Merenungkan makna nyaman, saya teringat akan perkataan Imam Syafi (767 – 819), “Orang berilmu dan beradab tidak akan diam di kampung halaman. Tinggalkan negerimu dan merantaulah ke negeri orang. Merantaulah, kau akan dapatkan pengganti dari kerabat dan kawan.
Berlelah-lelahlah, manisnya hidup terasa setelah lelah berjuang. Aku melihat air menjadi rusak karena diam tertahan. Jika mengalir menjadi jernih, jika tidak, kan keruh menggenang. Singa jika tak tinggalkan sarang tak akan dapat mangsa.
Anak panah jika tidak tinggalkan busur tak akan kena sasaran. Jika matahari di orbitnya tidak bergerak dan terus diam. Tentu manusia bosan padanya dan enggan memandang. Bijih emas bagaikan tanah biasa sebelum digali dari tambang.
Kayu gaharu tak ubahnya seperti kayu biasa jika didalam hutan.” Apa yang ditulis oleh Imam Shafi ini bagi kita merupakan pukulan telak bagi manusia. Perpindahan atau dalam syair yang selalu dinyanyikan malam Natal adalah transemus merupakan pengalaman yang menyakitkan. Orang yang sudah mapan hidupnya tidak mudah membongkar tempat tinggalnya dan membangun.
Kata mapan sendiri berasal dari kata papan (bhs. Jawa yang berarti: material pembuat rumah). Kenyamanan dalam hidup, mapan, home sweet home, tentu membuat orang merasa damai dan krasan atau at home, sehingga tidak mau meninggalkan istananya. Benar sekali bahasa iklan furniture, “Kursinya empuk sampai lupa berdiri! Rasa nyaman, memang mematikan.
Orang menjadi mandeg dan tidak mau bergerak dan berkembang. Kisah yang berjudul “Sang Katak” mungkin bisa menjadi inspirasi. Ada seekor katak dimasukan ke dalam panci yang berisi air, katak tersebut tidak berusaha beranjak dari panci dan terus berenang. Di pihak lain, secara perlahan panci tersebut dipanasi, sedikit demi sedikit dan ketika air itu tiba-tiba menjadi panas dan mendidih si katakpun tidak sempat melarikan diri karena sudah terjebak dalam kenyamanan air dan akhirnya mati.
Nyaman sendiri memiliki konotasi suatu rasa aman. Orang yang merasa aman tentu tidak mau beranjak dari tempat tersebut. Ini yang barangkali bikin pusing para uskup dan para provinsial, tatkala harus memindahkan para pastornya dari tempat basah ke tempat keringat.
Bung Karno (1901 – 1970) si singa podium pernah berpidato dengan mengangkat negeri yang bernama Uttarakuru. Dalam dunia pewayangan, negeri ini dikenal sebagai negeri yang tentang-tentram-damai. Negeri yang amat tenang, tidak ada riak-riak sungai, gelombang, apalagi badai.
Tidak ada gelengan kepala, adanya anggukan kepala. Juga tidak ada dinamika, semuanya serba monoton. Menyikapi negeri ini, Bung Karno berkata, “Jangan! Sekali-sekali tidak!” Memang, kebalikan dari rasa nyaman adalah perdebatan, konflik, gejolak dan akhirnya demo. Kata pepatah, “Laut yang tidak tidak akan menghasilkan pelaut yang trampil sungguh ada benarnya. bersambung