Awas, Anda Terlalu Lama di Zona Nyaman! (3)

0
1,103 views

Biasa orang yang sedang tertantang akan teringat masa-masa nyaman dan jaya. Gunawan Muhamad  dalam Catatan Pinggir (29 November 2009) menuliskan tentang karut-marut kehidupan gereja abad ke-16, decadency moral. Tulisnya, “Pernah ada sebuah zaman ketika agama, zina, kekuasaan, uang, nepotisme, jual beli jabatan, perang, pembunuhan, dan moralitas campur baur. Itulah abad ke 16 di Italia, ketika Paus Aleksander VI (1431 – 1503)  naik Takhta Suci.

Masa jaya itulah yang ingin digenggam dan tidak mau melepaskan oleh para penguasa Gereja pada masa itu. Rasa nyaman dan kejayaan memiliki makna  yang hampir sama. Itulah yang kita sebut sebagai triumphalistis.  Orang masih ingin mengagungkan masa-masa jaya, padahal situasi sudah berubah. Merasa diri tinggal di puncak, kejayaan, kemuliaan memang terasa nyaman, namun orang lupa bahwa masa-masa itu bisa bisa tumbang karena rongrongan yang digerus oleh waktu.

Masa keemasan amat indah jika dikenang. Belum lama ini di kota Ambon, saya mengunjungi wisma jompo, kisah-kisah dari para penghuni itu  bertaburan kata-kata masa jaya mereka. Seringkali kata yang mucul, “Waktu saya dulu sebagai” atau, “dulu, sistem lembaga ini saya yang buat.”

Celakanya lagi yaitu ada lembaga yang pernah jaya atau moncer. Penghargaan datang dari mana-mana, pimpinan lembaga menjadi orang penting. Namun sayang bahwa lembaga tersebut kurang membaharui diri, sehingga ketinggalan zaman. Luarnya hebat, namun di dalamnya keropos.

Ia lupa adagium yang berbunyi, “Ecclesia semper reformanda” yang berarti: Gereja selalu memperbaharui diri terus menerus, sebab kalau tidak akan tergilas oleh waktu itu sendiri. Tempora mutantur et nos mutamur in illis, waktu itu berubah dan kita pun ikut berubah di dalam kurun waktu itu.

Sebelum datang ke Manado, saya jalan-jalan di rumah bulik (bahasa Manadonya: tanta atau mama ade). Anak dari bulik saya itu lama sekali bekerja di ibu kota sebagai PRT (Pembantu Rumah Tangga). Selama bertahun-tahun, ia sudah biasa hidup dalam dunia modern.

Waktu lebaran, anak bu lik saya membeli kulkas dan ditaruh di ruang tamu. Saya sedikit agak heran, “Bagaimana mungkin, desa ini tidak ada listrik koq ada kulkas?”

Siang itu, saya amat kehausan dan kubuka pintu lemari kulkas. Astagfirullah, ternyata isinya baju-baju!!

Lantas, saya bertanya kepada bu lik, “Mengapa kulkas ini tidak diisi dengan yang seharusnya?”

Jawabnya, “Thole, sebab selama di Jakarta, si gendhuk ini tiap hari menggunakan barang seperti itu loh!”

Kemudian saya berkata kepada bu lik saya yang buta huruf, “Bulik, berarti  gendhuk ini hidup dalam comfrot zone!”

Bulik balik bertanya, “Apa itu?”

Saya pura-pura tidak mendengar, sambil menutup kulkas berisi baju-baju itu.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here