Penampilan merebut perhatian kita akhir-akhir ini. Lebih dari era-era sebelumnya dengan orang muda sebagai subyek utama, pada era ini subyeknya beragam dan mulai pada usia yang lebih dini dan selesai lebih kemudian. Klinik-klinik perawatan, dari menata gaya rambut, melentikkan bulu mata, memancungkan hidung, merapikan gigi, mengencangkan payudara, menunda penuaan dini, memutihkan kulit gelap, menyedot lemak berlebih di perut, hingga permak alat vital, sibuk melayani antrian konsumen. Semuanya menjanjikan penampilan sempurna.
Penampilan sempurna bukan monopoli perhatian pelaku ekonomi, terutama mode dan kecantikan. Pencitraan telah menjadi kosa kata baru dalam politik Indonesia. Mimbar-mimbar agama yang sebelumnya tampil dengan tata ruang yang sederhana, bahkan minimal, berubah menjadi panggung pertunjukan berpenonton. Majelis Ulama Indonesia menyampaikan keberatan terhadap penampilan kelewatan ustad dalam berpakaian dan bersolek. Sebagian lebih menunjukkan diri sebagai pelawak atau penyanyi daripada ustad.
Politik sebagai Ilmu Penampilan
Potret-potret perhatian, bahkan obsesi pada penampilan menyadarkan kita akan arus mengedepankan penampilan sebagai sumber eksistensi seseorang. Generasi ini mendaku kuasa penampilan sebagai sumber eksistensi manusia. Di era-era sebelumnya, perilaku etis lebih di depan daripada penampilan. Pendakuan akan penampilan sebagai sumber besar eksistensi menguras tenaga individu, bahkan negara, demi penampilan sempurna. Rasanya jauh dari berlebihan menilai para politikus obsesif terhadap pencitraan dirinya dan menyulap Indonesia menjadi negeri pesolek.
Sewindu lalu Arthur P. Ciaramicoli sudah berbicara kepada kita mengenai penampilan sebagai candu masyarakat kontemporer (performance addiction). Candu baru ini mendikte subyek untuk sepanjang waktu bercermin kalau-kalau penampilannya perlu polesan. Sumber pendiktean untuk penampilan sempurna dapat berasal dari subyek bersangkutan maupun subyek-subyek lain. Kita melihat orang lain sebagai ukuran pembanding kesempurnaan penampilan. Kita mendikte orang lain untuk menyempurnakan penampilannya seperti kita.
Perhatian, bahkan obsesi pada penampilan ini membantu kita untuk lebih memahami perilaku bersolek politikus kita. Menempatkan diri sepanjang waktu dalam sorotan kamera, mereka memanggungkan kedekatan dengan rakyat. Alih-alih mengembalikan citra rakyat yang dirusak kemiskinan dan penderitaan, mereka sibuk dengan pencitraan dirinya. Mereka mengalamatkan tuduhan pencitraan kepada para politikus yang sungguh memihak rakyat yang menjadi korban pemiskinan dan penindasan. Politik sebagai ilmu penampilan (science of appearance) menjerumuskan para pesoleknya pada kepura-puraan (to seem) dan menjauhkannya dari eksistensi (to be).
Kesucian di Ruang Publik
Komunitas-komunitas beriman dapat jatuh menjadi gerombolan yang mengenakan simbol-simbol kesucian di ruang publik sebagai tontonan narsisistik. Sebagaimana ungkapan seorang sopir taksi,”agama sekedar kopiah atau mukena yang sewaktu-waktu pemakai dapat menanggalkannya.” Betapa banyak terdakwa korupsi tiba-tiba mengenakan pakaian relijius seolah-olah kesalahan, bahkan kedosaannya dapat ditebus pakaiannya! Iman memiliki aspek performative yang seringkali ditepikan perhatiannya dalam komunitas-komunitas beriman. Aspek penampilan di sini lahir dari kedalaman pengalaman religius. Kepribadian memiliki unsur performance, namun jangan pernah terperosok menjadi show. Unsur penampilan agama bukan show narsis, melainkan performance etis, bahkan religius.
Photo Credit: Pelangiku.Com, Pasarkreasi.Com, bola.vivanews.com