelola adalah uang negara, bukan uang korporasi.
Sudahkah kita berpikir cerdas?